24 : Malam waktu itu lagi

98 18 0
                                    

Ternyata pengaruh nasi bebek siang tadi berefek sampai sekarang. Meski langit sudah gelap dan jam sudah menunjuk pukul sebelas malam, tapi napas Nancy masih terasa sangat lapang. Hari ini, meski Rini kembali ke kantor dengan sejuta lipatan wajah yang tidak enak dipandang, tapi ia tidak berkomunikasi sama sekali dengannya. Rini seakan menganggapnya bayangan tidak berguna. Tapi asal tahu saja, Nancy sangat berterima kasih dengan begitu ia merasa sangat lega tidak lagi mendengar makian dan perintah-perintah tidak penting yang sering muncul dari mulut gadis itu. Bahkan kesibukannya menelan hari ini sampai tiba di malam kembali bersama Hendrick

Setelah kembali dari toko sosis bakar yang ada di samping supermarket, mereka kembali ke rooftop untuk menikmati suasana malam. Hari ini tidak begitu dingin. Atau Nancy yang sudah terbiasa dengan angin malam? Sejak pertemuannya dengan Hendrick terakhir, ia belum melihat anak itu lagi sampai sekarang. Ketika Nancy hendak ke kamar anak itu, ia melihat punggung Hendrick yang entah mau kemana dengan tongkatnya di koridor sepi. Nancy memanggil dengan suara pelan, lalu senyum Hendrick menyapanya.

Di sela-sela kunyahan, Hendrick mengeluarkan bukunya, menulis sesuatu lalu menyerahkannya pada Nancy.

"Hari ini orangtuaku datang, kak." Membaca kalimat itu, Nancy langsung sumringah. Ia menatap Hendrick sambil tersenyum lebar. Lama-lama, cerita Hendrick sudah seperti lembaran baru yang menemani keseharian Nancy.

"Bagus itu! Kalian ngapain? Makan bareng, nggak? Atau bawain sesuatu?" tanya Nancy sambil memakan sosisnya sedikit-sedikit.

Hendrick kelihatan tidak berminat untuk menjawab, ia menulis dengan malas. "Mereka bawa makanan kesukaan aku, kita sempat makan sama-sama. Sama mama aja sih, papa sibuk telepon. Lagi pula, mereka datangnya sebentar. Setelah aku selesai makan, mereka langsung pergi lagi, katanya ada rapat sampai sore. Sekarang, aku jadi kangen mereka lagi." Hendrick menyerahkan bukunya setelah hampir satu menit menulis. Nancy tersenyum lembut sambil menyentuh pundak anak laki-laki itu.

"Kan, aku udah bilang. Mereka sibuk juga buat kamu nanti besar. Kamu itu perlu kuliah dan segalanya, keperluanmu dan hari tua mama papa kamu. Kamu yang sabar, kan ada aku. Cerita aja sama aku."

Hendrick hanya menghela napas.

Nancy tahu persis, anak seusia Hendrick adalah anak yang seharusnya masih diberi kasih sayang penuh oleh orangtuanya. Mereka ingin diperhatikan lebih. Ketika mereka memiliki sedikit kelebihan, ketika mereka bersedih, ingin marah dan menangis, seharusnya orangtua mereka ada di sana, melihat dan memberi tahu perkembangan anaknya. Nancy mengatakan orangtua Hendrick selalu bekerja hanya semata-mata untuk menenangkan anak itu supaya mencari kebahagiaan dari sisi yang lain. Maksudnya, Nancy hanya tidak ingin membuat Hendrick merasa kesepian apalagi setelah apa yang terjadi padanya. Menjadi bisu dan baru sembuh dari lumpuh engkel kakinya bukan sesuatu yang mudah diterima oleh anak seusia Hendrick.

Anak seusia seperti ini adalah saat-saatnya mereka menunjukkan keaktivitasan mereka. Hendrick sangat tampan, bahkan ketika diam saja, pesonanya sangat bersinar. Nancy selalu membayangkan jika hidup Hendrick tidak begini. Ia mungkin sudah menjadi artis di luar sana. Pintar berbicara, pintar memikat hati wanita. Bukannya merenungkan nasib, bersenyembunyi dari keramaian dan meratapi kesedihannya sendiri dengan berbagi bersama surat dan malam hari. Nancy tahu perasaan seperti itu, bedanya, ia sudah terbiasa dengan kesendirian itu, menelannya lumat-lumat dan menerima saja semua kepahitan yang ada. Ia tidak ingin memprotes lagi. Ia harus belajar bersyukur.

Setelah apa yang ia alami akhir-akhir ini terutama. Nancy tidak tahu kenapa musibah selalu berdatangan setelah ia resign dari kantor lamanya. Kantor lama yang rasanya seperti surga, gaji yang besar, pekerjaan yang santai dan pergaulan penuh canda tawa. Nancy tidak pernah ingin menyesal, tapi ia tahu ia sangat bodoh. Melepaskan itu semua hanya karena proyek bodoh temannya yang ia percaya bisa mengubah hidupnya menjadi seorang yang lebih dari pekerja biasa. Nancy gegabah. Sangat. Dan ia menyesal karena ia gegabah. Ia menyesal telah membuat keputusan yang akhirnya membuat dirinya sendiri terhukum akibat perbuatannya itu. Ia masih ingat rasanya ketika menganggur dan pusing mencari kerjaan. Tabungannya habis dan ia merasa gagal berkali-kali.

Tapi untung saja ketika itu, ia berbicara dengan langit. Dan Tuhan memberikannya cahaya ilahi untuk menunjukkan jalan kesempatan baru baginya. Satu-satunya tempat berlabuhnya sekarang, yang tidak boleh ia proteskan lagi, sudah menjadi perlabuhan terakhir yang harus ia sekolahi. Ia harus belajar banyak dari sana. Ia tidak boleh mengeluh atau menyesal. Nancy tidak ingin masuk ke lubang yang sama. Ia hanya ingin bersyukur setiap harinya, meskipun hatinya sakit, meskipun raganya tak mumpuni menahan beban.

Ia menoleh ke arah Hendrick, menghabiskan sosis terakhirnya. "Hari ini dokter periksa kamu?"

Hendrik mengangguk.

"Terus katanya apa?"

Sebelah tangan Hendrick kembali menulis. 10 detik kemudian, Nancy membaca jawabannya.

"Mama bilang, aku akan ke Jepang beberapa minggu lagi. Mereka harus membuka operasi untuk penyembuhan pita suaraku. Katanya, masih ada kemungkinan buat sembuh, kok."

Membaca itu, wajah Nancy langsung menghangat.

"Ah, aku seneng dengernya."

Hendrick kembali menulis di bukunya dengan gerak tenang. "Kakak suka dengar lagu apa?"

Nancy membaca itu sambil berpikir. Ada banyak lagu yang akhir-akhir ini ia dengarkan di aplikasi musik online lewat ponselnya. Kadang instrumental, kadang classic, kadang hip hop.

"Akhir-akhir ini, aku lagi suka lagu Mikrokosmos dari BTS. Kamu tahu lagunya?"

Mata Hendrick berputar sesaat. Ia menggeleng pelan sambil tersenyum menyesal. Tapi tangannya bergerak menulis sesuatu.

"Tapi temanku juga pernah menyebut lagu itu?"

Ia memandang wajah Hendrick setengah tidak percaya. "Oh ya? Mikrokosmos semacam lagu healing. Melodinya lembut tapi penuh tekanan juga, cocok untuk suasana hati yang butuh kedamaian. Apalagi liriknya yang membangun. Omong-omong, siapa temanmu? Teman sekolah?"

Kepala Hendrick menggeleng cepat, ia menuliskan lagi seseorang di bukunya.

"Cowok yang pernah aku ceritain waktu itu, kak."

"Ah, sebenarnya, siapa sih, cowok ini? Aku jadi merasa perlu tahu."

Tiba-tiba, sewaktu Nancy dan Hendrick menikmati hening, dari belakang terdengar suara langkah kaki yang tegas. Seperti seseorang memakai sepatu pantopel, berjalan dengan anggun dan lembut. Nancy dan Hendrick saling bertatapan, tapi kepala Hendrick yang sudah lebih dulu menemui pemilik langkah itu di belakangnya. Ia tersenyum, Nancy ikut menoleh, dan ketika melihat sosok yang sedang mendekat itu, mata Nancy membulat tak percaya.

"Lo?"

----

Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️

Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.

Ditunggu part selanjutnya ya. Terima kasih

Snow ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang