29 : Pasar malam

72 15 0
                                    

Nancy menghabiskan waktunya belajar bersama Hendrick. Tadi pagi ia bangun jam sepuluh. Sudah ada beberapa suster masuk memeriksa kondisi ibunya yang masih koma. Ia hanya beli bubur instan di dekat supermarket, habis itu mengemil snack dari Hendrick.

Kenal dengan Hendrick, sama artinya kenal dengan para perawatnya. Hari ini perawat yang dekat dengan Hendrick, seperti seorang teman itu, membawakan beberapa camilan entah dari mana. Bertumpuk di lemari penyimpanan. Kata perawat itu, ia kasihan melihat Hendrick hanya membaca buku di kamar. Jarang keluar ruangan dan semakin diam kalau di kamar. Maka itu, si perawat membawakan beberapa camilan supaya mood Hendrick membaik. Padahal Nancy tahu persis mood Hendrick bakal membaik kalau ada seseorang yang menemaninya, apalagi kalau orangtuanya datang.

Nancy sudah menyinggung soal pasar malam itu sejak siang tadi ke kamar Hendrick. Mengingat pesan malam Justin, entah kenapa ia jadi semangat bangun pagi.

"Hari ini mama papamu nggak datang, kan? Kalau mereka datang lihat kamarmu kosong, bisa habis aku nanti diomelin," ujar Nancy seraya mengemil, mengamati Hendrick yang sedang menggambar.

Pemuda itu hanya tersenyum, menggerakkan tangannya, mengisyaratkan tidak ada yang datang hari ini. Nancy sesekali mengecek kamar ibunya, takut-takut ibunya terbangun atau kritis seperti waktu itu. Berada dekat dengan ibunya, akhir-akhir ini, tingkat kepekaan sosial sedikit meningkat. Ia jadi tanggap jika ada sesuatu janggal di jalan, di kereta, atau di kantor. Mungkin ini juga yang membuat Rini sedikit mengubah cara pandang terhadap dirinya.

Pukul lima sore, Nancy membantu Hendrick turun dari ranjang rumah sakit, lalu berjalan keluar koridor. Pasar malam sudah ada dari siang sebenarnya, tapi Hendrick bilang dia mau naik bianglala malam-malam supaya bisa lihat pemandangan kota Jakarta. Katanya, kalau dari jendela kamarnya, ia tidak bisa lihat apa-apa karena tertutup rimbun pohon di sekitar bangunan.

"Kakak kapan pulang ke indekos? Apa bakal terus menginap di sini?" Di tengah perjalanan, Hendrick menggerakkan sebelah tangannya yang tidak menggandeng Nancy. Khawatir engkel kakinya yang masih belum terlalu pulih kalau jalan di lapisan tanah yang tak rata, Nancy terus menggenggamnya erat.

"Nggak tahu. Kalau di indekos aku merasa terlalu dekat sama kantor. Tahu, kan, kayak energi kantor itu masih terasa kalau dekat. Lagipula, rumah sakit itu tenang, beban pikirannya nggak kebawa. Aku juga bisa nemenin mama."

Setelah berjalan lima menit, benar saja, jalan raya di depan rumah sakit sudah ramai. Beberapa pejalan kaki memenuhi trotoar depan lahan pasar malam itu. Banyak anak kecil, orangtua dengan balita mereka, atau warga sekitar yang hanya datang untuk berkumpul, menemani anak mereka jajan di sekitar pasar malam. Beberapa tukang permen, tukang kincir angin yang menjejerkan beragam warna kincir angin itu menarik perhatian. Kebisingan dari area taman bermain menggaung, menimbun euforia yang sebentar lagi mereka cecap. Karena posisinya hanya beberapa langkah dari rumah sakit, tatkala banyak pasien rumah sakit juga yang menempi sekedar menontoni anak-anak bermain.

Rasanya sudah lama sekali Nancy tidak ke tempat ramai seperti ini. Kedewasaan sudah menggiringnya jauh dari kebahagiaan semata. Realita jauh menariknya dari tempat indah seperti ini. Bahkan, untuk mengingat masa lalu, ia merasa terlalu sayang untuk mengenangnya di saat-saat belum sukses. Masih banyak terjal yang membuat kenangan itu jadi lebih indah nantinya.

"Sebenarnya, mama kakak itu sakit, apa? Kecelakaan?"

Ketika sampai di dalam pasar malam, Nancy dan Hendrick duduk di kursi dekat wahana kereta kuda. Sambil menjilat es krim, Nancy mengangguk.

Dulu, kalau ditanya tentang ibunya, Nancy selalu merasa terpukul. Sangat-sangat ingin membunuh dirinya sendiri karena gara-gara ia yang menyetir, ia yang menjatuhkan ibunya. Meski semua orang bilang itu bukan kesalahannya, tapi Nancy tidak bisa menghukum dirinya sendiri pada hal itu. Ia selalu menyesal dan tidak mau lagi mengendarai motor. Maka itu ia lebih baik menggunakan kendaraan umum supaya menjauhi motor. Menjauhi rasa penyesalannya.

"Maaf." Hendrick menggerakkan tangannya. Nancy menggeleng kecil.

"Bukan masalah. Aku udah biasa sama pertanyaan kayak gitu. Jadi sekarang, ya aku udah baik-baik aja." Nancy berujar sambil tersenyum, terlihat bersemangat menghabiskan makanannya.

Suasana ricuh dan ramai tawa anak kecil yang bermain komedi putar, suara anak kecil tertawa bahagia bermain bianglala, kuda putar, menyatu dengan rasa es krim hingga rasanya enak sekali. Sesekali, pikir Nancy, ini adalah caranya menikmati hidup. Sampai tidak sadar seseorang sedang mendekat ke arahnya

Dari samping, Hendrick berseru tanpa suara, matanya yang membesar dengan antusias menunjuk ke arah belakang Nancy yang masih sibuk memakan es krim. Ia menoleh ke arah telunjuk Hendrick, lalu mendapati Justin berjalan di tengah lalu lalang keramaian pasar malam.

"Kayak orang nggak pernah makan es krim banget sih lo," kata Justin ketika datang dengan raut jijik melihat Nancy. Ia mengeluarkan sebuah tisu dari sakunya, lalu melemparkan itu ke arah Nancy. Yang di ajak bicara hanya tercengang tidak terima. Tapi tidak ada kata-kata yang keluar, ia malah menerima tisu itu dan membersihkan mulutnya yang lengket akibat es krim. Justin duduk di samping Hendrick sambil mengusap kepala anak itu.

"Makan, yuk? Kalian udah makan? Dengar-dengar di sekitar sini ada bakso yang enak itu."

Mendengar Justin mengajak makan, perut Nancy langsung menjerit. Rasa es krim yang tadinya enak sekali tiba-tiba berubah menjadi rasa bakso. Sedangkan Hendrick terlihat bersemangat dan melompat-lompat di kursinya sendiri. Justin tersenyum kecil melihat tingkah anak itu. Lalu ia langsung berjongkok di depannya, seketika Hendrick melompat ke punggungnya lalu Justin berlari menembus keramaian. Nancy terkesima, ia ingin memprotes waktu Justin hendak meninggalkannya tapi ketika ia menyadari dirinya belum beranjak juga, cowok itu menoleh.

Justin tersenyum di sela-sela angin yang menerpa dan segala keramaian di sekelilingnya.

Dengan kaos yang dilapisi kemeja santai, rambut yang tidak dipoles, dibiarkan jatuh lemah bersama angin, di jarak yang tidak dekat dan di antara keramaian, Nancy dan Justin saling bertatapan, tersenyum.

"Buruan woi! Ngapain bengong!" Justin berteriak seraya Hendrick yang melambaikan tangannya dengan semangat.

Melihat Justin menggendong Hendrick di punggungnya, tersenyum dan tertawa bersama anak itu, ternyata, bahagia itu sangat sederhana ya, pikir Nancy. Ia ingin berada di sini terus, ia ingin mengamati banyak hal kebahagiaan yang menghangatkan hatinya. Justin yang waktu itu seperti lenyap dalam putaran komedi putar, berganti menjadi lagu-lagu manis seperti gulali di siang hari. Tatapan mata yang cerah, tidak lagi menyeramkan, tapi meneduhkan. Seperti Nancy tidak pernah jauh dari payung mata itu. Desakan kuat yang tiba-tiba terasa itu mendorong Nancy tidak bisa berhenti tersenyum.

Seumur hidup, ia tidak bisa berbohong.

Mungkin, hal yang ia takutkan sudah terjadi dalam sekejap.

----

Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️

Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.

Ditunggu part selanjutnya ya. Terima kasih

Snow ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang