Memikirkan bagaimana rasanya menjadi pengangguran lagi, rasanya sangat menyedihkan. Pak Adi memang bilang tidak akan memecatnya, tapi harga diri siapa yang tidak terbanting jika ternyata Justin benar-benar membatalkan kontrak itu?
Keringat, darah dan harga diri Pak Adi yang sebenarnya jatuh di tangan Nancy sendiri, bukan di tangan Justin. Tapi—tenggorokan Nancy kian tercekat memikirkan itu. Batinnya bergejolak, marah, kecewa, sedih, sendirian. Ia bingung harus berpikir bagaimana. Harga dirinya sudah entah berjalan ke mana. Semua orang menatapnya hina, seakan ia adalah makhluk paling berdosa di dunia. Ia benci duduk di kursi itu. Belum lagi napas kesal yang sesekali Rini keluarkan, bisik-bisik sinis mereka, Nancy rasanya tidak tahan. Ia benci ada di lingkaran seperti ini. Rasanya yang tadinya ia sudah bangun untuk percaya diri, seketika hancur begitu saja oleh seseorang bernama Justin Wijaya.
Laki-laki itu...
Sore itu, sepuluh menit sebelum jam setengah enam, Nancy yang habis dari toilet membuka pintu balkon kecil di sebelah pantry, berdiri di sana menatap langit Jakarta yang berpendar jingga. Seandainya perasaannya sehangat warna langit itu, seramai jalanan di bawah sana, tapi kenyataannya, angin hanya menyapu wajahnya kian mengantuk dan putus asa.
"Kamu nggak apa-apa?"
Tiba-tiba seseorang membuka pintu balkon langsung mengajukan pertanyaan itu. Nancy terkejut sebentar, menoleh ke arah datangnya suara.
Lia. Dengan tas tangan yang ia genggam, sepertinya ia juga baru saja dari toilet dan melihatnya berdiri sendiri di balkon. Membayangi punggunya yang menatap gedung demi gedung di Sudirman ini, kesannya terlihat menyedihkan.
Nancy hanya tersenyum miris, "aku sehat."
Lia memandanginya dengan tatapan prihatin. "Bukan. Maksudnya, masalah kamu tadi pagi."
Benar saja, kan? Dalam sekejap, Nancy sudah menjadi sosok yang paling populer di daily news gossip wanita-wanita itu.
Ia menghela napas sambil menjawab, "ah, nggak usah di pikirin, kak."
Sejenak, Lia yang berdiri di sampingnya hanya menatapnya diam. Nancy tahu, menceritakan masalah itu ke siapa pun tidak akan pernah menyelesaikan apa-apa. Jadi buat apa dia menceritakan itu? Meski Lia berharap dirinya bercerita karena pada normalnya—manusia harus meluapkan emosi supaya tidak menjadi psikopat—rasanya Nancy sudah tidak mau membicarakannya dan membiarkan hal itu mengalir begitu saja. Intinya, dia harus bertemu lagi dengan Justin Wijaya dan memohon supaya tidak membatalkan kontraknya. Mustahil sekali, pikir Nancy. Tapi, dia harus berusaha sendiri. Demi keringat dan darah juga harga dirinya yang menjadi satu dengan milik Pak Adi.
"Maaf, ya. Mereka memang suka jutek sama orang baru. Apalagi kalau menyinggung Justin Wijaya. Naluri wanitanya keluar semua, posesif."
Nancy menahan tawa remehnya. Posesif? Memangnya Justin Wijaya itu idola apa di mata mereka? Hanya orang gila yang menyukai laki-laki temperamen dan bermulut kasar seperti dia.
"Yang penting aku nggak di pecat, kok, kak."
"Justin Wijaya itu klien impian kita, makanya pekerja kayak kita ini puas banget kalau meeting sama dia. Apalagi Justin itu kan masih single."
Nancy sama sekali tidak peduli dengan informasi yang ia terima, tapi berbasa-basi dalam kesempatan seperti ini sangat baik untuk perasaannya yang sedang kusut. Kadang, kalau sedang pusing, Nancy senang membicarakan sesuatu yang tidak penting, Membuatnya berpikir, terkadang, menjadi tidak penting saja sudah cukup.
"Ah, tahu dari mana, kak?"
"Dia teman kuliahku dulu. Bukan teman sih, kenal biasa. Aku tahu tipe dia kayak apa. Dan saudaranya dia itu temanku juga. Jadi aku cukup tahu banyak hal dari sana."
"Oh, pantes kakak selalu jadi bahan waktu ngomongin Justin itu kayak tadi siang."
"Ya, begitu."
Nancy terdiam sejenak, menikmati angin yang tiba-tiba berembus melewati mereka.
"Sebenarnya aku lagi bingung gimana minta maaf sama dia, kak."
"Kenapa?" tanya Lia dengan ramahnya. Seandainya semua orang di sini perhatian seperti Kak Lia, setidaknya beban batin yang Nancy rasakan tidak seberat ini.
"Pak Adi takut mereka tarik penawarannya lagi ke konsultan lain."
"Ah.." Lia berkomentar mengerti sambil mengangguk-angguk.
"Sialnya aku gara-gara nggak sengaja nabrak Justin di stasiun MRT terus masa dia mau tarik kontrak gitu aja? Keterlaluan." Seakan beban itu semakin terasa ketika di ceritakan, sekalian saja Nancy luapkan. Kalau tidak begitu, ia bisa diam-diam depresi, dan gila sendiri. Kebetulan saja Lia lewat dan mau mendengar sebagiannya. Biasanya hanya tembok yang berpura-pura mendengar di kamar indekosnya.
"Justin emang begitu. Namanya juga anak bos, dan kita cuman budak-budak kurang beruntung."
"Ah, ada-ada aja sih," Nancy bersandar pada pagar balkon sembari meringis. Kenapa kesannya dunia jahat sekali padanya, ya? Angin sore seperti ini memang paling bisa membawa suasananya hangat. Seperti semakin Nancy berbicara, rasa tenang menyerbu dan melepas semua penatnya.
"Kamu beneran mau ketemu dia lagi?" Lia menatapnya tidak yakin.
"Mau nggak mau kak."
"Kalau gitu aku bantuin kamu ngomong, ya? Aku tahu rumahnya."
Nancy segera menegakkan tubuhnya dan mengibaskan tangannya. "Nggak perlu kak. Kalau kakak ikutan, bisa jadi satu kantor sinisin aku."
Ide buruk sepertinya. Lebih baik Nancy tetap berpegang teguh pada prinsipnya. Masalah seperti ini jangan dibawa ke orang lain lagi. Benar kata Pak Adi, ini adalah urusan pribadinya dengan Justin. Jadi cukup dia dan Justin saja. Siapa pun itu, orang kantor mana pun, tidak boleh berpartisipasi. Karena tetap saja, ini semua karena pantatnya yang tidak bisa mengerem di pegangan tangga empat bordes stasiun MRT.
***
Berhubung besok Sabtu, aku jadi upload ini dua ya. Soalnya suka labil kalo Sabtu hehe.
Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️
Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.
Ditunggu part selanjutnya Senin depan ya. Terima kasih✨
KAMU SEDANG MEMBACA
Snow Butterfly
RomanceCompleted. (Judul sebelumnya When the Snow Fall in Love with a Butterfly) --- "Gue mau tanya sama lo." Gadis itu diam. "Lo suka kupu-kupu?" "Hah? Bi-biasa aja. Gue lebih suka ulatnya." Justin tertawa. "Kenapa?" "Pernah denger ceri...