Bab 7

834 84 8
                                    

Zufar mengusap rambut hitamnya frustrasi. Entah harus pakai cara apalagi, agar Ansya bisa menjauh dari kehidupannya sekarang juga. Kian hari, tingkahnya semakin menjadi saja. Juga, kini, paket yang dikirimkan gadis itu lebih bergaya sedikit. Sebuah gaya yang ingin sekali ia musiumkan segera.

Bagaimana tidak, Ansya mengiriminya bekal bagai seorang anak TK yang susah untuk disuruh makan. Ada nasi berbentuk kepala kucing yang lucu, namun ada potongan wortel kotak-kotak ditaruh di wajahnya, bagai sedang menangis sedih. Membuat Zufar tidak berselera makan. Ada orek tempe yang lumayan, sedikit, agak, gosong. Atau entah, memang warna oreknya sedikit kehitaman. Dan terakhir ada sekumpulan brokoli, seperti rambut kribo milik seseorang.

Makanan macam apa ini?! Batin Zufar berteriak geram. Sudah tidak nyambung, tidak juga ada manfaat bagi tubuhnya―ya, mungkin brokoli masih termasuk bermanfaat. Tapi tidak mungkin, 'kan, ia hanya memakan brokolinya saja?

Dengan berat, Zufar mengambil telepon genggam untuk menghubungi sekretarisnya. "Tolong kamu cegah monster kecil itu masuk lagi ke dalam perusahaan, terutama ruangan saya."

Belum sampai tiga puluh detik Zufar menyuruh, pintu ruang kerjanya sudah terbuka lebar dengan kaki mungil seseorang. Seorang gadis berkucir kuda dua, baju lengan panjang berwarna merah muda juga rok tenis berwarna putih selututnya.

"Hai Bapak Om Zufar Calon Suami Masa Depan Akoh." Suara cempreng yang sungguh merdu itu terdengar memasuki gendang telinganya. Zufar hanya diam, tak berkutik. Sudah ketebak, siapa orang yang bersuara cempreng tersebut.

Ansya masuk dengan langkah yang ceria. Tolong, jangan tanyakan bagaimana caranya dia masuk, karena kalian tidak akan bisa menerimanya dengan logika. "Kok, gak dimakan?" tanyanya.

"Kenyang." Zufar memijit pangkal hidungnya pelan, merasa pusing akan tugas, tanggung jawab, pun dengan Ansya.

"Ih, kapan atuh makanna?" Ansya tidak terima. Makanan yang ia buat susah payah masih utuh, dan Zufar malah sudah bilang kenyang.

"Bukan."

"Terus?"

"Kenyang liat nasi ancur buatan kamu."

A-apa katanya tadi?

Nasi ancur?!

Ansya spontan memukul meja kerja Zufar dengan cukup keras, hingga terdengar keluar. Zufar, tentu saja terkejut bukan main.

"Jangan sembarangan, ya, Bapak Om!"

"Gak sembarangan, liat aja sendiri." Zufar menunjuk ke arah isi kotak bekal yang Ansya titipkan pada resepsionis di bawah sana.

"Setidaknya masakan saya teh gak manis, kaya orang jawa." Ansya dengan sengaja menekan kata 'jawa' untuk mengejek balik Zufar, ia masih terima Zufar menyebut nasinya adalah nasi ancur.

"Maaf?"

Zufar berakting mengorek telinganya, seakan ia salah atau tidak dengar apa yang tadi Ansya ucapkan.

"Pantes aja banyak yang diabetes," lanjut Ansya.

Kali ini Zufar tak tahan untuk membalasnya juga. "Mungkin yang kamu temukan kebanyakan manis, tapi setidaknya tidak asin."

Brak!

"Bapak teh nyindir orang sunda, kitu?" tanya Ansya sengit. Meskipun tidak semua orang sunda memasak yang berbau asin, tetap saja Ansya merasa tersindir. Karena, keluarganya adalah salah satu orang yang suka dengan berbau gurih atau asin.

"Saya gak nyindir, kamu aja yang terlalu percaya diri."

Hidung Ansya kembang kempis mendengar sangkalan dari Zufar. Mungkin, ia suka bahkan cinta pada pria itu, tetapi tetap saja. Ia tak terima, jika Zufar mulai menyindir masalah suku. Namun, perkataan Zufar berikutnya membuat gadis itu terdiam.

"Lihat? Hanya seperti ini saja kamu sudah emosi, dan sudah berani menyukai saya. Seharusnya dari awal kamu sadar, suku dan adat kita berbeda..."

"Tapi, kita sama-sama WNI!" sela Ansya tak terima. Terbesit sedikit rasa bersalah, karena dirinyalah yang memulai perdebatan ini.

"Maaf, tapi pintu keluarnya ada di sana." Tangan kanan Zufar menunjuk ke arah pintu keluar dengan santainya.

"Pak, maaf, saya emang salah tadi. Saya gak maksud. Tapi tenang aja, seiring berjalannya waktu, Bapak pasti akan suka juga sama saya, atau bahkan cinta." Ansya tidak beranjak sama sekali dari tempatnya. Tetap bertahan untuk meyakinkan Zufar. Namun, hal berikutnya membuat gadis itu tak tahan untuk meringis.

"Maaf, yo, Dek, lawangne ning kono[1]."

Ya. Meringis, karena tidak tahu dan tidak mengerti, apa yang telah Zufar ucapkan.

――――――
Mulai serius gaesss

1. Maaf, ya, Dik, pintunya di sana.

Rex_Publishing

Ceezy Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang