"Lo bentak seorang Justin Wijaya?!"
Di dalam mobil, setelah semua kerusuhan yang terjadi beberapa jam yang lalu, Nancy hanya bisa menggigit bibir, menatap pandangan luar dengan kesal. Mereka sedang perjalanan pulang kembali ke kantor, mengarungi jalanan yang padat merayap.
"Ya mana ku tahu kalau dia owner klien kita," jawabnya membela diri. Tapi ia tahu, kalimat apa pun tidak akan pernah menyelamatkan dia dari kondisi yang sudah kacau balau seperti ini. Sekarang bukan Justin Wijaya saja yang ia khawatirkan, tapi orang-orang di kantor yang akan mengetahui soal ini. Nancy membayangkan bagaimana raut wajah Rini yang dengan membabi buta menceritakan kejadian ini di meja makan pantry, kemudian semua orang kian membenci dirinya karena sudah beradu suara dengan seorang Justin Wijaya yang mereka 'dewa'kan itu.
Diam-diam Nancy menyesal. Kenapa sih, hari ini? Masih siang saja ia sudah mengeluh kesal.
"Ya seenggaknya lo jaga sikap! Kalau sampe dia cancel proyeknya sama kita, gue nggak mau tahu, lo harus tanggung jawab!"
Nancy terbelalak menatap Rini. "T-tapi, kak ini kan--"
"Bodo amat! Nggak peduli gue lu mau ngomong apa. Lo tuh anak baru, nggak usah banyak gaya bisa, nggak? Ini tuh proyek besar, gue bilang apa tadi aja lo nggak nerapin."
"Dia bilang aku aku gila, aku nggak terima—"
Rini menoleh dengan kesal ke arahnya. "Dia Justin Wijaya, Nancy sayang. Dia adalah owner, klien dari segalanya yang harus kita hormatin sampai kapan pun. Lo tahu nggak betapa susahnya Pak Adi dapetin proyek ini sementara lo malah bikin hubungan kantor kita sama mereka jadi berantakan? Pernah mikir sampai situ?"
Seketika Nancy membisu. Ia tidak lagi bersuara, tidak lagi berpendapat dalam pikirannya. Apa yang dikatakan Rini itu benar. Ia hanya mengacaukan segalanya gara-gara urusan pribadinya. Dasar bodoh, kenapa sih ia selalu tidak bisa mengendalikan emosinya? Kalau begini, yang bisa tanggung jawab siapa lagi? Baru hari pertama kerja, kenapa selalu ada saja masalahnya. Tiba-tiba Nancy seperti mendengar makian ibunya di kepala. Ia semakin tenggelam, bersandar di punggung kursi mobil, menahan ketakutan.
Sampai kantor nanti, habislah gue..
xx
Justin Wijaya melemparkan berkas begitu saja di ruangannya dengan kasar. Wajahnya tidak pernah lurus kembali sejak selesai rapat bersama tadi. Proyek yang harusnya ia teliti dan telaah malah goyang dan runtuh semua ketika gadis itu muncul di hadapan wajahnya.
Aku udah minta maaf ke dia tadi pagi. Dia aja yang gila hormat!
Dengan gerak kesal, Justin melemparkan tubuhnya ke kursi lengan di balik meja. Seseorang mengetuk, kemudian memasuki ruangan tanpa respon darinya. Pria tua berpakaian formal berjalan mendekat sambil membawa buku kecil di tangannya. Ia tersenyum, berdiri di samping Justin yang bernapas kesal.
"Gimana rapatnya?"
Justin tidak menjawab langsung. Ia mengambil beberapa berkas dari mejanya kemudian berucap dingin, "batalin. Cari konsultan lain."
"Apa?"
"Lo budeg?" Justin menoleh sinis.
"Tapi itu kan teman papa kamu, Justin." Asistennya kembali menjawab agak cemas.
"Bodo amat gue nggak peduli. Emang konsultan lighting di Indonesia cuman mereka?"
Tanpa bicara lagi, Justin membuka laptop di depannya dengan sentakan keras dan banting-banting, sementara Asisten tua itu hanya menggeleng kepala.
Bener-bener banget itu cewek! gerutu Justin, memangnya cewek itu tahu apa yang sebenarnya terjadi selain dikira komplotannya? Ponsel yang ada di tangannya terhempas di lantai dan retak. Sekarang ia harus memperbaiki ponsel itu dan ia paling benci dalam urusan menunggu ponselnya hidup kembali. Belum lagi berkas-berkas penting ada di sana, gara-gara dia, hampir lima puluh persen pekerjaan Justin terhambat pagi ini, dan ia tidak menyangka kalau sekuat apa pun ia menahan untuk tidak mengomel, ia tetap melakukannya.
Kalau saja Justin wanita, rasanya ia mau mencakar-cakar wajah gadis tidak tahu diri itu. Bagaimana bisa turun dari tangga umum dengan meluncur begitu? Alhasil, semua petugas di kodiror MRT mengira ia lah pelakunya dan waktu yang seharusnya bisa untuk membahas rapat pagi bersama sponsor, malah batal karena masalah bodoh itu. Belum selesai dengan kekesalan itu, siang ini malah bisa-bisanya ia bertemu dengan gadis gila itu. Yang parahnya, dia adalah konsultan yang sangat dibela ayahnya untuk masalah proyek ini. Tidak masuk di akal. Kenapa dunia ini sempit sekali?
Kalau sudah begini, yang repot siapa juga? Justin sendiri juga. Butuh waktu lama untuk mencari konsultan baru, tapi Justin benar-benar muak dengan gadis itu. Seandainya pertemuan mereka tidak begini, harusnya hidup Justin agak tenang sedikit.
----
Pernah ga sih kalian ketemu orang macam Nancy? Yang punya ego tinggi tp sebanding dg cerobohnya sendiri? Kadang ada orang yang nggak punya apa2 jadi dia cuma mau memposisikan dirinya berharga hanya dari egonya. Sama halnya dengan Justin. Menurut kalian, apakah ego itu penting? Apalagi dalam menempuh kedewasaan seperti mereka. Kira-kira kalau kalian jadi Nancy atau Justin, apa yang kalian lakuin kalo ada di posisi mereka?
Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️
Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.
Ditunggu part selanjutnya besok ya. Terima kasih✨
KAMU SEDANG MEMBACA
Snow Butterfly
RomansCompleted. (Judul sebelumnya When the Snow Fall in Love with a Butterfly) --- "Gue mau tanya sama lo." Gadis itu diam. "Lo suka kupu-kupu?" "Hah? Bi-biasa aja. Gue lebih suka ulatnya." Justin tertawa. "Kenapa?" "Pernah denger ceri...