Proyek Four Season resmi di lanjutkan kembali setelah satu minggu membahas gambar kerja dari arsitek. Jika gambar kerja arsitek sudah diserahkan ke pengawas dan sesuai dengan lapangan, maka konsultan lighting sudah bisa memulai gambar kerjanya sendiri.
Pak Adi yang tahu progress proyek ini bersama pihak klien berjalan dengan baik setelah beberapa hari badai soal pembatalan kontrak itu, akhirnya, keseharian Pak Adi dalam minggu ini sepertinya terlihat sangat tenang. Tidak seperti waktu Nancy berada di ambang kematiannya. Apalagi proyek ini dipegang oleh Rini yang katanya paling rajin, bahkan mau sampai berlembur-lembur.
Tatkala Rini juga pernah membawa pekerjaannya ke rumah demi mengejar deadline. Mengingat itu, rasanya Nancy mau muntah. Pekerjaannya memang tidak sebanyak Rini, tapi kadang melihat seseorang sampai workaholic seperti itu rasanya tak habis pikir. Memang tidak ada salahnya, tapi bagaimana bisa Rini tidak memikirkan waktu hiburannya sedikit? Tapi kalau pekerjaannya adalah hiburannya, ... ya Nancy tidak bisa berkata-kata apalagi. Lagipula itu Rini, apa peduli dia? Gadis arogan itu, sampai sekarang saja masih memperlakukannya seperti awal-awal ia masuk. Padahal ini sudah memasuki 2 minggu Nancy bekerja.
Berhadapan dengan Justin di ruang meeting, Nancy ingat sekali terakhir kali bertemu dalam keadaan di luar perkiraannya. Sekarang cowok itu duduk manis seakan tidak terjadi apa-apa.
Jangan bilang siapa-siapa.
Lagi pula, apa peduli dia sampai harus mengumumkan kalau Justin kejang-kejang sekarat hampir tidak ada yang menolong jika bukan Nancy yang datang secara kebetulan? Justin seharusnya merasa beruntung kali itu ia selamatkan. Tapi sepertinya kejadian malam itu seperti menguap saat itu juga. Bahkan hari ini, ketika meeting berjalan, Justin tetap seperti Justin yang pertama kali ia kenal.
"Kalau begitu kita pamit dulu, pak. Nanti keputusannya akan saya emailkan bersamaan gambar kerjanya ya. Terima kasih, permisi, pak." Rini dan Nancy sudah membereskan berkas-berkas dan hendak keluar. Saat itu ia meeting cepat dan selesai saat jam makan siang. Tapi saat keduanya bangkit, Justin mengangkat wajah dan memandang Nancy yang tidak sadar.
"Rini, gue pinjem karyawan lo lagi."
Wajah Rini menekuk. Ia seketika memandang Nancy yang tertegun melihat Justin. Tapi kali ini ia tidak melemparkan senyum lagi, ia langsung keluar ruangan dengan langkah menghentak-hentak dan menutup pintu keras-keras sampai berdebum menggema ke seluruh ruangan. Nancy yang kini kembali berada di situasi paling menyebalkan--yaitu berdua bersama cowok bermulut kasar ini—hanya menyingkapkan tangannya di depan dada.
"Ngapain lagi?"
"Ikut gue." Justin berdiri, membereskan berkasnya sejenak lalu keluar ruangan tanpa memandangnya sama sekali.
"Kemana? Gue nggak punya waktu."
"Yang pasti nggak gue culik. Nggak ada harganya juga lo." Justin mulai keluar ruangan tanpa menoleh, membuat asap di kepala Nancy mulai mengepul.
Rasanya kalimat demi kalimat yang semakin Justin ucapkan sudah terdengar biasa. Nancy marah, tapi tidak sedengki waktu pertama kali. Ia seakan-akan mengenal Justin lewat sikap buruknya itu. Justin sudah biasa menyeletuk seperti itu, biarlah lakukan semau dia, pikir Nancy. Kalau di lawan bisa jadi bumerang, tapi kalau dibiarkan anak itu malah semakin tidak tahu diri. Dari pada emosi batin, Nancy memilih menarik napas, lalu mengembuskannya pelan-pelan dalam upaya menenangkan batinnya.
"Ayo," dari depan pintu kali ini Justin menoleh sambil menahan pintu. Dan Nancy hanya berpasrah menurut pada iblis di depannya itu.
xx
Nancy terkejut bukan main waktu Justin memakirkan mobilnya di depan sebuah restoran mewah di dekat pinggir kota. Otaknya seperti membeku dalam keramaian suasana restoran siang itu. Ia menatap Justin terkejut, tapi cowok itu hanya menunduk diam, membaca menu, lalu dengan santai mengangkat tangan, memanggil pelayan dan dengan anggunnya mengucapkan pesanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Snow Butterfly
RomanceCompleted. (Judul sebelumnya When the Snow Fall in Love with a Butterfly) --- "Gue mau tanya sama lo." Gadis itu diam. "Lo suka kupu-kupu?" "Hah? Bi-biasa aja. Gue lebih suka ulatnya." Justin tertawa. "Kenapa?" "Pernah denger ceri...