Kemarahan Nancy rasanya lenyap seketika waktu melihat kondisi ibunya yang sudah membaik. Walaupun beberapa kali pernah seperti ini, tapi kelegaan Nancy rasanya lepas begitu saja bersamaan emosinya yang tadi bercampur bersamaan laki-laki brengsek itu datang.
Ia menghela napas seraya merebahkan diri di kamar indekosnya. Setelah mandi, rasanya beban berkurang sedikit. Rencananya ia akan mengunjungi ibunya lagi besok. Sepertinya, melihat ibu saat sedang seperti ini sangat membantu mentalnya jadi lebih baik. Ia menjadi sedikit lebih lepas ketimbang sebelumnya. Setelah dua hari ini, gara-gara kecelakaan yang terjadi di MRT itu, kenapa rasanya sekejap hidup Nancy dijatuhi meteor kesialan, ya?
Tapi setidaknya, ibunya sudah membaik. Meski sederhana, tapi ia sangat lega. Tinggal besok saja, ia tidak tahu bagaimana nasib soal pekerjaannya. Tiba-tiba Nancy mengambil laptop bututnya di atas meja belajar, membuka teathring dari ponsel datanya yang sudah sekarat, lalu membuka website lowongan pekerjaan.
Daripada sebelum dipecat ia menganggur lagi, lebih baik ia cari-cari cadangan pekerjaan dulu. Siapa tahu bisa diterima sebelum dipecat. Ia bersumpah, tidak akan lagi bekerja di bagian design. Tapi—Nancy kembali meringis. Kebiasaan ini, kebiasaan ini yang harus ia hentikan. Memangnya ia bisa apalagi selain design? Ijasahnya saja hanya tamatan SMK dan tidak kuliah. Perusahaan mana yang bisa menerima layaknya seorang S1 jika pemikiran seperti itu lagi yang Nancy miliki? Jadi waitress atau penjaga toko retail? Lebih-lebih lagi terdengar menyedihkan. Ia tidak bisa berdiri terlalu lama, naik turun tangga MRT 4 bordes saja sudah menimbulkan banyak masalah, apalagi menjadi penjaga toko retail dan waitress? Nancy sepertinya benar-benar tidak cocok untuk pekerjaan yang menuntut kepekaan sosial yang tinggi. Menjaga diri saja masih belum benar, apalagi menjaga orang lain.
Dan lagi soal Justin sialan itu—rasanya setiap mengingat kata-kata yang keluar dari mulutnya, hati Nancy terasa begitu perih. Kenyataan pahit yang harus ia terima dari mulut seseorang yang ia benci. Ia tidak terima, tapi kenyataan harus mengakui itu.
"Kenyataan, kan? Lo itu cuman hidup di ambang rasa iba orang-orang. Jadi jangan bertindak seenaknya!"
Suara itu lagi. Rasanya sudah seperti kaset rusak saja. Alasan untuk menahan rasa bencinya terhadap Justin kini malah kian tidak terbendung. Bagaimana seseorang yang tidak ia kenal bisa dengan arogannya berkata yang demikian—benar. Padahal Justin tidak pernah tertulis mengenalnya selama ini, tapi kenapa Justin si aroganlah yang mengatakan hal paling menusuk itu hanya untuk menyadarkannya? Dulu, ibunya sering berkata hampir menusuk juga, tapi itu membuatnya menerima kenyataan itu. Tapi seorang Justin—Nancy mengembuskan napasnya panjang lalu mengerang kesal.
Setidaknya dia akan dipecat, setidaknya hanya baru beberapa hari. Ia masih punya kesempatan di hari esok untuk memulai segalanya lagi dengan baik, dan yang pasti bukan di dekat manusia arogan itu.
Tiba-tiba ponsel Nancy bergetar sekali. Ada pesan masuk dari Whatssap-nya. Ia membukanya dengan sekali gerakan, lalu membaca pesan masuk dari Rini.
"Dateng pagian. Gue mau bahas buat meeting siangnya. Justin nggak jadi batalin kontrak."
Urat di sekitar mata Nancy menegang, ia membelalakkan matanya.
Hampir saja ia melempar ponselnya dan mengetik "apa" dengan kapital besar dan tanda seru. Tapi berhubung yang mengabari adalah Rini, ia jadi menghentikan gerakan itu lalu menjawab dengan lebih santai.
"Nggak jadi di cancel?" ketik Nancy. Rini tidak membalas langsung, tapi kemudian ponselnya berbunyi lagi.
"Lo beruntung karena Justin nggak punya waktu lagi buat cari konsultan lain makanya dia nggak jadi batalin. Kalau enggak, gue yakin lo besok udah angkat kaki dari kantor."
Nancy menenggak ludahnya. Kalimat Rini sangat menyilet tenggorokkannya. Tapi lebih baik begini, ia berhadapan dengan seekor singa dan tahu kalau nasibnya seperti apa dari pada menghadapi ular yang diam-diam menyelinap dari balik lehernya, mencekiknya tanpa ia tahu lalu mati.
Ia memilih tidak membalas pesan Rini dan membiarkannya terbaca begitu saja. Kembali melihat layar laptop, ia menghentikan gerakan tangannya sesaat.
Kenapa tiba-tiba nggak jadi di batalin? Apa gara-gara permintaannya tadi di RS sudah lebih jelas? Masa, sih? Kayaknya nggak mungkin..
Nancy mengernyit, menontoni kembali ekspresi benci seorang Justin Wijaya ketika di lorong RS tadi lewat bayangan yang masih tercetak jelas di benaknya.
"Nggak mungkin dia yang cancel pembatalannya. Paling banter, dia lagi mabok ngomongnya, atau benar-benar ada malaikat yang bisikin kuping budegnya itu."
Tapi omomg-omong soal RS.. sebenarnya, ngapain juga Justin di RS?
-----
Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️
Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.
Ditunggu part selanjutnya ya. Terima kasih✨
KAMU SEDANG MEMBACA
Snow Butterfly
RomanceCompleted. (Judul sebelumnya When the Snow Fall in Love with a Butterfly) --- "Gue mau tanya sama lo." Gadis itu diam. "Lo suka kupu-kupu?" "Hah? Bi-biasa aja. Gue lebih suka ulatnya." Justin tertawa. "Kenapa?" "Pernah denger ceri...