chapter 5

5.3K 458 25
                                    

"Haaahh..."

Helaan napas panjang dari seorang gadis yang menenteng tas berisi tiga kopian tebal buku skripsi.

"Kalo gak buat wisuda, ogah banget nyusulin itu Dekan," gerutunya.

Shani baru saja meminta tanda tangan Dekan fakultasnya yang sedang ada agenda di kampus lain. Kenapa harus sekarang? Yah, alasannya banyak, males juga nyebutinnya, yang penting semua syarat untuknya sidang sudah beres. Tinggal menunggu jadwal sidang, wisuda, dan cus! Dia pun bebas dari lingkup dunia perkuliahan.

Mata tajamnya mengedar ke sekitar, mengabaikan beberapa pasang mata mengarah padanya. Shani menyadari itu, tapi tetap bersikap biasa saja dengan raut datar andalannya. Perutnya lapar. Tidak sempat makan di resto tadi karena keburu di telepon sang Dekan.

"Kantinnya dimana, sih?"

Suasana lingkungan kampus ini cukup sepi, tak banyak ia lihat mahasiswa berkeliaran. Mungkin karena hari sabtu? Atau lagi jam kuliah? Entahlah, ngapain juga dipikirin. Apa-apa segala dipikirin. Duh, overthinking.

"Nah, itu dia!" girang Shani menemukan tujuannya, mempercepat langkah yang tampak sangat kesusahan karena bawaannya yang cukup berat.

Setelah perjuangan yang melelahkan berjalan di bawah terik mentari, Shani akhirnya tiba di pintu masuk kantin. Matanya kembali mengedar pada tempat yang juga terlihat sepi ini. Hanya ada satu-dua meja yang terisi. Eh, tiga. Ada satu meja lagi di sudut sana dan-

Deg!

Those mesmerizing pupils again.

Meski mencoba tetap tenang, nyatanya perasaan was-was itu berhasil menguasainya. Gracia menggenggam erat ponselnya, geraknya pun mulai gelisah, serta tatapan yang mengedar ke segala arah. Kemana saja, asal tak menatap balik manik hitam cowo di depannya.

Dia baik. Hamids, 'kan namanya? Gracia bisa merasakan kalau dia adalah cowo yang baik. Tak seperti kebanyakan cowo yang pernah mencoba 'mendekatinya', tapi tetap saja-

"Eer, sudah lama aku ingin kenalan dan ngobrol sama kamu, Gracia. Tapi, yaa uh, kamu selalu dikelilingi teman-temanmu, jadinya aku segan aja hehehe," ujar Hamids, mencoba seakrab mungkin dengan gadis manis di depannya.

Gracia mengangguk pelan dan tersenyum kecil menanggapinya. Membalas tatapan penuh harap itu sekilas, kemudian cepat mengalihkannya lagi ke segala arah, dan di sana. Dari tempat dan waktu yang ada, manik kelam yang sebelumnya pernah bertemu pandang, kembali terlihat.

"Graci-" Hamids menghentikan ucapannya saat melihat Gracia tiba-tiba melambaikan tangan ke arah belakangnya.

Gracia berusaha mendapatkan perhatian Shani yang masih cengo di pintu masuk kantin. Beberapa detik berlalu, gadis tinggi itu pun akhirnya sadar dan menunjuk pada dirinya sendiri. Membuat gestur dan raut bertanya, apakah ia yang dimaksud?

Gracia menggangguk antusias, kembali membuat gerakan, menyuruh gadis yang masih belum ia tahui namanya itu untuk mendekat-menghampirinya.

Shani tanpa berpikir panjang pun segera melangkahkan kakinya ke tempat Gracia berada. Sempat beberapa kali tersandung sudut meja karena bawaannya, sakit sih, tapi Shani mengabaikannya. Berusaha memasang raut senyum semanis mungkin, meski perasaannya kini campur aduk.

"Hai!" sapa Shani pada Gracia saat ia sudah berdiri di samping meja. Perhatiannya terfokus hanya pada sang pujaan yang tersenyum manis padanya. Mengabaikan entitas lain di antara mereka.

'Cantiiiiikkkkkk gemesss bangggeeettt aaaakkkk', inner Shani yang gesrek.

Shani sekuat mungkin mengendalikan diri, berusaha menampakkan sosok dirinya yang cool dan tenang. Keningnya sedikit berkerut saat melihat Gracia mengetik cepat di ponselnya.

Really LikeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang