"Lo ngapain sih di sini?"
Nancy masih sibuk mengeluarkan dua butir obat dari dalam botol kaca sesuai perintah Justin. Setelah digopoh sedikit ke teras dan duduk di kursi taman itu, Justin menelan dua butir itu sambil menggerutu.
"Kebetulan banget, kan? Gue cuti."
Sambil menelan obat itu, Justin berdecih, seolah tidak percaya pada ucapannya.
"Cuti? Di tengah proyek Four Season yang udah mau launching lo bisa cuti? Hebat."
Nancy tidak melepas pandangannya dari wajah cowoki itu. Poni rambut yang semakin panjang menutupi kedua matanya sehingga nampak lebih misterius dan dingin. Bibirnya pucat, kulitnya yang putih terkesan seperti mayat hidup. Meski dijatuhi sinar matahari, tidak ada peluh keringat, berbeda dengan Nancy yang agak keringetan akibat berjalan hampir setengah jam tadi.
Sesekali Justin mengerutkan keningnya menahan sakit. Tangannya masih belum melepas perutnya, napasnya sudah terdengar ringan, tidak seperti pertama kali Nancy lihat tadi. Melihat kondisi seperti ini kesannya sudah sangat biasa, tapi melihat kondisi Justin, Nancy tidak percaya kalau ucapan sombongnya itu masih dimiliki bahkan ketika wajahnya berubah pucat tidak seperti biasa.
Jadi sudah seminggu dia di sini sendirian? Nancy menyimpan pertanyaan itu sendiri lalu berdeham menyiapkan alasan.
"Sebenarnya gambar kerja udah selesai, jadi..." Nancy berhenti sejenak, berargumen dengan logikanya mencari kebohongan yang paling baik. "Jadi, tinggal kerja lapangan. Dan itu urusan kak Rini. Daripada gue disuruh bantuin jadi ya gue buru-buru ambil cuti."
"Lo kan karyawan baru, emang udah dapet cuti?"
Nancy terkesiap kesal, "lo kenapa sih nggak rela banget gue liburan?" balasnya tidak setuju dengan pertanyaan yang terus menerus dilontarkan cowok itu. Justin menghela napas dan memejamkan matanya sambil bersandar. Sepertinya sakit perutnya sudah mereda. Ia diam-diam menelan ludah, menyingkirkan rasa takutnya.
"Terus lo kenapa bisa ada di sini? Kenapa bisa di depan villa gue?"
Nancy menoleh ke kanan dan kiri, seperti me-rewind kembali kejadian tadi sambil mencari keberanian untuk mengatur kebohongannya.
"Gue emang pengen liburan ke sini, tapi tadi gue salah naik angkutan terus ketemu sama ibu-ibu yang tinggal di bawah. Gue dianterin ke sini katanya siapa tahu ketemu villa kosong yang bisa gue sewa. Tahu-tahu pas lagi liat-liat, gue nggak sengaja denger suara lo..." Nancy bercerita sambil mengingat setiap ceritanya supaya tidak terjadi kesalahan skenario. Walaupun kedengaran payah, Justin seharusnya nggak gampang percaya kan, kalau ia punya uang untuk menyewa sewa? Apa boleh buat, Nancy jarang berbohong, dia lebih sering teledor.
Justin hanya menghela napas lagi, seolah tidak percaya tapi ia diam saja.
"Emang lo mau ke mana?"
"Ciwidey."
"Ya ini Ciwidey, bodoh."
"Tapi maksudnya—"
"Bilang aja lo sengaja pura-pura kesesat, kan?" Justin membuka sedikit matanya, melirik Nancy seperti detektif yang memenangkan kasus.
"Lo tuh ya! Gue ini lagi tersesat lo malah nuduh gue yang aneh-aneh! Nggak tahu ya daritadi gue ketakutan jalan di sini, tahu-tahu ketemu lo gue bersyukur banget. Boro-boro mau minta numpang tinggal di sini sampe gue ketemu villa baru. Ah, nyesel gue!" Nancy pura-pura kesal atas tuduhan Justin. Ia bangkit berdiri sambil menghentakkan kakinya hendak berbalik dan pergi. Dari belakangnya, tangan Nancy direggut cepat, ia terkesiap lalu menoleh ke arah Justin yang menatap sambil menyipitkan mata.
"Jangan sok mau pergi deh, drama banget si."
Mendengar kalimat itu, Nancy memutar bola matanya jengah, ia hendak menepis genggaman tangan Justin tapi langsung tertahan waktu cowok itu membuka suara. Matanya mengerjap sayu, tidak telrihat ingin beragumen lebih. Nancy agak menyerah, dan menunggu.
"Di dalem ada kamar tamu, kosong. Lo boleh tinggal di sana beberapa hari." Justin melepaskan tangannya. Perlahan, Nancy menoleh, melihat Justin yang sudah menatapnya lurus tanpa ekspresi.
"Ikhlas nggak?"
Justin menatapnya lekat-lekat. "Lo tuh selain berisik, bawel, ngeselin, bisa juga ya pengen gue cium aja biar diem?"
Mata Nancy membelalak. "Heh! Kurang ajar lo ya!" Seketika Nancy ingin meluncurkan pukulannya tapi tangannya sudah direnggut Justin lebih dulu, lalu dengan tangkisan itu, ia menarik tubuh Nancy hingga terlempar ke depan wajah cowok itu hingga kedua wajah mereka hanya menjarak beberapa senti. Nancy mengerjap cepat, seketika napasnya terhenti, jantungnya berdebar keras.
"Lihat kan? Sengaja lo ya?" Justin menyipitkan matanya seraya meluaskan pandangan di wajah Nancy.
Wajah Nancy memerah. Ia berusaha melepaskan diri dengan sekali gerakan, tapi tenaga Justin cukup kuat untuk membuatnya terkunci di posisi itu.
"Aduh, lepasin ah--"
"Tinggal di sini nggak gratis. Ada syaratnya," sahut Justin beralih ke topik lain, menghentikan gerakan Nancy yang ingin lepas dari jeratannya.
Nancy mengerutkan dahi. "Maksudnya?"
Beberapa saat Justin menatapnya, ia kemudian menunjuk ke dalam rumah lewat jendela, lebih tepatnya dapur rumah cowok itu. Seketika Nancy langsung dipertunjukkan oleh segunung cucian piring dan gelas. Ia melongo, memandang wajah Justin yang sangat dekat itu tak percaya sementara cowok itu tersenyum puas.
"Deal?"
Nancy mengembuskan napas. Ia melirik jengah lalu dalam satu gertakan melepaskan diri, ia menyahut rendah. "Dasar!"
----
Sebelumnya makasih ya sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Cerita ini akan ku update setiap hari, jadi jgn lupa masukkan ke library kalau tertarik☺️
Aku sangat mengharapkan ada feedback dari pembaca. Baik kritik ataupun saran aku sangat terbuka. Jangan sungkan untuk berkomentar ya hehe💜 apapun itu aku hargai karena untuk perkembanganku dalam menulis setelah sekian lama akhirnya haha.
Ditunggu part selanjutnya ya. Terima kasih✨
KAMU SEDANG MEMBACA
Snow Butterfly
RomanceCompleted. (Judul sebelumnya When the Snow Fall in Love with a Butterfly) --- "Gue mau tanya sama lo." Gadis itu diam. "Lo suka kupu-kupu?" "Hah? Bi-biasa aja. Gue lebih suka ulatnya." Justin tertawa. "Kenapa?" "Pernah denger ceri...