"Sebenarnya ada hal lain, selain aku takut suka sama dia. Permasalahan hidup orang dewasa lebih banyak dari itu. Dan menurutku, hidupku lebih penting daripada memikirkan soal percintaan lagi." Nancy melanjutkan seraya melempar senyum tipis ke arah pemuda itu.
"Tapi, selama kamu masih muda, nikmatin aja hari-harimu. Sebelum kedewasaan datang, kamu udah harus mempersiapkan diri, biar nanti nggak menyesal."
Pemuda itu kembali menulis lagi, agak cepat.
"Emangnya menjadi dewasa sesulit itu?"
Nancy berpikir sejenak. Memang sesulit itu? Apakah Nancy hanya berpikir sendiri kalau menjadi dewasa itu sulit? Ia pernah melihat pergaulan teman-temannya di sosial media seperti apa, bagaimana cara gaya hidup perkuliahan mereka yang mewah sedangkan Nancy harus membiaya hidupnya sendiri dengan bekerja tanpa kuliah. Merelakan harapannya pupus, dan mengabdikan dirinya sebagai anak paling tua untuk menjaga ibunya, membiarkan adiknya sendiri yang menjalani dunia perkuliahan yang Nancy impikan. Apakah sesulit itu menerima kenyataan pahit ditangan sendiri?
Sejenak, Nancy tidak menjawab apa-apa. Ia hanya menatap kosong pemandangan di depannya sementara pemuda itu terus menatapinya dengan pandangan penasaran.
"Mungkin sebagian orang nggak. Aku cuman kurang beruntung aja," ujar Nancy sambil menertawakan dirinya sendiri.
"Akhir-akhir ini aku juga ketemu sama teman baru. Dan dia juga mengeluhkan permasalahan menjadi dewasa. Aku jadi khawatir nggak bisa menghadapi itu," tulis pemuda itu beberapa saat setelah hening menjeda mereka. Nancy tersenyum memandangnya.
"Jangan terlalu dipikirin. Orang dewasa emang selalu ngerepotin. Tapi percaya aja, kamu bisa melewati masa-masa itu. Yang penting, cintai dirimu sendiri dan percaya kamu nggak pernah sendiri."
Pemuda itu memiringkan kepalanya, menatap Nancy bingung. Kemudian ia menunjuk ke langit.
"Jangan lupakan pencipta dunia ini. Kamu masih punya Dia buat menangis, dan mengadukan segala permasalahan kamu, kan?"
Senyum anak itu seketika terbit. Seperti ia mendapatkan jawaban atas segala permasalahan yang ia takutkan. Bagaimanapun, manusia selalu akan kembali mengingat sang pencipta. Meski kedewasaan menelan semua perasaan itu dan menggantinya dengan kekuatan duniawi yang begitu kuat, tapi percayalah, itu hanya sementara. Nancy belajar banyak soal itu, dan ia tidak ingin tidak melangkah bersama doa-doanya.
"Nama kakak siapa?" Pemuda itu menyodorkan bukunya lagi. Nancy terkejut kemudian tertawa.
"Astaga, kita belum kenalan, ya! Aku Nancy. Kamu?"
Seakan-akan semuanya berubah ketika Nancy melihat senyum pemuda itu, ia merasa hubungannya menjadi lebih baik. Entah kenapa, ia seperti memiliki teman yang benar-benar mengerti dirinya. Meski pemuda itu bisu, tapi bagi Nancy, ia tidak mengharapkan balasan apa-apa. Ia hanya ingin mengungkapkan semua sesak di dadanya. Ketika menjadi dewasa, semua permasalahan itu datang dan pergi. Menumpuk dan jatuhi pundakmu berkali-kali, dan harus bertahan berkali-kali. Dan menceritakan soal itu kepada pemuda itu ia merasa jauh lebih baik. Apalagi waktu melihat pemuda itu kembali tersenyum semangat. Ia seperti sukses menjabarkan permasalahan dan solusinya secara lengkap. Meski tetap saja, semuanya bergantung dengan cara orang menerima pendapat itu, tapi perasaan Nancy seperti dua kali lebih bahagia.
"Aku Hendrick. Di kamar 105 lantai lima. Kakak lantai berapa?"
Berkomunikasi dengan tulisan membuat Nancy lama-lama terbiasa. Ia segera menyahut kalau kamar ibunya sendiri ada di lantai 7 kamar 200.
"Kamu kenapa sering keluyuran malem-malem gini? Nggak ketahuan mama papa kamu?"
Hendrik tersenyum sambil menulis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Snow Butterfly
RomanceCompleted. (Judul sebelumnya When the Snow Fall in Love with a Butterfly) --- "Gue mau tanya sama lo." Gadis itu diam. "Lo suka kupu-kupu?" "Hah? Bi-biasa aja. Gue lebih suka ulatnya." Justin tertawa. "Kenapa?" "Pernah denger ceri...