16 : Iblis bisa dipercaya?

128 23 2
                                    

Nancy tidak percaya begitu saja, kan? Tapi raut wajahnya siang tadi, kenapa kesannya Justin meminta maaf dengan sungguh-sungguh, ya? Meski selama ini yang ia dapat hanya caci maki dan ucapan kasar, tapi gengsinya bisa saja hancur hanya dengan kalimat menyentuh yang diucapkan dengan lembut oleh orang seperti Justin. Dan terlebih, kenyataan kalau Justin bisa lebih dulu merasa bersalah. Entah kenapa, kekuatan itu mendorong Nancy semakin merasa kalah.

Ia masih ingat apa yang Rini dan teman-temannya katakan di acara daily gossip mereka tentang Justin Wijaya. Si Pemuda Tampan dan Kaya yang digilai lebih dari mereka berenam. Banyak konsultan, klien-klien yang menyegani Justin hanya dari wajahnya, tapi ada juga yang bilang dari caranya berjalan, gaya hidup dan bagaimana ia memperlakukan klien-kliennya dengan ramah dan tenang. Padahal wajah Justin bukan tipe yang memiliki rahang tegas atau tatapan mematikan seperti CEO biasanya. Tubuh Justin memang jangkung, tapi Nancy selalu merasa seorang Justin lebih cocok menjadi atlet tenis meja. Wajahnya segar dan sederhana. Tidak ada sesuatu yang menarik kecuali tatapan tajam dan mulut pedasnya itu.

Sekarang Nancy paham kenapa orang-orang menyukai rasa pedas. Karena itu bikin ketagihan dan sensasional. Memikirkan Justin sensasional saja sudah membuatnya gila sendiri. Orang lemah dan tidak memiliki hati itu sensasional? Ah, ada benarnya. Buktinya kemarin gara-gara sakit lambung saja ia sampai berlebihan seperti itu.

Tiba-tiba Nancy teringat akan nama obat di bungkus milik Justin itu.

Nancy ingin menarik kata-katanya. Ia tidak tahu apakah Justin berpura-pura atau tidak, tapi rasanya berpikir kalau dia berbohong, terlalu kejam. Sebenci-bencinya Nancy dengan seseorang, ia tidak pernah sampai ingin membunuhnya juga. Walau tidak tahu tindakannya benar atau tidak, menyelamatkan seorang iblis, Nancy hanya berdoa semoga ibunya segera bangun dari koma. Setiap hari, dan setiap saat.

Malam itu ia kembali pulang ke RS. Mulai dari kemarin, ia sudah tinggal di kamar ibunya. Rasanya menemani sang ibu—satu-satunya—orang yang mengenal ia sebaik itu, sudah cukup menenangkan suasana hatinya setelah seharian mengalami tekanan batin. Apa yang akan ibu Nancy katakan kalau tahu ia memiliki masalah di kantornya, terlebih lagi kepada Justin itu?

Dasar anak bodoh! Kamu ini nggak punya apa-apa kalau mau ngancem orang tuh lihat dulu punya benteng setinggi apa! Jangan main seruduk tapi malah kamu yang ke tembak sendiri!

Nancy membayangkan suara ibunya yang melengking, marah-marah dan melotot sambil mengucapkan kalimat andalannya itu. Tapi hanya itu bagian yang ingin ia dengarkan. Ia rindu ibunya marah-marah, melotot dan sesak napas karenanya. Setidaknya Nancy bisa berkaca diri kalau ia seburuk itu hingga membuat ibunya geleng-geleng dan kesal setiap hari. Setidaknya Nancy bisa tersadarkan dalam lingkup bimbingan seperti yang ibunya lakukan.

Ia tidak pernah membatin kalau ibunya sedang marah-marah. Malah terkadang ia membutuh emosi itu, supaya menamparnya untuk sadar kalau dunia ini masih terus berputar sementara ia masih saja duduk dalam lamunan imajinasinya sendiri. Kenyataan yang harus segera ia sadari sebenarnya adalah, jangan mengukur kebahagiaan dari uang. Duduk di koridor rumah sakit dengan suasana tenang seperti ini saja sudah membuatnya bahagia. Apalagi mengingat hari ini tidak ada tatapan sinis kecuali si iblis yang meminta maaf. Setidaknya pelan-pelan Nancy mulai mengerti perkembangan akan hubungan seperti itu.

Masih pukul sebelas malam. Nancy tidak makan malam, ia hanya membeli susu dan langsung ia minum ketika sampai di kamar ibunya. Kemudian membuka internet, melihat situs-situs penyedia berita atau terkadang membaca buku online di ponselnya, menunggu mengantuk. Sinar lampu koridor menerangi setiap sudut. Bau khas rumah sakit tersebar di mana-mana. Terkadang suara langkah kaki suster-suster di lobby depan terdengar. Kalau terus seperti ini, Nancy tidak kunjung mengantuk.

Ia memilih berjalan ke lantai balkon yang ada di belakang gedung. Menikmati pemandangan malam dan angin malam harusnya membuat ia mengantuk. Ketika sampai di balkon dan bersandar di pagarnya, dari atas sana, Nancy yang sedang memandang berkeliling tiba-tiba melihat seseorang di taman belakang. Keduanya saling berdiri berhadapan, tersiram sinar lampu taman di dekat pohon. Karena kebetulan balkon gedung belakang menghadap ke taman di tengah rumah sakit, Nancy yang sama sekali tidak terhalang pandangannya bisa mengenali dengan jelas kedua orang itu.

Dokter Wu dan Justin?

Justin lagi? Sebenarnya anak itu ada keperluan apa sampai rasanya sering sekali ia melihatnya ke RS? Dan pula dokter Wu yang kelihatannya sangat akrab saat berbicara padanya. Dokter Wu adalah dokter spesialis yang sering mengecek organ dalam ibunya, jadi sering bertemu dan tidak pernah asing lagi melihat perawakan pria itu. Nancy menyipitkan mata, berusaha melihat dengan jelas ekspresi Justin dari atas sini. Walau rasanya sulit, tapi entah bagaimana, gerakan yang Justin buat seakan-akan memancarkan kesedihan.

Sejenak, dokter Wu bicara pada Justin yang tertegun memandang kakinya sendiri, lalu dokter Wu memancarkan tatapan simpati sambil memegang bahu Justin yang masih bergeming. Nancy kian penasaran apa yang mereka bicarakan hingga membuat ekspresi Justin berubah seperti itu. Tapi tindakannya tidak dipenuhi karena setelah itu Justin dan dokter Wu memasuki rumah sakit dengan langkah hening.

---

Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️

Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.

Ditunggu part selanjutnya ya. Terima kasih


Snow ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang