Shani memarkir mobil Jinan di garasi rumahnya. Melirik jam di pergelangan tangan, pukul 8.45, sudah lewat jam makan malam. Menebak-nebak, Ayah pasti langsung ke ruang kerjanya, begitu pun Nadse sibuk sendiri di kamarnya. Mungkin hanya Bunda saja yang bersantai di ruang tengah, menonton acara gosip favoritnya.
Menghela napas pelan, Shani memilih untuk masuk ke dalam rumah lewat pintu samping. Beberapa langkah setelah masuk, tak ia temukan satu pun anggota keluarganya, si bibi pun paling di dapur berberes. Tapi ia mendengar suara televisi dari ruang tengah. Niatnya untuk langsung berbelok menuju kamarnya di lantai atas tak jadi, langkah kakinya malah berbelok ke arah ruang tengah.
Hal yang pertama netra coklat Shani lihat adalah sang Bunda tampak fokus menonton acara gossip malam. Seperti tebakannya. Tak tampak Ayah maupun Nadse. Berjalan sedikit lebih dekat, Shani pun berdehem, memanggil atensi ibunya.
Naomi sedikit tersentak kaget mendengar deheman dari arah belakang. Menoleh dari layar televisi, netra coklat nan teduh itu mendapati sang putri sulung berdiri kaku di sana.
“Shani? Aaiiihh akhirnya pulang juga anak Bundaaa!” bergegas Naomi bangkit berdiri dan menghampiri Shani. Seketika memeluknya erat.
Kaget juga dengan sikap sang Bunda. Shani kira akan dimarahi atau diomeli lah, mengingat tingkahnya beberapa hari belakangan ini pasti membuat kedua orang tuanya kesal. Apalagi sang Ayah.
Shani membalas pelukan erat dan hangat Naomi. Merasakan kenyamanan yang entah kenapa menumbuhkan perasaan rindu di hatinya. Ditambah usapan lembut penuh kasih sayang, benar-benar membuatnya bertanya pada diri sendiri,
..sejak kapan terakhir kali Shani menerima perlakuan manis ini dari Bundanya? Sejak kapan ia sudah melupakan rasa ini? Sejak ia sibuk dengan dunianya sendirikah? Atau kapan? Padahal sudah tinggal serumah bersama keluarganya.
Kenapa hatinya tiba-tiba resah dan...sakit?
“Bunda khawatir banget sama kamu, sayang. Shani baik-baik aja, 'kan?” tanya Naomi selepas pelukannya. Menangkup sisi wajah putri sulungnya dengan kedua tangan, manik coklatnya memperhatikan setiap inchi rupa sempurna gadisnya ini.
Pertanyaan itu membuat Shani sedikit panik. Padahal cuma ditanya kabar saja, kenapa malah panik? Kenapa malah menimbulkan perasaan bersalah yang semakin membuat hatinya perih? Netra coklat miliknya yang sama persis dengan sang Bunda, kenapa netra milik ibunya itu terlihat sangat khawatir? Apa ada hal yang terjadi selama ia 'kabur' kamarin? Desy dan Siska tidak berkata yang aneh-aneh, 'kan?
Apa..ah, sial! Overnethink got her like a truck.
“Shani? Sayang, kamu kenapa?”
Usapan lembut di keningnya yang berkerut dalam, seketika menyadarkan Shani. Mengangkat sebelah tangannya, merengkuh satu tangan Bundanya, kemudian menariknya turun.
“Shani baik-baik aja kok Bunda. Maaf ya, Shani bikin Bunda khawatir,” ucap Shani pelan. Kedua tangan Shani menggenggam lembut sebelah tangan ibunya. Ekspresi Shani datar, semata untuk menahan emosi yang mulai bergejolak dalam hatinya.
Naomi memandang dalam putrinya. Menghela napasanya kala tak lagi ia bisa membaca raut wajah gadis tinggi ini. Jarangnya tak bersitatap wajah, membuatnya seakan melupakan fakta bahwa salah satu sifat Vernando tentang pengendalian ekspresi paling melekat di diri gadis sulungnya ini. Sikap dinginnya, independen, lil' bit of over confident, ditambah lagi dirinya yang lebih memilih untuk menyendiri dari keluarganya, membuat Naomi seperti kehilangan sosok Shani.
Padahal sudah berusaha menciptakan waktu bersama keluarga, meski harus memohon keluangan waktu untuk itu. Naomi merasa masih sulit saja untuk merangkul anak sulungnya ini. Bukan, hubungan keduanya tidaklah renggang atau apa, hanya saja Naomi seperti tak bisa menggapai Shani.