Bab 16

738 68 11
                                    

Setidaknya aku sudah berusaha berjuang. Untuk hasil, urusan nanti. Bukanya usaha tidak akan mengkhianati hasil?

-Ansya-

***

Zufar memarkirkan mobilnya di depan pagar rumah, lalu berjalan cepat memasuki rumahnya. Kali ini firasat buruk itu tidak mungkin salah. Ia tak bisa bayangkan apa yang akan terjadi, jika Ansya dan Bella bertemu di satu ruang.

Byur!

"Bella?!" kaget Zufar melihat baju Bella basah. Kemudian pandangannya beralih ke samping, menangkap sang pelaku.

Bella mengambil sapu tangan dari dalam tasnya, lalu membersihkan bajunya sebisa mungkin. Sungguh, hari yang buruk. Padahal ia ingin tampil menarik di depan Zufar.

"Ansya, jelaskan pada Saya!" Zufar berdiri di hadapan Ansya dengan mata memerah, menahan emosi.

Gelas yang dipegang Ansya sedikit bergetar. Gadis itu terlalu takut untuk menatap bahkan memberikan jawaban pada Zufar.

"Saya tanya sama kamu." Zufar duduk di samping Bella, melepaskan jasnya dan memberikannya pada gadis itu agar bajunya yang basah bisa tertutupi. "Kenapa kamu nyiram Bella, salah dia apa?" lanjut Zufar.

Dengan pipi yang memerah, Bella menerima jas tersebut dan menutupi baju depannya yang basah.

"A-Ansya gak maksud."

"Dasar anak kecil!"

Ansya tahu ini memang fakta, bahwa ia adalah anak kecil. Yang baru saja lulus dapat KTP. Tapi, mendengar nada tinggi dari Zufar membuat hatinya sesak.

"Ansya emang anak kecil ...."

"Ya. Dan saya harap, gak lagi kamu ngelakuin hal kaya gini ke Bella."

Ansya memejamkan matanya sejenak. Niat baiknya datang ke rumah Zufar hanya untuk berterima kasih. Sayangnya, niat baik itu dianggap angin lalu oleh Zufar. Menurut pandangan Ansya.

"Emang Bella siapanya―"

"Tadi, Umi sudah bilang. Bella calon istrinya Zufar. Kamu masih muda, tapi pelupa. Gimana, toh, nduk ... nduk." Ibu Zufar datang dari dapur dengan nampan di tangannya. Ia meletakkan satu persatu toples berisi makanan tersebut.

Ansya semakin menundukkan kepalanya. Merasa terpojok, dan tak ada yang membantu. Merasa tak tahan untuk menahan air matanya lebih lanjut, Ansya memilih untuk pamit. Gadis itu mencium telapak tangan Ibu Zufar, kemudian pergi begitu saja tanpa mau berpamitan pada Zufar ataupun Bella. Hatinya ... sudah terlanjut sakit.

Sesakit itu kah menerima kenyataan?

Setelah Ansya pergi, giliran Zufar yang beranjak dari sofa. Pria itu mengela napas, sebelum bertanya sopan pada Ibunya. "Mi, apa maksud perkataan umi barusan?"

"Kenapa? Bener, 'kan, kamu udah pantes menikah. Lagian, Bella itu cocok buat kamu, Zufar."

Zufar terlalu pusing memikirkan ibunya, yang mendadak menjadi Mak Comblang seperti ini. Tanpa berkata apa pun, ia melangkah meninggalkan ruang tamu menuju kamarnya. Sementara Bella meremas pelan jas Zufar di pangkuannya. Sorot matanya menatap Zufar dengan sendu.

"Dimakan, Nak Bella."

"Iya, Bu. Terima kasih."

***

Bruk!

Tiba dikamar, Ansya membanting dirinya di ranjang, langsung tengkurap. Air mata yang entah sudah sejak kapan turun, masih mengalir dengan deras. Ia menangis sepuasnya.

Zufar tadi benar-benar marah. Matanya yang terlihat lelah, menyorotkan emosi tertahan. Selama mengenal Zufar, baru kali ini Ansya melihat pria itu benar-benar peduli dengan perempuan.

Kemarin saja kalau dia tidak memelas, apa Zufar mau menolongnya yang tengah tersesat?

Ah, pria itu sungguh sulit ditebak. Sukanya tarik ulur, perasaan Ansya. Puas menangis, Ansya bangun dari tidurnya. Ia tak mau besok matanya bengkak, dan ada lingkaran hitam seperti panda.

Ansya mencoba tersenyum, menyemangati dirinya untuk tidak menyerah. Meski Umi Zufar mengatakan perempuan yang sayangnya anggun itu, Bella. Calon istri Zufar. Ansya belum menyerah selagi janur kuning belum melengkung dan tenda biru belum didirikan.

"Semangat, Syaa!"  katanya pada diri sendiri, lantas bangun dari tidurnya. Mengusap kasar air mata yang masih menetes.

"Syaa, keluar atuh udah mau ujan, jemuran angkatin!" teriak Ibu Ansya dari balik pintu.

"Asnya capek Mak, mau tidur!" balas Ansya. Iya, capek. Capek menangis maksudnya.

"Capek naon, tadi aja abis main, gagean---kamu teh abis nangis?!" tanya ibu Ansya kaget, tangannya yang tadi berkacak pinggang ia turunkan. Netranya menatap lembut putrinya.

"Enggak, Mak. Ansya mau angkat jemuran bentar, yaa. Kayanya hujan udah mau turun," jawab Ansya. Ia melangkah tergesa keluar kamar.

***

Nduk = Nak
Gagean = Cepetan
Mak = Ibu

Vote, komentar dan share nya jangan lupa, yaa guys❤

Kami informasikan, lagi. Cerita ini kami ikut sertakan dalam lomba menulis marathon. Rex_Publishing

Doakan kaami, yaa. Khia_fa dan aku, Via.

Ceezy Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang