47 : Jangan pergi

86 17 5
                                    

Manteman, di sarankan untuk membaca part ini sambil mendengarkan lagu di atas ya^^

Malam setelah mengunjungi gereja hari itu, Nancy selesai masak di dapur. Ia tidak melihat tanda-tanda Justin akan turun untuk makan. Meskipun tak jarang juga Justin ikut makan bersamanya—malah sibuk di kamarnya sendiri—kali ini ia tidak mau membiarkan Justin begitu terus. Hidangan sudah siap di meja. Ia melepaskan celemek dan merapikan rambutnya berjalan ke atas. Suasananya sangat hening. Begitu melihat pintu kamar Justin tertutup rapat, ia semakin penasaran dengan apa yang sedang di lakukan cowok itu. Perlahan-lahan namun yakin, Nancy mengetuk pintu itu dan memanggil namanya.

"Justin?"

Tidak ada sahutan. Nancy mengetuk lagi sekali, tapi tetap tak ada jawaban. Ia mencoba mendekatkan telinganya ke pintu, berharap bisa mendengar kehidupan di balik sana. Tapi tidak ada suara apa-apa. Mungkin tidur? Entahlah. Tapi kalau tidur, mungkin lebih baik ia membiarkannya, daripada ia menganggu. Akhirnya ia menyerah begitu saja. Namun ketika ia hendak berbalik dan kembali ke ruang makan, tiba-tiba dari dalam kamarnya terdengar suara gelas pecah. Nancy berbalik panik, melihat kamar Justin lalu berlari ke arahnya.

"Justin?!" Nancy setengah berteriak mengetuk pintu tidak sabar. Dari situlah ia mulai mendengar suara itu. Suara seseorang menahan erangan. Deg! Jantung Nancy seketika berdebar tak keruan. Ia mendorong panel pintu, tapi ternyata dikunci. Ia gemetar, takut, mengetuk-ngetuk pintu tak sabar sambil memanggil nama Justin panik. Kali ini suara pecahan gelas yang membentuk lantai itu terdengar seperti di tendang hingga mengenai daun pintu.

"Justin! Buka pintunya, please!" Kali ini ia bahkan mencoba mendorong pintu itu dengan bahu kecilnya. Nancy kesakitan, merasa percuma saja karena pintunya di kunci. Ia menunduk, berusaha melihat dari lubang kunci, tapi ruangan itu gelap. Suara erangan Justin kian terdengar. Nancy semakin gemetar. Ia mulai memukul pintu itu, berteriak memanggil namanya. Nancy pikir ini adalah waktunya. Ia merasakan matanya panas. Tidak, tidak sekarang. Jangan, gumamnya menahan sesak di dada.

Sekali, dua kali, pintu tetap tidak terbuka. Kali ini, dengan tenaga penuh, ia kembali mendorong pintu itu hingga akhirnya terbuka.

Nancy terkejut karena Justin berdiri di belakang pintu dengan napas terengah dan badan membungkuk yang berusaha ditegakkan. Air mata Nancy meleleh melihat itu. Tapi Justin tersenyum.

"Eh bego, pintu gue rusak," sahut Justin dengan tangan memegang perutnya.

Nancy menggigit bibirnya, menahan sesak di dadanya ketika melihat kondisi Justin yang begitu...

"Justin..." belum selesai berkata begitu, tiba-tiba tubuh Justin yang berdiri tegak roboh detik itu. Nancy terkejut kontan ikut tersungkur ke arah Justin. Kamar yang gelap, Nancy tidak bisa lihat di mana pecahan beling tadi. Yang bisa ia rasakan kali ini hanya kulit dingin dan peluh keringat Justin di kakinya. Ia memeluk kedua tangan Justin yang bernapas pendek-pendek. Hatinya sesak, ia merasa tidak bisa bernapas. Melihat Justin seperti ini, apakah ada siksaan lain yang bisa membuatnya lebih baik mati saja?

"Nancy, coba lo tekan ini," dari kantung sakunya, Justin mengeluarkan sebuah panel bluetooth kecil berwarna hitam. Nancy yang masih berusaha menahan air matanya, malah tertegun memandangi benda itu. Kepala Justin berpangku di kakinya, wajahnya seperti tersenyum, biasan dari cahaya ruang tengah membuat bayangan tangan Justin yang menggenggam benda itu. Dengan gemetar, Nancy mengambil benda itu lalu menekan sesuai perintahnya.

Dalam hitungan detik, lampu berwarna biru teduh menyala. Di langit-langit ruang tengah kecil itu, Nancy berpusat pada origami kupu-kupu yang menggantung seperti melayang. Ternyata sayapnya diberi tato glitter hingga membuat semua kupu-kupu origami itu berkilau di bawah jatuhnya lampu biru redup. Pemandangan itu, dada Nancy semakin sesak. Ia berusaha menutup matanya, tidak ingin melihat semua itu. Keindahannya hanya membuat hatinya sakit.

"Kalo lo masih inget sama cerita gue..." suara Justin berubah pelan dan lemah, "gue berharap, kupu-kupu yang ketemu sama salju diberi kekuatan supaya ketika salju meninggalkannya, ia percaya, kesedihan bukanlah takdir yang ingin salju tinggalkan pada kupu-kupu. Melainkan ia mau kupu-kupu mengerti meskipun pertemuan mereka hanya sebentar, salju benar-benar merasa bersyukur pernah hidup di dunia ini."

Detik itu, air mata Nancy luruh. Bersamaan napasnya yang sesak dan origami kupu-kupu yang melayang diam, Justin tersenyum sambil terpejam. Dengan bahu gemetar, Nancy merasa hangat dalam genggaman tangan besar milik Justin. Genggaman yang tidak pernah terasa begitu bermakna, kini ia mengerti artinya. Meski gelap dan tidak bisa melihat dengan jelas, tapi Nancy tahu, semua itu sudah cukup membalas pertanyaannya selama ini.

Di antara cerita yang pernah ia dengar, Nancy, hanyalah seorang kupu-kupu yang paling bersyukur bisa bertemu salju. Dan ia setuju itu.

Pada malam itu, Justin terpejam di kasurnya. Wajahnya pucat dan ia sempat tak sadarkan diri. Nancy memanggil dokter di desa dan menyuruhnya memeriksa keadaan Justin. Dokter itu menatap Nancy dengan perasaan bersalah. Nancy hanya tersenyum, mengangguk lalu menatap mata Justin yang terpejam itu sambil menggenggam panel bluetooth-nya. Dengan segenap tenaga yang ia punya, ia berjalan keluar dan menutup pintu kamarnya.

Origami kupu-kupu yang menggantung di atas kepalanya, Nancy ingin membayangi kebahagiaan di sana. Seandainya kebahagiaan adalah sesuatu yang abadi, apakah kesedihan berhak menjadi saingannya? Ia menyapu air mata yang masih membekas, lalu tersenyum menatap origami kupu-kupu itu. Mematikan lampunya, membiarkan semua air matanya tenggelam dalam gelap malam tanpa siapa pun yang melihat.

Besok part terakhir gais. Gimana ini aku belum siap end :(

Snow ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang