chapter 12

4K 353 32
                                    

Shani sudah memulai kegiatan bekerjanya di perusahaan sang ayah sejak dua minggu yang lalu. Sebuah ruangan luas dengan peralatan mewahnya kini menjadi milik Shani sendiri. Sebelumnya ia harus menumpang dulu bersama Nadse. Selain karena ia masih harus belajar bersama adiknya itu, juga karena ruangannya masih direnovasi.

Fokus Shani pada berkas yang tengah ia baca terusik saat merasakan getaran ponsel yang ia silent. Rehat sejenak dari deretan huruf dan angka-angka, Shani menjangkau ponsel di sudut meja. Sebeuah senyum seketika terbit melihat nama pemanggil di layar ponsel. Tak menunggu lama, langsung ia geser tombol hijau menjawab panggilan.

“Halo Gracia!” sapanya duluan, kelewat semangat.

Eh, hai Shani...um, kamu lagi sibuk?” balas Gracia diujung telepon, terdengar sedikit kaget dengan sapaan Shani.

“Gak. Lagi nyantai aja, sih ini bacain laporan gitu-gitu deh,” jawab Shani. “Ada apa nih?”

Pengen makan siang bareng Shani. Boleh?”

Lucky banget Shani, gak ada angin, gak ada hujan diajak makan siang bareng bidadari. Degub jantungnya seketika kegirangan, berdetak exicted. Berdehem sejenak, baru juga akan menjawab, dengan tiba-tibanya pintu ruangan terbuka menampakkan sosok sang adik yang bergelayut manja di lengan Desy.

“Ciciii!!” sapa Nadse tampak girang entah kenapa.

“Yo, Shan. Sibuk amat nih Bu Bos,” Desy ikut menyapa dengan nada jailnya.

Shani menghela napas, mengangkat sebelah tangan mengisyaratkan kedua makhluk itu untuk diam. Perhatiannya kembali fokus pada bidadari di seberang sana yang tak sengaja ia abaikan.

“Iya, Ge. Maaf tadi ada yang ganggu. Makan siang bareng? Bisa kok bisaa. Kamu sekarang dimana? Biar aku jemput.”

Nadse melepaskan Desy yang berjalan ke kulkas di sudut ruangan. Haus katanya tadi sebelum ke ruangan Shani. Kening gadis bungsu Tanumihardja itu berkerut, mencuri dengar ucapan sang kakak yang tengah bertelepon.

Ge?

Senyum Shani kembali merekah mendengar ucapan Gracia, kemudian memberikan janji dan salam penutup agar segera bertemu, sambuangan pun dimatikan. Saat dirinya menoleh, sedikit kaget mendapati Nadse menatap tajam dan curiga padanya.

“Kamu ngapain, Nads?” tanya Shani heran.

“Cici mau makan siang bareng Gacia?” todong Nadse, mengabaikan pertanyaan kakaknya.

Shani semakin menatap heran adiknya, “Iya. Dia ngajak Cici temenin dia makan siang. Btw, kamu ngapain ke sini? Bareng Ci Desy juga?”

“Gue ada urusan sama lo, Shan. Kebetulan aja tadi di lorong ketemu Nadse baru kelar meeting,” Desy mengambil alih menjawab pertanyaan Shani. Dengan santai ia duduk di kursi depan meja Shani. Tanpa segan eminum habis soda kalengnya.

Shani menatap datar Desy yang cengengesan, setelah dengan isengnya menghentakkan kaleng itu ke meja. Untungnya sudah kosong atau kertas dokumennya akan terciprat.

“Ci, Cici beneran mau makan siang bareng Gracia?” Nadse kembali bertanya.

Perhatian Shani kembali terarah pada sang adik. “Iyaa. Kamu mau ikut makan bareng Cici juga?” tawar Shani. Sadar ia tak'kan bisa lepas dari adiknya kalau ia sudah tau Shani akan makan bareng Gracia.

Shani masih penasaran ada hubungan apa adiknya ini dengan gebetannya itu. Kalau pun nanti ternyata Nadse juga mempunyai rasa pada Gracia, apa yang harus ia lakukan? Shani sangat menyayangi Nadse. Sedari kecil kakak beradik ini sangat dekat sekali. Nadse pasti akan selalu lari padanya lebih dulu dari pada ke orang tua mereka. Nadse sungguh sangat bergantung sekali pada kakaknya. Shani pun tahu segala hal tentang Nadse. Hingga keputusannya yang memilih untuk 'menyendiri' dulu, membuat terciptanya jarak antara mereka.

Really LikeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang