Justin berjanji pada ibunya kalau malam nanti ia akan pulang ke rumah lagi. Ia masih belum puas mengobrol walau sepanjang siang ia meladeni ibunya yang membicarakan tanaman ini dan itu. Terlebih, seminggu lagi ia akan cuti dan pergi--benar-benar pergi dari hadapan semua orang dan berharap tak ada yang pernah mencarinya. Ia sudah merencanakan beberapa hal supaya ia siap sampai hari itu datang.
Walau kenyataannya, ia tidak pernah siap.
Di lorong rumah sakit yang sepi, sore itu setelah berangkat dari rumah kaca, ia segera ke rumah sakit menemui dokter Wu. Katanya ada keterangan terakhir soal perkembangan penyakitnya. Justin enggan sekali mendengar keterangan konyol itu sebenarnya. Kalau bukan ingin melihat kondisi Hendrick--yang menurutnya lebih penting--ia tidak akan datang lagi ke rumah sakit ini untuk mengambil obat. Buatnya, itu hanya memperpanjang harapan.
Kata dokter Wu, banyak hal yang tidak kita tahu di dunia medis. Meski semuanya dijelaskan dengan logis, tapi menurut pengalamannya, ada sisi lain yang membuatnya sedikit percaya pada mukjizat. Ketika mendengar itu Justin hanya memutarkan bola matanya tidak percaya seorang dokter bisa memberi harapan palsu untuk pasiennya yang sedang berjuang menerima takdirnya sendiri. Mungkin maksudnya memang baik, tapi itu tidak mempengaruhi apa pun.
Ketika ingin berbelok ke ruang dokter Wu yang ada di persimpangan lobi utama, seketika langkahnya terhenti sejenak.
Koridor yang samar-samar hidup kembali di bayangan waktu itu menghentikan kesadarannya. Terakhir ia ke sini adalah waktu ia meluncurkan kata-kata yang membuat Nancy menggenangkan air mata. Di sebelah ibunya yang sedang di kerubuti perawat dan dokter, kata-kata itu malah keluar dan tanpa sadar menyakiti gadis itu. Justin mencoba menelan kepahitan akan kata-katanya yang ia akui memang tidak pernah bisa ia kelola dengan baik, tapi bersyukur orang yang ia sakiti sekuat Nancy.
Dengan langkah pelan, ia menyusuri koridor itu, menuju kamar ibu Nancy yang hening. Ia membuka pintunya pelan, seketika suara mesin jantung berdenyit-denyit memenuhi ruangan. Ia mendekat pelan, memasuki kamar lalu menghampiri wanita dengan alat bantu napas yang sedang terpejam itu.
Sudah berapa lama kira-kira ibu Nancy koma? Ia menelaah sisi tubuh wanita itu apakah ada luka. Hanya ada beberapa perban di bagian tangan dan kakinya. Tapi itu tidak kelihatan parah. Melihat ibu seseorang terkapar tak sadar begini membuatnya sedikit tertohok pada kenyataan yang ia miliki tapi di sia-siakan.
Tangan Justin menyentuh tangan wanita itu lembut. Matanya tetap terpejam. Dalam hati, Justin mengatakan sesuatu. Sesuatu yang hanya ingin ia dan ibu gadis itu tahu. Sesuatu yang selama ini ingin ia katakan lewat bibirnya tanpa menyakiti siapa pun lagi. Berharap suatu saat nanti ibu gadis itu bangun dan sadar akan pesan itu. Berharap suatu hari nanti, akan ada ujung yang membahagiakan.
Dia sangat berjuang menempuh kesendirian dengan kaki kecilnya. Dengan mata tajam dan napas berat. Tolong, suruh dia cintai dirinya sendiri karena mencintai diri sendiri itu lebih sulit daripada mencintai orang lain. Terlebih, lebih sulit menerima kekurangan diri sendiri daripada menerima kekurangan orang lain. Suruh dia bahagia suatu saat nanti.
Hanya menatap, Justin berharap kalimat tak terucap itu bisa di dengar entah di mana roh ibu Nancy berada. Ketika ia ingin kembali dan melepaskan genggaman tangannya, tiba-tiba suara denyit mesin menaik. Ibu Nancy yang terpejam seketika seperti sesak napas. Kejadian itu hanya satu detik, Justin panik, tapi dengan sigap dan langkah tenang, ia menyusuri koridor, segera memanggil suster.
Sejumlah perawat memasuki ruang pasien, salah satunya memanggil dokter Wu. Dokter Wu sempat melihat Justin dengan bingung, tapi tidak ada satu patah kata pun karena ia sudah langsung mengecek wanita itu dengan gerak cepat. Justin meratapi itudengan perasaan serba salah. Apa yang ia lakukan? Ia tidak melakukan sesuatu yang salah kah?
Seketika Justin khawatir Nancy pulang. Ia memandang ujung lorong tanpa tanda-tanda seseorang akan lewat. Meski begitu, jantung Justin tidak bisa berdetak baik sampai kondisi ibu Nancy kembali membaik.
"Kamu ngapain di sini?" Dokter Wu melepas stetoskop dari lehernya, saat kondisi ibu Nancy sudah kembali membaik. Entah apa yang mereka lakukan, tapi hati Justin kembali diguyur kelegaan.
Mata Justin tidak lepas dari wajah terpejam wanita itu. "Cuman menyampaikan sesuatu. Dokter mau ngomong apa?"
Dokter Wu menghempaskan napas frustasi.
"Sebenarnya kalian itu ada hubungan apa? Pacaran?"
Justin melirik dokter Wu tanpa ekspresi. "Emangnya kelihatan begitu?"
"Kalian itu saling bertanya satu sama lain, anak muda ini," protes dokter Wu sambil geleng-geleng. Kemudian ia mengajak Justin keluar kamar.
"Bicara di ruanganku aja. Jangan di sini, nggak enak kalau Nancy nanti pulang."
Justin tidak mendengarkan ucapan dokter Wu.
"Justin," panggil dokter Wu. Justin menoleh pelan.
"Ternyata rasanya melihat orang sakit bisa sepedih ini, ya."
"Maksudmu?"
Justin kembali menoleh, menatap ibu Nancy. "Bukan apa-apa, lupain aja."
----
Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️
Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.
Ditunggu part selanjutnya ya. Terima kasih✨
KAMU SEDANG MEMBACA
Snow Butterfly
RomanceCompleted. (Judul sebelumnya When the Snow Fall in Love with a Butterfly) --- "Gue mau tanya sama lo." Gadis itu diam. "Lo suka kupu-kupu?" "Hah? Bi-biasa aja. Gue lebih suka ulatnya." Justin tertawa. "Kenapa?" "Pernah denger ceri...