25 : After

88 19 0
                                    

"Lo?"

Mata Nancy dan Justin bertemu. Hanya Nancy yang terkejut, tapi kedua cowok itu malah saling tersenyum hangat. Justin mengusap kepala Hendrick secara berlebihan, sedangkan Hendrick sendiri kelihatan menikmati itu. Apa-apaan itu? Jangan-jangan mereka...

"Dia bukan adek gue. Kenapa?" Pandangan heran Nancy berhasil membuahkan jawaban tersendiri oleh Justin. Akhir-akhir ini, melihat Justin berkeliaran di rumah sakit sebenarnya sudah tidak begitu heran. Bahkan Nancy sudah agak terbiasa. Ia hanya tidak menyangka kalau Justin datang dengan kondisi kelihatan bersahabat dengan Hendrick. Rasanya... rasanya Nancy tidak terima.

"Hendrick, kamu kenal dia?" tanya Nancy kepada Hendrick. Saat itu, yang di tanya menatap Justin terlebih dahulu, baru ia beralih kembali dan menuliskan jawaban di bukunya.

"Dulu, pas aku masih pakai tongkat, aku ketemu kakak ini waktu kesusahan mau turun tangga ke lobi. Dia bantu aku, dan jajanin aku es krim, kak." Hendrick sudah hampir tiga bulan di rawat, memang terdengar baru, tapi Nancy mungkin tidak akan pernah bertemu dengannya kalau bukan bermain ke rooftop dan menemukan surat cowok itu.

Nancy menurunkan pandangannya dari buku itu, melirik Justin yang seperti berkomplot sesuatu dengan teman kecilnya itu. Jadi mereka sudah kenal lama ya? Agak sulit dipercaya memang, mana lagi-lagi ia kebetulan terus dengan Justin. Kenapa dia selalu bertemu orang menyebalkan seperti ini terus sih?

"Udah malem, sana tidur. Tadi kakak nggak sengaja kelihatan suster naik ke sini juga, jadi mungkin..."

"Pasien Hendrick!" Tiba-tiba seorang suster dari ambang pintu darurat memanggil dengan raut wajah khawatir. Justin terlihat tersenyum kecil, sedangkan Hendrick hanya tercengang melihat kelakuan Justin. Ia sedikit mencak-mencak waktu suster menggopohnya, memaksanya kembali ke kamar. Nancy belum sempat mewakili kekesalannya pada Justin, Hendrick malah keburu mengisyaratkan kata "terima kasih" menggunakan jempolnya, lalu pergi menghilang dari rooftop seketika. Menyisakan Justin dan dirinya yang duduk di bawah saling berhadapan menikmati angin hening di antaranya.

Nancy melihat ke arah Justin yang memandang jauh ke langit. Ia memejamkan matanya, menikmati angin yang mengguyur wajahnya, mengacak-acak poninya. Pemandangan seperti ini lama-kelamaan membuat Nancy malu sendiri. Kalau diingat kemarin siang, waktu Justin melihatnya menangis dan merasa bodoh sendiri, bahkan mengatakan kalimat itu... kenapa kesannya, Justin sangat berbeda dari pertama kali ia mengenalnya, ya? Seandainya Nancy bertemu setelah apa yang terjadi padanya di stasiun MRT itu, apakah ia bisa melihat sisi lain dari diri cowok itu? Apakah ia akan menerima kalau sebenarnya Justin tidak se-iblis itu?

Tiba-tiba, ketika energi rasa penasarannya terkirim lewat pancaran mata, Justin menoleh pelan ke arahnya. Mengikuti arah angin, poninya yang menutupi mata itu menatap Nancy. Mengguyur Nancy dengan sejuta kebekuan. Entah kenapa, Nancy bergidik, merasa malam itu sama seperti waktu malam pertama kali ia menginjakkan kaki di rooftop ini.

"Gak dingin?" katanya pelan. Nancy membuang wajahnya, menatap parkiran di bawah gedung. Ia ingin membantah kenyataan. Tapi nyatanya berakting tidak dingin sulit. Justin pasti sudah tahu kalau rahangnya saja sudah tidak bisa mengatakan apa-apa lagi selain diam dan merasakan beku yang kembali menjalar, menghimpit Nancy tak bergerak. Apa-apaan ini..!

Tanpa suara, Justin bergerak mendekat, lalu meletakkan jas kemejanya di bahu Nancy. Yang secara mengejutkan, Nancy tidak mengelak. Ia membiarkan jas kemeja Justin menghangatkan punggungnya yang beku sesaat itu. Suasana ini... suasana yang tidak pernah Nancy sukai ketika berada di dekat Justin. Sampai kapan pun, rasanya sangat aneh. Menerima sikap dan perubahan iblis, rasanya lebih menghangatkan daripada perlakuan seorang malaikat yang sebenarnya. Rasanya seperti plot twist. Ketika kau mengira ia akan menusukmu dari belakang, ternyata ia membiarkan tangannya yang terhunus, hingga kau tidak terbunuh. Rasanya aneh, tapi itu nyata.

Justin kembali bergerak ke tempatnya, bersandar ke dinding sambil memandang jauh ke langit malam. Diam-diam, Nancy sangat bersyukur, ia tidak lagi membeku. Setidaknya, setelah ia mengkondisikan seluruh pikirannya baik-baik, kalau Justin tetaplah Justin yang pertama kali ia kenal.

"Nyokap lo apa kabar?"

Tadinya Nancy enggan menjawab. Tapi kelihatannya suasana hati Justin sedang aneh. Ia tidak mau memperburuk suasana, jadi lebih baik ia meladeninya dengan santai juga.

"Baik." Nancy menjawab singkat.

"Udah sadar?"

"Belum," jawab Nancy cepat.

"Tumben lembut." Justin menoleh ke arahnya sambil menyisipkan senyum. Nancy mengerjap kecil, ia memandang Justin sedikit emosi. Tapi baru saja ia ingin mengocehinya lagi, lagi-lagi Nancy membeku ketika cowok itu hanya menatap diam dan tersenyum ke arahnya. Dia ini sadar nggak sih? Rasanya Nancy mau menamparnya biar Justin kembali memaki-maki dan mengatai-ngatainya. Ia lebih nyaman jika Justin bersikap begitu.

Karena rasanya aneh melihat senyum iblis ternyata lebih menawan dari yang ia kira.

"Target project kita kapan selesai, kalau boleh tahu?" Nancy membuang wajah, bertanya serius. Daripada memikirkan hal yang aneh-aneh, lebih baik ia berbasa-basi sedikit, menyelamatkan diri dari situasi tadi.

Justin tidak menjawab langsung. "Lo mau cepet selesai?" tanya Justin.

Nancy tidak tahu. Ia meratapi pemandangan parkiran belakang yang sepi tanpa memikirkan apa-apa, kecuali perasaan aneh di antara dirinya dan Justin.

"Muak banget ya sama gue?" kata Justin lagi kali ini sambil menoleh.

Seketika Nancy berdecih. "Nggak usah berlebihan. Sebenernya, lo ngapain di sini, sih?"

"Cari udara. Bosen."

"Lo dirawat?" Nancy semakin bingung.

Tiba-tiba Justin seperti menghindari pertanyaan itu. "Kayaknya udah mendingan. Gue masuk duluan, ya."

"Eh ini jas lo—" Nancy baru saja mau melepas jas Justin tapi laki-laki itu menahannya lebih cepat.

"Pake aja, buat lo. Gue nggak suka barang bekas pake orang lain lagi soalnya." Selesai mengatakan itu, Justin pergi dengan hening. Melangkah tenang dan anggun menghilang dari pandangannya.

Nancy terdiam di punggung Justin yang pergi dan meninggalkan kesepian padanya. Cowok itu aneh. Dari kemarin dia aneh. Apa yang sebenarnya terjadi sama Justin? Nancy bisa saja tadi membalas perkataan Justin yang agak menyinggungnya, tapi tidak ada keinginan untuk melakukan itu. Seakan-akan perilakunya yang sebentar tadi menjungkal semua perkiraan tentang Justin di kepala Nancy selama ini. Walau separuh hatinya masih penasaran dengan apa yang Justin lakukan di rumah sakit ini, tapi semua itu tenggelam oleh kejadian barusan.

Malam itu, adalah malam yang aneh.

Justin seperti berubah.

Dan jantung Nancy rasanya menghangat.

----

Hmm, sekarang, setelah sampai part ini, apa pendapat kalian mengenai si Nancy ini? Sebenernya dia tuh nggak sekeras kepala itu kan? Dia tuh sebenernya cuma berkamuflase untuk menutupi dirinya sendiri. Iya nggak? Menurut kalian gimana?

Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️

Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.

Ditunggu part selanjutnya ya. Terima kasih

Snow ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang