•14•

778 30 0
                                    

Suasana taman komplek yang masih sepi hanya terdapat beberapa orang saja termasuk Gema dan Emitila. Sekarang mereka sedang duduk disebuah bangku panjang ditaman itu. Berbincang-bincang sedikit agar suasana tak menjadi canggung.

Larut dalam perbincangannya dengan Gema, gadis itu tidak menyadari kehadiran seseorang di belakangnya. Saat tangannya dipegang secara tiba-tiba membuatnya kaget sekaligus memancing emosinya kembali. Dengan sekali hentakan tangan itu sudah tidak memegang pergelangan tangannya lagi.

“Mau apa lagi?!!” Ucap Emitila sedikit membentak.

“Dengerin penjelasan gue sama mama dulu! Bukan gini caranya, terus menghindar seperti pengecut”

Tak digubris sama sekali oleh gadis itu, Emitila berbalik dan hendak pergi dari sana namun tangannya dicekal oleh Gema dan sang empu menatapnya sambil bergeleng pelan.

“Bangsat!” Berusaha memberontak agar tangannya dapat terlepas namun nihil ternyata Gema lebih kuat dari dugaannya, akhirnya mau tak mau ia harus diam.

Gadis itu tak tahu harus bersikap seperti apa sekarang. Emosinya masih tak terkendali setiap melihat kedua orang yang baru saja datang. Setiap di rumah, gadis itu tak pernah sama sekali keluar kamar. Jika ingin keluar rumah membeli sesuatu pasti penghuni rumah tidak ada yang tahu kapan gadis itu keluar ataupun masuk lagi.

“Emi, mama minta maaf sayang. Mama tau mama salah, mama nyesel nak. Tolong jangan terus menghindar seperti ini,kasih mama sedikit kesempatan buat menjelaskan semuanya” ujar Natali memohon.

“Saya sudah tidak perduli. Yang saya inginkan dari Anda, biarkan saya pergi dari sini”

Deg!

Ucapan Emitila yang berubah menjadi formal seperti mengiris hati Natali. Sebegitu bencikah putrinya? Tidak, bukankah gaya bicara putrinya selalu seperti itu juga bersamanya? Entahlah tetap saja cairan bening keluar dari kelopak mata dan menetes dengan sendirinya.

“Lo boleh marah, tapi lo juga harus peduli perasaan mama!” bentak Elvaron yang sudah kehabisan kesabaran.

“Peduli? Untuk apa? Kamu tau apa tentang saya? Tau apa tentang kehidupan saya? Tau apa tentang masalah saya? Asal kamu tau, saya tidak peduli dengan mama kamu. Saya tidak peduli dengan orang yang sudah dengan mudahnya membuang anaknya sendiri yang tidak tau apa-apa! Saya tidak peduli dengan sampah sepeti kalian!”

Plak

Mereka bertiga dibuat kaget karena Natali tiba-tiba menampar Emitila. Bukan pelan, itu tadi tidak pelan, itu terlalu kencang. Itu kembali menyakiti perasaan gadis itu.

“Nak, m..mama mama gak bermaksud..mama” ucap Natali terbata-bata merutuki perbuatannya tadi, air matanya mengalir kembali begitu deras apalagi saat melihat mata merah dan berlinang putrinya.

Emitila memandang datar mamanya, matanya berkilat marah “Puas? Puas ha!!” gadis itu berani membentak mamanya.

Natali terus menggeleng, wanita itu mencoba menyentuh putrinya dengan segala penyesalan. “Ma..mama minta maaf nak.. Ma..mama”

“Udah lah! Dari dulu Anda selalu sesuka hati Anda. Anda gak pernah mau dengerin saya, Anda selalu salahin saya setiap ada masalah. Mana Anda yang dulu?! Anda yang selalu saya anggap sebagai dewi? Anda mau saya berubah? Anda ngaca! Liat bagaimana sikap Anda”

“Selama bertahun-tahun Anda buang saya, Anda bentak saya, Anda pukul saya, Anda berbohong kepada saya. Anda kemana waktu saya butuh? Anda bahkan gak pernah mau tau apa yang saya lakuin! Anda seharusnya tau kalau saya tidak punya ayah! Anda seharusnya tau bagaimana perasaan saya!!” Dada gadis itu terus naik turun, tangannya mengepal. Gema terus mencoba menenangkan gadis yang sedang tersulut api amarah ini.

“Disaat temen-temen saya membanggakan orang tuanya sedangkan saya? Saya bisa apa..? Saya cuma bisa diem, menjauh, tebal telinga” ucap gadis itu dengan nada yang naik satu oktaf. Dada gadis itu terus naik turun, nafasnya memburu, matanya memerah serta air mata yang sudah membasahi pipinya yang bulat.

Setelah mengeluarkan segala unek-uneknya, gadis itu memilih pergi meninggalkan tempat itu. Gema melihat itu ia terdiam sejenak namun akhirnya mengejar Emitila.

Disana hanya menyisakan Elvaron dan mama-nya itu. Pandangan Elvaron lurus kedepan dengan tatapan kosong.

“Maaf, ma. Kali ini Varo kecewa sama mama” ucapnya sebelum ia benar-benar ikut pergi meninggalkan mamanya.

Natali hanya bisa terisak dalam pelukan angin. Ditaman ini menjadi saksi bisu atas perbuatannya. Lagi dan lagi, ia kembali memberikan luka di hati kedua anaknya “Kenapa harus begini Tuhan.. Kenapa harus keluarga kami” pintanya sangat pelan.






Menangis. Hanya menangis yang dapat gadis itu lakukan sekarang. Menangis meratapi nasibnya kali ini, begitu malang. Jiwa, batin, dan hatinya sakit, sakit merasakan semua masalah yang terus menghampirinya. Pasrah mungkin kata itu yang cocok untuk semua masalah ini.

Berjalan dengan linglung setelah lelah ia berlari. Matahari pun sudah memancarkan sinar panasnya, banyak orang melihat aneh pada gadis itu sekarang. Dengan penampilan yang sudah acak-acakan, dengan air mata yang masih terus mengalir, berjalan menunduk tak tentu arah sesekali menabrak seseorang yang menghalangi jalannya.

Tujuannya sekarang bukan kerumah, melainkan ke TPU yang berada di kota ini. Berjalan puluhan meter hingga akhirnya ia berdiri disamping sebuah gundukan tanah. Lututnya seketika lemas melihat itu, air matanya kembali jatuh membaca nama yang tertulis di batu nisan. Nama sang ayah yang ia cari selama ini BRAMESTA ARDIANTO tertulis sangat jelas.

Meraung dan meraung, mengungkapkan segala emosinya. “Ayah.. Aku kangen ayah”

“Ayah jahat. Aku bahkan belum memegang wajah ayah, memeluk ayah, digendong ayah, manja sama ayah.. Ayah jahat.. Hiks” gadis itu memukuli tanah yang ada didepannya. Semuanya kacau, semuanya berantakan termasuk batinnya juga.

“Aku sendirian ayah. Mama udah gak sayang sama Emi”

“Paro juga udah bohongin Emi, Ayah”

“Yah..” panggil gadis itu.

“Jawab dong, Yah. Jangan diem aja!”

Emitila memukul-mukul gundukan tanah itu, percuma saja ia mengadu yang tidak akan pernah meresponya. Hidupnya sungguh rumit.

⚜⚜⚜

The Bad Girl ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang