Fase-fase kehidupan banyak yang berlalu. Lika-liku yang Nancy lewati sesekali mendatar, memberinya napas. Seperti satu minggu terakhir ini, semua beban perlahan-lahan menyusut dengan damai. Pekerjaan proyek berjalan lancar. Meskipun ada kendala, semua ditangani dengan baik oleh Rini. Dan perubahan sikap-sikap orang di kantor pun banyak yang berotasi. Bahkan, Rini sekiali pun.
Nancy awalnya terkejut waktu menerima perlakuan baik Rini. Meski hanya sesekali, tapi rasanya ia sangat bersyukur. Bagaimana Rini juga memikirkan tanggungan akan tanggungjawabnya, ia ada di posisi yang benar. Sama seperti yang Kak Lia bilang. Rini memang sangat telaten dan rajin. Walau mulutnya terkadang sebelas dua belas dengan Justin.
Ah, Justin..
Sesekali Nancy melirik jam tangannya. Sudah pukul satu malam. Setelah mengantar Hendrick tidur, ia kembali ke atas lagi. Ia masih ingin bercakap dengan pikirannya sendiri. Akhir-akhir ini kesibukan menelan waktunya. Berdua bersama komputer dan lembar kerja, setiap hari, pekerjaan rasanya seperti makanan yang tak bisa berhenti digigit. Kalau sehari tidak dikerjakan, bisa-bisa besok membusuk dan terlupakan. Jadi, daripada memperburuk schedule, lebih baik ia selesaikan dengan cepat.
Dulu, Kak Lia sempat bilang, kalau kekuatan orang itu beragam. Dan kekuatan Nancy adalah kecepatan. Nancy cepat menyelesaikan segala sesuatunya, tapi kekurangannya ia tidak teliti. Sedangkan Rini kebalikannya. Rini sangat lambat dan mudah stress. Tapi ia sangat cermat dalam mengamati dan mengingat. Kak Lia pernah menyindir, sebenarnya, meskipun Nancy dan Rini saling benci, sebenarnya mereka itu pasangan serasi. Kompak dan saling melengkapi. Mendengar itu, Nancy hanya bergidik dan kembali ke meja kerjanya. Seminggu terakhir ini, hidupnya seperti berdua saja dengan pekerjaannya. Bahkan ia hanya sesekali pergi menemui Hendrick. Sampai waktu itu Hendrick menitipkan surat ke dokter Wu, soal kedatangan orangtuanya lagi dan rencananya ke Jepang untuk operasi pita suara.
Katanya ia akan operasi pita suara bulan depan. Hari itu sangat ditunggu-tunggu oleh semua orang. Mendapat surat itu, Nancy rasanya sangat senang, karena pada akhirnya, ia mendapatkan sesuatu yang selama ini ia inginkan. Seorang teman yang benar-benar mengingatnya.
Apa yang ia lewatkan selama seminggu ini? Nancy tidak tahu. Tapi langit menatapnya dalam, seakan memberi isyarat kalau ia kehilangan banyak sekali cerita. Ia bergidik waktu angin malam menerpa. Jas hangat Justin yang sudah berkali-kali ia cuci, menjadi penghuni resmi kamar rawat ibunya ketika ia pergi kerja.
"Mentang-mentang besok Sabtu, lo jadi seenaknya di sini, gitu?"
Nancy kaget sekaligus takjub. Ia menoleh ke belakang, melihat seorang laki-laki jangkung berjalan dengan santai ke arahnya. Mata Nancy membelalak ketika melihat sosok itu.
"Justin?" Nancy terkesiap waktu ia menyebut nama itu dengan nada bergetar. Bibir Justin menaik sedikit, kemudian berdiri di sampingnya.
Astaga, orang ini..
Kenapa waktu batang hidungnya muncul hati Nancy mulai berdebar tak keruan. Melihat matanya, senyum miring menyebalkan itu, wangi tubuhnya yang berlapis hawa dingin udara malam.. Nancy mungkin gila, tapi ia rindu ketika Justin menatapnya tajam, marah-marah padanya. Daripada harus merasakan perasaan meyebalkan ini. Ia benar-benar tidak nyaman jika berdua seperti ini. Rasanya Nancy seperti seonggok benda tidak berguna jika sedang berdiri di sebelah cowok itu.
Sosok yang dipuja-puja teman kantornya, yang dicari siapa pun, yang teleponnya tidak pernah berhenti berbunyi kalau sedang meeting. Dan laki-laki yang menamparnya tapi memberi efek setelahnya.
Bodoh. Kenapa sekarang tiba-tiba berpikir begitu?
"Lo gila ya percepat proyeknya beneran? Kemarin itu kan gue cuman bercanda!" Hanya kalimat itu yang bisa ia keluarkan. Kalimat yang seharusnya didengar. Kalimat pantas bukan soal tatapan yang menunjukkan kalau sebenarnya ia merindukan Justin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Snow Butterfly
RomanceCompleted. (Judul sebelumnya When the Snow Fall in Love with a Butterfly) --- "Gue mau tanya sama lo." Gadis itu diam. "Lo suka kupu-kupu?" "Hah? Bi-biasa aja. Gue lebih suka ulatnya." Justin tertawa. "Kenapa?" "Pernah denger ceri...