Suara ketikan pada keyboard laptop memenuhi ruang keluarga yang masih sepi, Zufar menatap layar monitor dengan serius. Meneliti setiap angka yang tertera dalam diagram pengeluaran perusahaan bulan ini yang jumlahnya paling besar diantara bulan-bulan sebelumnya. Netra Zufar terpejam, ia harus tegas dalam menghadapi tindakan Pak Surya.
"Diem-diem bae, Mas. Udah ngopi belum?" suara cepreng yang terdengar sangat nyaring menyapa rungu Zufar. Pria keturunan jawa itu membuka netranya.
"Nih, Zara buatin kopi." Zara meletakan secangkir kopi susu di meja, "Makanya nikah nanti bisa dibuatin sama istrinya, Mas," lanjut Zara seraya mendudukan dirinya di samping sang Kakak.
"Matur suwun, adiknya Mas sing paling ayu[1]." Zufar meraih cangkir kopi yang adiknya suguhkan.
"Enggih, sami-sami[2]," balas Zara. Netranya melihat laptop sang Kakak yang menampilkan grafik yang tidak ia mengerti. Ia bukan anak jurusan IPS yang mengerti ekonomi, alisnya menyatu saat mencoba memahami grafik diagram itu.
"Itu grafik pengeluaran bulan ini, Ra," ucap Zufar. Kebingungan Zara terpercahkan. Ah, harusnya ia tahu kalau grafik berhubungan dengan pengeluaran dan penghasilan perusahaan.
"Abi belum pulang joging?" tanya Zufar, ia kembali memejamkan netranya.
"Belum, paling jam enam pas selesai, 'kan, biasanya gitu," jawab Zara, ia menelisik wajah sang Kakak yang tampak lesu, tidak seperti biasanya.
"Pripun, Mas. Mumet?" tanya Zara mulai khawatir.
"Siapa yang sakit?"
Zufar membuka netranya, Zara menoleh ke sumber suara. "Abi, udah selesai, Bi?"
"Udah," jawab Zulfikar, Ayah Zufar. "Siapa yang sakit, kamu apa Mas mu, Ra?" tanya Zulfikar lagi.
"Mas Zu, Bi."
Zulfikar menatap anak sulungnya. "Kamu kenapa, Far? Masih mikirin kasus Surya?"
Zufar menganggukan kepalanya, dua hari terakhir ini tindakan yang dilakukan Pak Surya memang menjadi fikiran Zufar. Ia masih memikirkan apa yang tindakan yang harus ia ambil.
"Zufar baik, Bi. Cuma sedikit pusing," jawab Zufar.
"Udah ambil keputusan?"
"Udah, tapi Zufar masih ragu, Bi."
Zara yang tidak tahu apa yang sedang Abi dan Kakaknya bahas hanya diam, menjadi pendengar yang baik.
"Jangan ragu, mantapin aja keputusan kamu. Semua keputusan ada risiko, pastinya harus bisa kamu pertanggung jawabkan." nasihat Zulfikar, pria paruh baya itu mengerti posisi anak sulungnya.
"Zufar enggak tenga kalau harus PHK Pak Surya, beliau sedang kesulitan ekonomi. Zufar nggak mau menambah beban beliau dengan memecatnya, Bi. Zufar udah ambil keputusan." Zufar diam sejenak, "Zufar akan menurunkan jabatan Pak Surya, dia akan menjadi staf biasa di bagian pemasaran. Zufar juga akan membiayai pengobatan isteri dan anak Pak Surya."
"Masyaallah!" Zara terkagum-kagum akan pilihan yang dibuat oleh kakaknya tersebut.
"Abi menghargai keputusan kamu yang tidak memecat Surya. Abi rasa keputusan yang kamu ambil sudah benar, nanti siang Abi akan menemui Surya dan bicara dengannya."
"Abi sependapat dengan Zufar?"
Zulfikar mengangguk, "iya."
Zufar tersenyum, ia merasa bebannya sedikit terangkat. Untuk kerugian Zufar akan menutup dengan uang pribadinya. Zufar berharap kejadian seperti ini tidak akan terulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ceezy Love
DragosteBab masih lengkap | Sudah terbit Cerita ini kami ikut sertakan dalam lomba menulis marathon Rex Publishing. Di tulis oleh dua orang. Aya Sovia dan Khia_fa "Berawal dari typo, berujung dadi tresno."