Gracia menatap raut penuh harap cowok tampan yang tengah berlutut di hadapannya. Memegang lembut sebelah tangannya dan tangan lain cowok itu memegang kotak kecil yang terbuka, memperlihatkan sebuah cincin yang sangat indah. Gracia menghela napas pelan, seraya sebelah tangannya yang bebas, bergerak perlahan, mengulur pada kotak cincin, dan menutupnya pelan.
"Aku sayang sama Ben," ucap Gracia, menggenggam kotak kecil beserta tangan Feno. "Sebagai sahabat seperti Anin, sebagai kakak seperti Kak Vino dan Bang Boby. Aku gak bisa anggap kamu lebih dari itu. Maaf..."
Suara-suara yang sempat hening kini mulai terdengar kembali. Ada yang menyayangkan jawaban sang putri malam ini, mengasihi si cowok, ada juga yang senang saat Gracia menolak karena mereka punya kesempatan untuk mendapatkannya. Tapi lebih banyak pula yang memaklumi seperti kejadian ini sudah pernah terjadi, entah untuk ke berapa kalinya.
Hey, siapa yang tidak mau menjadi pasangan dan memiliki menantu seperti seorang Shania Gracia? Gadis yang hampir mendekati kata sempurna di usianya yang masih muda ini.
Feno terdiam menerima penolakan atas lamarannya. Masih setia berlutut, meski terasa tarikan pelan, memintanya untuk berdiri. Kepala cowok itu menunduk, balas menggenggam lebih erat kedua tangan mungil di genggamannya. Helaan napas berat, sedikit terpaksa, kemudian bangkit berdiri di hadapan sang pujaan hati.
Feno selangkah lebih dekat, mengangkat kedua tangan mereka sebatas dada. Feno memandang dalam tautan tangan mereka yang menggenggam kotak cincin. Setelahnya mengangkat kepala, menatap manik indah dari gadis tercantik yang pernah dan akan selalu berada di hatinya.
"Sakit Gre, ditolak sama kamu. Padahal aku sudah menantikan ini sejak lama. Sejak pertama kali bertemu denganmu. Aku beneran sayang sama kamu, Gracia," ucap Feno, bercampur emosi dalam nadanya.
Gracia melepas perlahan sebelah tangannya, menangkupnya di pipi wajah tampan itu. Dirinya tak peduli menjadi tontonan dan bahan pembicaraan mereka. Merasa tak ada rasa, merasa sudah biasa.
"Jangan memaksa. Aku juga sayang Feno, tapi tak harus seperti ini. Aku tak mau terikat. Kamu pastinya udah ngerti alasannya, 'kan?"
Feno kembali terdiam, mendengar nama panggillannya berubah. Emosi yang bercampur semakin diacak, saat ingin meluapkannya, tapi terpaksa ditahan. Kerlingan emosi di manik indah gadis itu seketika membuat nyalinya menciut.
Tanpa sadar Feno melirik ke samping, ke arah sang ayah yang memasang tampang murkanya. Well, dia tidak cerita apa pun pada sang ayah tentang rencana lamarannya ini.
'Mampus gue'.
"Gre, uhh..hum, baiklah. Maaf, aku tidak akan memaksa. Aku terima keputusanmu. Tapi, kita...kita masih bisa berhubungan baik, 'kan?" Feno harap-harap cemas menantikan balasan Gracia.
Tangan Gracia kembali bertumpu di genggaman tangan mereka. Tersenyum manis, "Tentu saja, Ben. Kamu dan keluargamu udah jadi bagian keluargaku juga. Aku sayang sama Ben, sayang sama Ayah Deva juga. Tetap selalu seperti itu."
Feno merasa 'lapang' saat mendengar nama kesayangannya lagi dan senyum manis itu. Tak ada aura 'sengit' yang sempat mengekangnya tadi. Memang suatu kesalahan besar dia berbuat seenaknya seperti tadi.
'Tapi, gue beneran sayang banget sama lo, Gre. Patah hati semenyakitkan ini ternyata.'
"Beruntung tu bocah anaknya si Deva. Kalo gak, mungkin dia ama keluarganya bakal nanggung malu dan posisinya terancam kayak keluarga Ardian dan beberapa keluarga lainnya."
Kuping Shani naik saat tak sengaja mendengar ucapan seorang bapak-bapak berjas mewah di sebelahnya.
Jujur saja, jantung Shani sempat berhenti berdetak melihat Gracia dilamar seorang cowok. Emosinya campur aduk, sedih, kesal, marah, menyesal, kecewa, dan lainnya. Tapi detika itu juga berubah lega bukan main, mendapati jawaban Gracia yang menolak lamaran itu.