chapter 4

5.4K 435 34
                                    

Kesadaran Shani perlahan muncul, diiringi rasa berat yang menghimpit sisi tubuhnya. Membuka mata dan mengerjapkannya beberapa kali, tak terbiasa dengan lampu kamar yang menyala terang. Biasanya dia hanya akan menggunakan lampu meja yang redup, tapi karena ada tamu tak diundang yang takut gelap, jadilah dia harus menahan perih di matanya.

Melirik si tamu yang masih lelap dalam tidurnya. Shani menghela napas lelah dengan Nadse yang hobi sekali tidur sambil memeluk dan bertumpu di setengah tubuhnya. Menjadikannya guling.

"Nads, bangun ey. Berat, nih!" Shani mencoba membangunkan adik kecilnya itu.

Nadhifa Salsabila, atau akrab dipanggil Nadse, adik kandung seorang Shani Indira. Mengaku kabur dari acara yang membosankan, Nadse dengan seenak jidatnya datang dan menginvansi kamar apartemen kakaknya. Sudah beberapa minggu ini mereka tidak bertemu, jadilah Shani mengalah dan membiarkan sang adik mengoceh tentang kesehariannya pada sang kakak.

Well, itu adalah salah satu kompensasi yang Shani terima dari Nades karena mangkir dari tugasnya menangani usaha bisnis ayah mereka. Shani pun tak keberatan melayani adiknya yang sangat manja itu. Berbanding terbalik dengan sikapnya saat berada di dunia bisnis dan semacamnya. Setidaknya Shani menepati janjinya selalu ada untuk sang adik.

"Dek, bangun," Shani menepuk pelan pipi Nadse yang menyuruk di ceruk lehernya.

"Five more mints uuh," gumam Nadse, semakin memeluk erat sang kakak.

Lagi, Shani menghela napas. Diliriknya jam di nakas, pukul enam dan dia harus siap-siap berangkat ke resto jam tujuh atau tidak ada sarapan untuknya.

"Nadseeee Cici bisa telat ke resto iniii," Shani kembali mencoba melepas dirinya dari kungkungan sang adik. Masih belum beranjak, Shani pun menggelitiki Nadse.

"Hahahah iyaa iyaaa ampuuunn Cici, udah!" Nadse langsung berguling menjauh dari jari-jari Shani yang menggelitiki perutnya. Dia lemah kalau digelitik, senjata ampuh Shani.

"Curang, ih! Mentang-mentang aku gak tahan geli, huh!" cemberut Nadse mendelik kesal sang kakak yang sudah beranjak dari kasur.

"Biarin. Kamu gak ada kegiatan hari ini?"

"Gak," balas Nadse yang kembali meringkuk di kasur. Aroma sang kakak terlalu nyaman untuknya. Shani geleng kepala dan berlalu ke kamar mandi.

Selesai bersih-bersih, Shani tak menghiraukan adiknya yang masih lelap. Dirinya keluar kamar menuju dapur, berniat membuat sarapan untuk adiknya walau hanya roti panggang dan segelas susu hangat. Setelahnya dia meninggalkan pesan dan keluar dari apartemen.

Shani baru saja tiba di loby, dikagetkan oleh kehadiran kedua orang tuanya yang tengah berbincang dengan bos-nya di resto.

"Ayah, Bunda, Kak Yona? Eh, kok kalian ada di sini? Pagi-pagi gini?" tanya Shani heran mendekati mereka.

"Halo anaknya Bunda yang paling canciiiii uwuwuwu!" sapa Shinta Naomi dengan hebohnya.

"Uwaa- Bunda!" Shani kaget dan kewalahan menerima bear hug ibunya yang cukup hyper ini. Membalas pelukan hangat sang ibu, Shani juga merindukan perempuan hebatnya ini.

"Kamu tampak sehat, sayang. Gemukan nih, pipinya! Pagi-pagi rapih gini, Cici mau ke resto, ya?" tanya sang bunda lembut, membelai penuh kasih sayang wajah cantik putrinya.

"Iya, Bunda. Yaa mau gimana, makanan resto enak-enak, sih hehehe," canda Shani kelewat keras, sengaja biar didengar Yona.

Perempuan mungil yang sepantaran dengan orang tua Shani itu pun terkekeh geli. "Bisa aja kamu."

Kenapa Shani dan anak-anak resto memanggilnya dengan sebutan 'Kak'? Karena Yona merasa dirinya masih muda dan lagi perempuan itu memutuskan hidup sendiri setelah ditinggal mendiang suaminya beberapa tahun lalu. Meski begitu, dia tetap hidup bahagia dengan orang-orang di sekitarnya. Ohya, Yona juga punya dua orang anak angkat.

Really LikeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang