32 : Justin-1

81 16 2
                                    

Saat itu pukul sebelas malam lewat. Ia memakirkan mobilnya setelah petugas gerbang tadi tersenyum lebar dan kaget dengan kedatangannya.

"Mas Justin! Ya ampun udah lama banget mas nggak mampir!"

Justin hanya tersenyum membuka kaca mobil lalu bertanya apa ayahnya ada. Kata petugasnya beliau belum pulang. Di rumah hanya ada ibunya. Akhirnya Justin mengangguk dan melambai sambil masuk ke rumah. Rumah yang sudah entah berapa bulan tak ia datangi.

Hari ini hati Justin sedang sangat tersentuh. Mungkin karena naik bianglala tadi, ditemani tawa bahagia dari teman-teman barunya, rasanya, Justin yang sekarang sedang mencopot semua baju pertunjukkannya dan menampilkan sosok yang sebenarnya. Sosok di mana ia hanya bisa terdiam, mendengarkan detik jarum jam berputar, menipiskan sedikit demi sedikit jalur napasnya.

Tiga bulan sejak pemberitahuan itu, dan semakin sedikit lagi sampai hari ini.

Ibu sudah tidur pasti. Kedewasaan menutupi sebagian dirinya untuk kembali ke tempat ini. Ia belajar untuk kuat dalam berbagai aspek. Terlihat baik dan sempurna di mata semua orang. Ia adalah ikon untuk orang-orang yang ia temui, membuat dirinya terbentuk dari sisi yang lain. Menutupi segala kelemahannya, bahkan melupakan kelemahannya.

Justin tidak tahu kenapa ia bisa tumbuh seperti itu. Hingga ketika ia mengetahui soal sisi yang lain, ia seperti tidak bisa mengatakan apa-apa selain merasakan derasnya air mata yang keluar dari sisi yang selama ini ia tutupi. Sisi yang sebenarnya masih ada, tapi hanya berusaha ia samarkan dan pura-pura tidak ada. Padahal, kadang yang ia tutupi adalah keseimbangan untuk sebuah kesempurnaan. Dan sekarang, Justin tidak punya waktu lagi untuk menyesal. Ia hanya perlu terus bernapas, menikmati sisa-sisanya.

Ia keluar dari mobil, melangkah pelan ke dalam rumah.

Kapan terakhir dia menginjakkan kaki ke sini? Sebulan yang lalu? Dua bulan yang lalu? Justin tidak ingat. Tapi menginjakkan kaki di rumah ini pada saat seperti ini, rasanya berbeda sekali. Seakan-akan seluruh memori yang ia simpan tiba-tiba bermerbak memenuhi pikirannya. Menyumpalnya dengan sebagian rasa bersalah. Bagaimana waktu kecil ia tumbuh dengan polos, belajar dengan tekun tanpa protes. Bagaimana dulu ia bisa begitu patuh dan disukai siapapun. Tapi semua kenangan itu hanya lenyap dalam jarak yang bertahun-tahun Justin buat.

Biasanya, kalau ia datang, ada asisten rumah tangga yang menyambutnya. Hanya saja, waktu ia membuka pintu utama, hening menyambar singkat. Mungkin karena sudah malam juga, jadi mereka sudah tidur.

Ia memasuki ruang tamu, melewati lorong dan berjalan ke dapur. Tempat yang paling sering ia dan ibunya gunakan untuk mengobrol karena mereka hanya bertemu ketika makan malam. Tapi sekarang meja makan itu kosong, dan yang bisa ia dengar hanya suara mesin kulkas berdengung memenuhi ruangan yang hening. Ia melihat ke sekeliling sejenak, berpikir untuk memeriksa apa ibunya benar-benar sudah tidur atau belum. Tapi daripada melakukan itu bisa mengejutkan ibunya, jadi lebih baik ia pergi ke kamarnya, dan beristirahat. Menunggu hari esok sambil memikirkan reaksi apa yang harus ia sajikan untuk ibunya.

Yang akan ia tinggalkan tidak lama lagi.

xx

Beberapa waktu yang lalu, kalau ia ke sini, pasti tidak pernah sekali pun menginjakkan kaki ke kamarnya. Karena sibuk kerja, ia hanya menyempatkan untuk makan malam bersama ibunya. Ayahnya juga jarang pulang, jadi pasti ibunya kesepian sekali. Dulu hal itu tidak terpikirkan olehnya, kenapa waktu ia membuka pintu kamarnya hal itu tiba-tiba terpikirkan ya?

Ia menyalakan lampu dari saklar di samping pintu. Mencopot sepatu, melepas jas, dasi dan duduk di tepi ranjang. Kasur yang sudah tiga belas tahun ia tiduri masih sama seperti tahun itu. Asisten rumah tangga selalu membersihkan kamarnya setiap siang waktu ia masih belajar di ruang bawah. Mainan dan buku-buku masih di lemari dengan rapi. Kain gordennya diganti setiap minggu, karpet juga. Justin masih ingat detail dari sudut tempat ternyamannya jika sedang sendirian.

Ketika ia ingin sendirian, ibunya malah mengajaknya pergi ke rumah kaca, menemaninya merawat tanaman sambil minum teh. Sekarang, kalau di pikir-pikir lagi, dulu ia paling malas ke rumah kaca, di sana sangat panas rasanya. Tapi kalau di bayangkan lagi, kenapa ia kedengaran kejam sekali dengan ibunya. Di kala ia tidak menginginkan perhatian lebih tapi ia mendapatkannya, berbanding terbalik dengan gadis itu.

Justin merebahkan tubuhnya di kasur, menghirup udara masa lalu itu dalam-dalam lalu menghembuskannya.

Seandainya dulu ayah tidak sekeras itu, mungkin sekarang ia bisa jujur pada dirinya sendiri kalau ia memang lemah. Apakah ini yang orang-orang rasakan ketika ingin mati? Mengingat hal-hal yang sangat sepele hingga rasanya ingin ia putar balikkan waktu untuk memperbaiki semuanya? Justin terlalu dewasa untuk menyadari itu semua. Ia sudah melangkah jauh, meninggalkan semua masa-masa itu di belakangnya. Bahkan tidak memberinya waktu untuk kembali merasakan rindu. Rindu untuk mendapatkan kembali perhatian ayahnya semasa kecil, dan semacamnya. Meski hubungan mereka cukup menjarak, tapi mungkin satu hal yang membuatnya terus mendesak untuk sendirian adalah ayah. Ia terlalu jauh meratapi kenapa ayah jarang mengisi lembar hidupnya.

Tapi melihat perjuangan seseorang untuk bertahan dalam rintangan itu, Justin seketika tahu sekarang. Ia hanya perlu menerima itu semua. Sama seperti sikap ayah yang memang dingin, atau gadis itu. Bagaimana permasalahan tentang hidupnya yang kurang beruntung, ibunya yang koma dan kesendirian untuk bertahan tanpa perhatian siapa pun, Justin tahu hanya dalam sekali melihatnya. Kalau bukan karena kecelakaan mereka di MRT itu, apakah Justin bisa merasakan perbedaan dan perasaan bertolak belakang ini?

Ia ingin mati. Ia tahu ia tidak akan lama lagi hidup di dunia ini, tapi itu tidak apa-apa.

Kata-kata menghangatkan yang sampai sekarang masih ia ingat itu rasanya akan melekat dalam dadanya.

Jadi,kalau kupu-kupu itu ditinggalkan oleh salju sekali pun, ia yang sedih dan terpukul, pasti punya sesuatu untuk diingat. Baginya, ia tahu, hal kecil seperti itu kadang yang bisa mengubah hidupnya untuk semakin berjuang dalam menempuh hidupnya. Seperti salju yang nggak berhenti mencintainya, iya kan?

Seandainya Justin tidak akan bertemu dengan ajalnya, apakah ia bisa merasakan kehidupannya yang begitu bermakna tanpa bertemu dengan kupu-kupu itu?

----

Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️

Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.

Ditunggu part selanjutnya ya. Terima kasih


Snow ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang