23 : Seandainya

89 17 3
                                    

Suara keyboard saling mengetik beradu damai. Di sebelah kursi Nancy, Rini tidak di tempatnya. Ah, betapa tenangnya hidup Nancy ketika gadis itu tidak ada. Rasanya Nancy bisa bernapas dengan puas. Ia bisa tenang mengerjakan gambarnya di kursi dengan telinga ditutup headset dan memutar lagu-lagu kesukaannya. Seandainya Rini tidak dilahirkan dengan sikap begitu, setidaknya Nancy bisa merasa lebih "hidup" daripada kemarin-kemarin.

Rini sudah pergi pagi-pagi sekali ke proyek yang lain. Sebagai PIC, mengurus beberapa proyek secara langsung sudah biasa terjadi, tapi Nancy yang membayangkan itu saja kadang suka pusing. Ia terkadang salut dengan Rini yang bisa dengan teknisnya mengurus dan mengendalikan semuanya dengan baik. Sayang, sikapnya tidak bisa diacungi dua jempol. Terkadang Nancy berpikir, mungkin itu sebabnya tidak semua manusia bisa sempurna bahkan Presiden negara sekalipun. Tapi kita, yang melihat hanya sekedar mengeluh dan mengomentari cara hidup mereka tanpa mengetahui sisi lain dirinya. Seperti seseorang itu.

Tangan Nancy berhenti bergerak seketika. Pikiran Nancy berhenti di wajah Justin yang kemarin berjalan mendekat ke arahnya, menyodorkan sapu tangan tanpa mengatakan apa-apa, selain kalimat itu. "Gue bukan orang yang selamanya sama."

Nancy benar-benar takut untuk mengakui kalau dirinya sudah merasa lebih baik ketika kalimat itu terucap dari mulut kasar Justin. Selama ini, ketika Nancy mengingat sebagaimana ia benci dan muaknya melihat Justin, baru kali itu, kalimat seorang Justin melekat hangat di hatinya. Seakan memberi pesan kecil, kalau terkadang, dunia memang menjatuhkanmu, tapi jangan lupakan kalau jatuh itu selalu bersama bangkit. Mereka adalah paket yang tidak terpisahkan. Nancy seperti yakin, kalau bahkan Justin, orang yang paling ia benci, bisa memberinya ruang berbeda di hatinya.

Apakah yang Nancy pikirkan ini benar?

Sesaat, ia mengeluarkan sapu tangan dari saku celana yang masih ia simpan.

"Perlu dikembaliin nggak, ya?" Mengingat barang-barang yang Justin kenakan semuanya ber-merk dan mahal, rasanya sepotong sapu tangan tak berarti apa-apa lagi di mata Justin.

"Kalau dia minta aja lah, gue balikin."

Ia kembali meletakkan sapu tangannya di saku. Tepat setelah itu ikom di mejanya berdering. Nancy mengangkat itu cepat, ternyata telepon dari Mas Iki, office boy kantor ini.

"Kak, saya lupa bilang, tadi di dapur ada makanan buat kakak," kata Mas Iki membuat Nancy mengerut heran.

"Hah? Makanan dari siapa?"

"Nggak tahu, kak. Nasi bebek Mbok Wati tulisannya. Mungkin teman kakak yang kirim, kali?"

Nancy kian memutarkan bola matanya, berpikir. Seumur-umur, teman sekaligus sahabatnya saja tidak pernah ada yang seniat itu membawakan makanan ke kantor. Rasanya tidak mungkin sekali mereka membelikan, terlebih mereka sendiri juga punya kebutuhan yang sulit dibagi. Apa salah kirim?

"Salah kirim kali, mas?"

"Nggak, bener kok. Tadi yang bawa ke sini bukan tukang ojek juga. Tapi bapak-bapak pake baju rapi gitu."

"Hah?" Nancy semakin terkejut. Imajinasinya akan gerangan orang yang membawakan makanan itu semakin buram. Orang tua? Siapa sih? Sebaiknya ia segera mengecek ke pantry tentang makanan yang diberikan itu. Mungkin kesannya berlebihan, tapi rasanya Nancy tidak pernah sampai merasa dibawakan makanan oleh orang asing. Mengingat kehidupan sosialnya yang tidak pernah berdampak bagus untuk beberapa orang.

Ketika ia berjalan ke dapur, ia melihat satu bungkus plastik hitam di atas meja kompor. Ia mengeluarkan isinya, lalu satu bungkus nasi bebek itu muncul. Nancy tidak punya ide siapa yang melakukan ini semua. Ia hanya tersenyum kecil, mencium sedapnya bau nasi bebek itu, dan menggumam kalau ia sangat beruntung dapat makanan salah kirim seperti ini. Karena itu bisa mengganti uang makan siangnya yang kemarin.

xx

Pintu di ruang kerja Justin seketika diketuk dari luar. Ia mengucapkan "masuk" tanpa melepas pandangan dari dokumen yang sedang ia kerjakan. Pak Leo muncul dengan wajah sumringah. Di tangannya, ia membawa tiga bungkusan nasi dan membawanya ke meja Justin tanpa mengucapkan apa-apa lalu pergi.

"Apaan ini?" Justin melepas pandangannya pada bungkusan nasi itu, menghentikan langkah Pak Leo yang sudah setengah jalan.

"Ah, itu aku dapat dari Pak Rusman. Katanya makan siang buat kita. Tapi aku sudah makan, jadi buat kamu aja. Makan yang banyak, ya." Pak Leo sudah buru-buru ingin pergi, tapi kembali Justin memanggilnya.

"Eh-eh, tunggu." Justin merogoh-rogoh saku celananya, mencari sapu tangan yang biasa ia gunakan kalau sedang darurat. Ia mau memindahkan bungkusan nasi yang sudah terlihat sangat berminyak itu ke piring kosong yang bersamaan di bawa sama Pak Leo tadi, tapi tidak ketemu juga. Kemudian ia baru ingat siang kemarin di lorong sepi bersama karyawan konsultan itu, sapu tangannya berakhir di sana.

"Ah, gue nggak akan habis semuanya. Ini, lo bawa satu kirim ke kantor konsultan lighting proyek Four Season kemarin," ujar Justin dengan terpaksa mengeluarkan kertas nasi berminyak itu ke atas meja kerja menggunakan jari telanjang. Pak Leo kelihatan bingung, tapi ia menuruti perintahnya.

"Buat Rini?"

Justin yang hendak menulis lagi seketika mengangkat wajahnya, menatap muram.

"Bukan. Karyawan yang satu lagi, yang selalu sama dia. Siapa namanya itu?"

Pak Leo kembali tersenyum sumringah. "Ah, Nancy."

"Ya, ya, siapa pun dia. Bawa nasi itu buat dia. Gue nggak mau ada hutang budi," sahut Justin kembali menuliskan dokumennya lagi. Tidak melihat senyum curiga di bibir Pak Leo waktu menyebut namanya.

Sadar kalau Pak Leo tidak beranjak juga, Justin kembali mengangkat wajahnya datar.

"Terus ngapain lagi?" tanya Justin dingin, memandangi wajah Pak Leo yang berubah seperti menggodanya.

"Kalian berhutang budi apa? Wah-wah, jangan-jangan kalian kelihatan saling benci itu sebenarnya cuman kedok--"

"Pak, gue mau kerja. Boleh?" Justin memotong dingin. Tapi Pak Leo hanya terkikik pelan, lalu mengangguk-angguk keluar dari ruangan dengan sebungkus nasi bebek di tangannya.

Sekilas, Justin memandangi bungkusan nasi bebek di depannya seraya menghela napas.

Kenapa dia bisa tiba-tiba keingat sama gadis itu, ya? Dan hutang budi apa yang masih tertinggal?

---

Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️

Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.

Ditunggu part selanjutnya ya. Terima kasih

Snow ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang