"Pak Zufar, ada paket untuk Bapak."
Zufar menggeram dalam hati. Sudah tiga hari terlewati, semenjak kejadian di kafe Ansya terus mengirimkannya paket tidak penting. Bahkan pernah Ansya mengiriminya sebuah makanan, yaitu semur jengkol beserta rantang dan nasinya. Zufar tidak begitu suka jengkol, walau makanan itu memiliki manfaat bagi tubuhnya, dan akhirnya 'paket' makanan dengan rantang itu berakhir di tangan satpam.
"Apa lagi?" Zufar berusaha untuk sabar, kali saja paket yang ini benar-benar paket penting.
"Saya kurang tahu, Pak."
Tanpa banyak bicara, Zufar pergi meninggalkan meja resepsionis. "Paketnya buat kamu aja," kata pria itu sebelum pergi.
Baru saja Zufar ingin memencet tombol untuk menunggu lift, sebuah suara cempreng nan membahara terdengar di telinganya.
"Ih, Teteh, jangan!!!"
Suara ini.
Tak seperti kemarin, ia menghampiri suara keributan, sekarang Zufar memilih untuk kabur. Dipencetnya tombol itu berulang kali, sesekali kepalanya menengok ke samping untuk memastikan bahwa Ansya tidak mengejarnya.
Sangking tidak sabarannya, Zufar hampir saja ingin berlari menuju tangga darurat sekarang juga. Ya, sepertinya itu ide yang bagus. Daripada dirinya menunggu lift yang tak kunjung terbuka, lebih baik ia menaiki tangga darurat. Ah, bukan hanya darurat, melainkan gaswat gawat darurat!
"Pak Om Zufar, tungguin Eneng Ansya!"
Astagfirullah, apa saya harus kejar-kejaran kaya film India sama monster kecil ini? Batin Zufar.
Ansya kesulitan membawa paket berbentuk persegi panjang di kedua tangannya. Rambut yang ia kucir dua, kanan dan kiri ikut terombang ambing saat berlari.
"Jauh-jauh, syuh-syuh!" Zufar balas berteriak, masih dengan berlari menuju tempat tangga darurat. Untung tidak begitu jauh, jadi Zufar bisa sedikit bernapas lega.
"Abdi teh bukan dedemit, Bapak Om!" Ansya masih tidak menyerah mengejar Zufar, meskipun, kini, ia harus menaiki anak tangga yang banyaknya gak bisa Ansya hitung dengan jari.
"Saya gak ngerti kamu ngomong apa, yang saya tahu," Zufar berhenti untuk mengatur napasnya sejenak sebelum melanjutkan, "kamu pergi, jangan kejar saya lagi."
"Ditolak!"
Ansya yang masih muda tak gencar mengejar langkah Zufar, yang kini mulai melamban. "Manusia-manusia yang kuat, itu Ansya! Jiwa-jiwa yang kuat, itu muda!" Ansya menyemangati dirinya dengan bernyanyi, walau ada lirik yang ia ubah seenak bakwan.
Sebenarnya, Zufar sedikit tersindir. Ia tahu dirinya lebih tua dibandingkan dengan Ansya, tapi bisakah gadis itu menutup mulutnya saat ini?
"Kalau kamu gak pergi, saya akan laporin kamu, karena sudah menjadi penguntit dan ganggu privasi saya!" Zufar mengancam lagi. Dalam hati ia menggeram, karena masih banyak anak tangga yang harus dilewati.
"Laporin aj―aaa!!"
Ansya terpeleset salah satu anak tangga, hingga kotak yang ia bawa terlempar jauh mengenai punggung Zufar. Naas, gadis itu terjatuh ke bawah, melewati lima tangga di bawah dan terjatuh dengan tubuh yang kaku.
"Shhh ...."
Zufar menoleh ke belakang, kedua matanya terbelalak, kaget. Tanpa pikir panjang, pria itu menghampiri Ansya dan menanyakan keadaan gadis itu dengan panik.
"Kamu gak apa-apa? Saya udah bilang, 'kan, jangan kejar saya. Ngeyel kalau dibilangin!"
Bukannya merasa takut, dan bersalah, Ansya malah tertawa mendengar nada khawatir Zufar untuknya. Tetapi tak lama, karena setelahnya ia kembali meringis, menahan rasa sakit pada lengan kanannya.
"Bapak Om, izin pingsan, boleh?" tanya Ansya dengan pandangan yang berkunang-kunang. Wajah Zufar menjadi berlipat ganda sekarang, entah harus senang atau sedih. Senang karena ia bisa mengejar semua Zufar yang dilihatnya, dan sedih karena bingung untuk memilih mana yang lebih dulu ia kejar.
"Untuk apa?"
"Gak tahu, 'watt'nya udah berkur-ang."
Setelah mengatakan hal tersebut, Ansya benar-benar pingsan. Awalnya Zufar merasa dipermainkan, pria itu menendang pelan kaki Ansya untuk membangunkannya, tetapi tetap tidak ada respon.
"Uang saya udah buat ganti rugi, kamu malah nambahin," gumam Zufar sebelum mengangkat tubuh Ansya―terpaksa― untuk dibawa ke klinik dekat kantor.
***
Plak!
Sebuah plester luka ditempelkan secara keras ke jidat seorang gadis, tanpa belas kasihan. Bahkan, jika tidak ada tembok, mungkin gadis itu sudah terjengkang ke belakang.
"Aduh, Bapak Om yang iklas, dong!" protes gadis itu sambil mengusap jidatnya.
"Lagian, tinggal dipasangin dokter aja pake protes, nyuruh saya yang pasangin," balas Zufar dengan kesal.
"Tapi, gak apa-apa, deh. Penuh cinta, 'kan, nempelinnya, Pak." Pernyataan sepihak dari Ansya membuat Zufar harus mengela napasnya, menahan emosi. Kalau saja boleh, ia ingin menabok jidat Ansya sekali lagi, agar gadis itu amnesia dan melupakan dirinya saja.
"Hm."
"Sekarang udah mau anterin pulang?" Memanfaatkan kesakitan dalam kesempatan, itulah yang Ansya lakukan sekarang.
"Saya akan telpon supir saya untuk anter kamu ke―"
"Egois!"
Apa lagi ini, ya Allah?
"Maksud kamu apa?"
"Bapak Om teh egois, padahal saya mah bakal anteng kalau dah dianterin."
Mungkin, memang harusnya begitu, pikir Zufar. Untuk apa juga ia takut pada gadis berusia tujuh belas―hampir delapan belas tahun ini, toh, dia hanya gadis SMA yang masih labil.
"Oke."
――――
Bagaimana menurutmu part ini?
Yang punya golok, tolong sumbangin ke Zufar, ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ceezy Love
RomanceBab masih lengkap | Sudah terbit Cerita ini kami ikut sertakan dalam lomba menulis marathon Rex Publishing. Di tulis oleh dua orang. Aya Sovia dan Khia_fa "Berawal dari typo, berujung dadi tresno."