37 - Justin 3

81 13 0
                                    

Senyum hangat di bibir Nancy tidak terhapus juga sesampainya ia di rumah sakit. Setelah Justin mengantarnya sampai ke depan, sebenarnya ia ingin sekali mengatakan sesuatu yang membuat Justin tahu kalau hari ini adalah hari yang paling Nancy syukuri setelah mengenal Justin. Tapi kata-kata itu terhenti setelah Justin terlihat teburu-buru dan langsung melambai mengucapkan sampai jumpa. Ketika angin berhembus dari mobilnya, Nancy merasa malam itu benar-benar selesai.

Ia memandangi ibunya yang terpejam. Rasa penyesalan karena tidak pernah ada ketika ia kritis sesekali menghujamnya lagi. Tapi kini ia mengerti, Nancy memang bukan orang yang mungkin bisa ada selalu untuk setiap orang, ia hanya perlu memaafkan dirinya sendiri dan jangan bertindak terlalu keras pada dirinya sendiri. Meskipun ia seharusnya tahu kalau ibunya--di dunia sana--sedang menatapnya dengan bahu gemetar karena rindu, tapi sulit sekali untuk menerima dirinya yang masih merasa tidak bertanggung jawab pada apa-apa.

Tangan ibunya yang kecil lemah dan tidak bergerak. Nancy memeluk tangan itu dengan tangannya sendiri, ingin merasakan kehangatan dari ibunya sendiri. Tujuh bulan setelah waktu terus bergulir, ibu, kapan ibu sadar? Kenapa kecelakaan itu bisa membuat hidupnya menjadi seperti ini? Bertemu dengan orang banyak, berbagai karakter, Nancy tetap sabar dan bertahan. Demi ibunya, setiap hari ia selalu menunggu hingga rindunya semakin menggunung. Tapi, waktu masih belum memberikan jawabannya.

Malam itu, di rumah kaca, Nancy masih ingat betapa hangatnya tatapan ibu Justin, yang benar-benar melihat dirinya sepenuhnya. Suaranya yang lembut berjalan di roda bergerigi milik Nancy. Kehangatan yang masih tinggal, sampai saat ini, Nancy berharap ia memilikinya bersama ibunya.

xx

Justin sudah sampai rumahnya kembali setelah mengantar Nancy ke RS. Ia menghembuskan napasnya pelan, memasuki rumah dan kembali ke kamarnya. Duduk di tepi kasur, hening menguar di telinganya. Bayangan wajah Nancy yang melambai dan senyum terima kasihnya, tanpa sadar, Justin merasa pipinya hangat.

Apakah ini yang namanya kebahagiaan sederhana?

Ia duduk di tepi kasur sambil melepas jasnya kemudian berbaring dan menatap langit-langit kamarnya yang sepi.

Tapi tidak seharusnya ia menciptakan itu. Tidak seharusnya Justin menitipkan kebahagiaannya pada gadis itu. Ia melirik jam tangan. Sekarang bulan November. Apakah ia bisa membuka mata dan menyadari waktunya sudah semakin menipis? Justin ingin menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang lebih lagi terhadap Nancy, tapi ia tidak bisa. Semakin hari memakan waktunya, semakin cepat ia tidak ingin berhenti melihat Nancy. Seseorang yang bisa membuatnya merasakan betapa bahagianya walau hanya melihat wajah seseorang yang tersenyum seperti itu.

Kenapa bisa ya dulu ia begitu benci sama anak itu? Ada orang berkata, jangan melihat orang dari sampulnya. Dan ia ingin menyetujui itu. Mengetahui dan mengenal ada dua makna yang berbeda. Dan ketika ia mengenal seseorang itu, setiap sisi akan bertambah dan membuat opini tersendiri di kepalanya. Bagaimana ia menyikapi setiap sisi itu, dan bagaimana Justin bisa perlahan membuka matanya kalau Nancy, sebenarnya bukan orang yang benar-benar layak mendapatkan perlakuan seperti itu.

Justin tidak tahu apakah ini kebetulan yang nyata, tapi meski begitu, ia tidak bisa berlama-lama ada di sekitarnya. Ia juga tidak berharap menyatakan segala kebetulan itu lewat perasaannya, didetik-detik waktunya. Ia tidak mau membuat posisi Nancy yang masih bertahan hidup jadi ikut memikirkannya.

Inilah akhirnya, pikir Justin.

Sebulan adalah waktu yang tepat untuknya menyepi dan terlupakan dari orang-orang. Ibu, ayah, mereka semua tidak perlu meninggalkan pesan apa-apa karena sejak detik ini, ia sudah siap untuk menyatakan semuanya lewat kepergiannya. Apakah ia bisa sedikit rasional? Justin berharap ia bisa melambai terima kasih kepada semua orang yang pernah hadir di hidupnya, tapi ia tidak sanggup melakukan itu.

Mengingat air mata yang keluar dari mata Nancy terasa begitu pedih di hatinya, ia tidak sanggup melihat air mata yang lain. Ia cukup sekali merasakan kepedihan itu, menelannya dan cukup untuk penyesalan itu. Ia akan memaafkan Tuhan yang mencabut waktunya lebih cepat dari orang lain. Ia juga tidak bisa menyalahkan siapa-siapa juga atas hidupnya ini. Kalau ia dilahirkan hanya untuk ada di beberapa orang, itu sebabnya ia lahir. Tak ada alasan lain kenapa ia bisa sesukses ini meski semuanya akan ia tinggal pergi.

Ia menghirup udara dalam-dalam. Dadanya terasa sakit. Matanya berair dan tiba-tiba air mata menetes. Justin terkejut. Ia menangis? Ia bisa menangis? Sambil bergerak duduk, ia tersenyum kecil menyeka air matanya. Ah ya, ia masih manusia berperasaan dan bisa merasa kasihan juga terhadap dirinya sendiri. Sekeras apapun ia di meja kerja, tapi ia masih bisa memikirkan hal-hal lain ketika sendirian seperti ini.

Di ujung ruang kamarnya, ia melihat seonggok koper berdiri. Tadi siang ia sudah menyiapkan semuanya. Besok, pagi-pagi sekali ia harus sudah pergi.

----

Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️

Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.

Ditunggu part selanjutnya ya. Terima kasih


Snow ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang