Stasiun MRT Setiabudi malam itu sudah sangat sepi. Berjalan pelan, Justin melepaskan satu kancing kemeja atasnya, melepaskan kaku badannya setelah 10 jam lebih duduk di kursi kerja. Ia masih setengah sebal dengan asistennya, sebab ia belum juga mengganti supir yang tadi ia minta. Supir yang baru itu tidak bisa mengendarai mobil. Bagi supir baru itu rasanya ia menginjak rem dan gas saja bisa salah. Justin tidak bisa menahan mual lagi kalau supir itu yang mengendarainya. Maka itu, sebelum supirnya ketemu, dengan terpaksa ia menaiki MRT.
Meski asistennya sudah menawarkan diri untuk diantar, tapi Justin menolak. Ia tahu asisten tuanya itu sudah tua dan lelah. Tidak mungkin ia menyiksa orang tua seperti itu, jadi lebih baik ia naik MRT saja. Selain cepat, bersih dan rapi.
Ia pergi menuruni tangga ke koridor MRT. Plang pemberitahuan kereta masih dua menit lagi, Justin memilih duduk dan mengecek ponsel cadangannya. Karena kondisi sepi, Justin jadi bisa melihat sekeliling dengan mudahnya lewat ekor mata. Dari tangga stasiun, turunlah seorang pria agak linglung dengan pakaian agak berantakan. Melihat itu dari ujung matanya, ia mengernyit lalu memandangi pria yang berjalan menyusuri koridor sepi itu. Bisa-bisanya orang kayak gitu lewat petugas?
Hingga ketika pria itu berjalan dan berdiri di depan seorang gadis memakai jaket dan tudung topinya, jantung Justin tiba-tiba berdetak cepat. Gadis itu seperti cuek-cuek saja soal bapak linglung yang terlihat agak mabuk itu. Lebih tepatnya nampak sama sekali tidak peduli. Perasaan Justin mulai tidak enak, takut-takut kalau perempuan di sana akan disentuh--
O-oh. Justin menggelengkan kepala. Pria itu mulai mengucapkan sesutu sambil mengangkat tangannya hendak menyentuh wajah gadis itu. Tanpa sadar, ia bangkit berdiri dan berjalan cepat ke arah keduanya. Dasar wanita bodoh! Apa harus ditolongi dulu baru bisa selamat dari jeratan orang gila itu?
"Permisi pak," ketus Justin sambil agak mendorong pria itu lalu menarik tangan gadis itu tanpa menoleh dan melihat gadis yang menurut saja mengikutinya menjauhi pria itu.
Setelah merasa agak jauh dari koridor tempat pria itu, Justin melepas pegangan tangannya tanpa mendengar sesuatu dari gadis yang tadi di tolongnya.
Kenapa nggak ada basa-basinya sama sek---
Di situlah mata Justin langsung membulat tak percaya ketika ia menoleh melihat gadis yang masih menunduk itu. "Demi apa lo lagi?!"
Gadis itu hanya diam. Wajahnya dingin dan murung, hampir tenggelam dalam kupluk jaket yang ia pakai. Matanya tertutup sedikit oleh anak rambutnya, tapi Justin masih ingat dengan jelas wajah itu.
"Fix hari sial gue yang paling sempurna!"
"Apa lo selalu gini sama orang?" Akhirnya gadis itu bersuara. Justin melotot, membalas pertanyaan yang sangat amat tidak penting itu.
"Heh! Lo emang nggak punya otak, ya? Gue baru aja selamatin lo dari bapak-bapak tadi!" seru Justin merasa sangat heran kenapa gadis ini tidak pernah ada rasa terima kasihnya sama sekali. Ia merasa orang seperti ini benar-benar harus dijauhi. Bisa jadi merugikan perusahaan. Berpikir begitu, Justin merasa keputusannya memang benar sudah untuk membatalkan perjanjian kontrak dengan perusahaan konsultan gadis itu.
"Gue emang nggak kenal lo, tapi please.." kepala gadis itu menengadah, melihatnya yang agak lebih tinggi dengan wajah datar. "Jangan bawa-bawa urusan ini ke kerjaan. Karena gue merasa, lo bakal batalin kontrak tadi siang.."
Hampir saja Justin menyemburkan tawanya di depan wajah gadis itu. Ia tersenyum miring, menatap sinis. "Siapa lo nyuruh-nyuruh gue? Kenapa? Lo takut dipecat? Baru sadar ada yang namanya bos sama karyawan?"
Gadis itu kembali diam. Hanya berkerut samar, dan menatapnya dingin.
"Baguslah kalau lo sadar. Mending orang-orang kayak lo pergi jauh-jauh dari pandangan gue."
Tepat setelah berkata begitu, kereta tiba. Pintu kereta terbuka dan tanpa mengucapkan apa-apa lagi. Justin masuk dan kereta meninggalkan stasiun Setiabudi. Tapi, entah kenapa, dari balik kaca sewaktu kereta hendak berjalan, tatapan gadis itu, tatapan yang sampai sekarang membekas di kepalanya.
Mata dingin yang seakan berkata ia tidak punya pilihan lain selain mengatakan permohonan itu. Dan tekadnya yang masih berani membicarakan itu meski ia seharusnya tahu kalau Justin sangat membencinya.
Jangan bawa masalah ini ke kerjaan? Membatalkan penawaran? Bekerja sama dengan gadis itu? Yang benar saja.
Justin melirik jam tangannya. Pukul setengah dua belas malam.
Tapi, sebenarnya, apa yang dilakukan gadis itu malam-malam begini, ya?
---
Pernah nggak sih kalian ketemu sama orang itu terus secara kebetulan? Aku sih sering, terutama di tempat umum. Kadang sampai hapal orang-orangnya karena setiap hari ketemu. Bedanya, kita nggak pernah nyapa. Cuma tahu aja kita emang biasanya selalu ketemu.
Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️
Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.
Ditunggu part selanjutnya besok ya. Terima kasih✨
KAMU SEDANG MEMBACA
Snow Butterfly
RomanceCompleted. (Judul sebelumnya When the Snow Fall in Love with a Butterfly) --- "Gue mau tanya sama lo." Gadis itu diam. "Lo suka kupu-kupu?" "Hah? Bi-biasa aja. Gue lebih suka ulatnya." Justin tertawa. "Kenapa?" "Pernah denger ceri...