Bagian 6

1.4K 123 3
                                    

Pagi hari di halte

_Fathimah POV_

Dugh

"Astaghfirullahaladzim." buku yang ku pegang jatuh. Waktu menunggu damri yang biasa ku gunakan untuk membaca seakan diisi oleh hal lain yang kian menggangguku.Ya, aku masih memikirkan tawaran dari Kak Ahmad. Aku salut padanya, sangat menginspirasi. Tapi aku tidak mengenal adiknya. Apakah aku coba dulu? Kemantapan hati aku lebih condong untuk aku mau bertaaruf dengannya. Bukankah sudah ku putuskan untuk bersegera menikah? Supaya hati kian tenang.

Kak Ahmad adalah lelaki yang baik. Dia mualaf yang soleh. Aku yakin adiknya akan mengikuti jejak langkahnya. Aku yakin adiknya tidak sekedar berislam untuk merubah status saja. Ya aku yakin itu. Pandangan dari teman-teman pun mayoritas menyetujui aku untuk bertaaruf dengannya. Ya bismillahirrahmanirrahim. Satu keputusan besar aku ambil hari ini.

Aku menaiki damri yang biasa ku naiki, jurusan alun-alun ledeng. Tiba-tiba ada yang melambaikan tangannya padaku.

"Adik, silahkan duduk disini." Ternyata aku bertemu dengan lelaki mualaf yang pernah ku temui di damri saat itu.

"Benarkan kataku, kita pasti akan bertemu lagi." Katanya membiarkan kursi disampingku kosong. Dan dia berdiri di samping kursiku.

"Kakak memang setiap hari menaiki damri di jam segini?" tanyaku penasaran.

"Wah ada apa nih? Mulai penasaran sama kakak ya? Kangen sama kakak?" Ia jawab dengan pertanyaan yang menurutku usil.

"Oh tidak apa-apa jika kakak tidak mau menjawab." Balasku. Ku buka lembaran buku yang sedang ku pegang. Namun pandanganku kosong. Aku mencoba untuk merangkai kata untuk menghubungi Kak Ahmad terkait tawarannya kemarin.

Seketika aku teringat, bahwa lelaki disampingku ini juga seorang mualaf. Mungkin aku bisa mewawancarainya tentang alasan dia berislam. Ku pandangi ia, memgumpulkan nyali untuk bertanya. Tidak tidak pikirku sambil mengalihkan pandangan dengan cepat.

"Ada apa, adik? Tidak usah sungkan jika ingin bertanya." katanya karena menyadari aku yang tiba-tiba buang muka padanya.

"Aku bosan di Bandung. Makanya aku senang setiap pagi melihat orang keluar masuk bus kota. Sekedar iseng aja aku menaiki bus kota ini. Ketika sedang ingin jalan-jalan, aku naik bus ini." jelasnya panjang.

"Hmm begini kak. Aku penasaran, kenapa kakak mau masuk islam? Dan kenapa istri kakak mau menikah dengan kakak? Maaf kak kalau pertanyaanku lancang."tanyaku padanya.

"Wah, kenapa kamu bertanya itu? Apakah ada mualaf yang mau menikahimu?" katanya dengan ekspresi kaget.

"Hmm bisa jadi, Kak. Aku akan bertaaruf dengan seorang mualaf. Aku hanya butuh penguatan, Kak."jelasku dengan hati-hati.

"Wah sepertinya aku keduluan oleh mualaf itu untuk mendekatimu. Rahasia, adik." jawabnya dengan sumringah.

Menyesal aku bertanya padanya. Sangat tidak membantu. Akhirnya ku habiskan sisa perjalanan dengan membaca buku "Taaruf, Khitbah, Menikah" ya sengaja ku coba selami buku-buku seperti ini untuk memantapkan hati aku menerima atau tidak tawaran dari Kak Ahmad. Sampai akhirnya halte kampus yang menjadi tujuanku sudah terlihat, aku bersiap untuk turun. "Pak stop sini, pak." Kataku. Akhirnya aku turun dan lelaki mualaf tadi pun ikut turun bersamaku.

Ku jelajahi pinggiran kampus ini untuk sampai ke perpustakaan umum sambil menunggu jadwal bimbingan yang masih lama. Di perjalanan sambil melangkah menuju perpus, sesekali aku berbincang dengan beberapa teman yang tidak sengaja berpapasan. Aku baru menyadari bahwa dari tadi lelaki mualaf itu terus mengikutiku. "Kenapa kakak mengikuti aku?"

_Ahmad POV_

Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku lakukan hobiku untuk menaiki bus damri. Aku mengingat hari ini. Di hari selasa dan pada jam yang sama. Pasti aku bertemu dengannya. Di halte yang sama, ternyata aku temukan Fathi disana. Dengan kasus yang sama, yaitu ia tidak mendapatkan tempat duduk. Akhirnya ku tawari tempat dudukku. Kami sedikit berbincang, sampai pada akhirnya ia bertanya

"Hmm begini Kak. Aku penasaran, kenapa kakak mau masuk islam? Dan kenapa istri kakak mau menikah dengan kakak? Maaf kak kalau pertanyaanku lancang." fathi bertanya yang sedikit membuatku heran. Mengapa ia menanyakan hal ini.

"Wah, kenapa kamu bertanya itu? Apakah ada mualaf yang mau menikahimu?"ucapku. Aku melihatnya yang tiba-tiba salah tingkah tersipu malu. Ah menggemaskan.

"Hmm bisa jadi Kak. Aku akan bertaaruf dengan seorang mualaf, Kak. Aku hanya butuh penguatan, Kak." jelasnya yang seketika membuatku kaget dan bahagia.

Jadi dia tidak menolak adikku? Benarkah dia mau taaruf dengan adikku? Wah berita bahagia ini. Pasti mualaf itu adikku kan? Bukan yang lain? Oke, aku akan kosongkan jadwalku pagi ini dan berbincang lebih jauh dengannya secara langsung.

"Wah sepertinya aku keduluan oleh mualaf itu untuk mendekatimu. Rahasia, Adik." jawabku. Biarlah nanti ku jelaskan dengan baik ketika ia sampai di kampusnya.

Koko MualafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang