Bagian 18

975 79 0
                                    

Semenjak kejadian dua bulan lalu, ibuku sudah tidak pernah memaksaku untuk segera menikah. Ia tahu sulit untukku menolak lelaki mualaf itu. Namun pilihanku tetap kuat saat itu. Bismillahirrahmanirrahim. Terpampang nama : Hamas Asy-Syahid.

"MasyaaAllah, Hamas." Ucapku kaget.

"Orangnya biasa saja, Ra. Tidak terlalu tampan. Tapi menyejukkan, Ra." Ucap ibunya

"Wah dia satu kampus denganmu, anak LDK juga Ra. Harusnya kamu sudah sangat mengenalnya, Ra." ibunya melanjutkan membaca.

"Ra, dia alumni SMA yang sama denganmu, Ra. Apa pernah main ke rumah? Ibu kenal kali ya Ra?" ucap ibunya yang masih bicara sendiri saja, karena Fathimah masih shock mendapatkan CV ini.

"Penyabar, Ra orangnya. Tapi sepertinya kaku, Ra. Prestasinya mantap, Ra. MasyaaAllah Ra hafalannya, Raa. Hampir 30 Juz, Ra. Sedikit lagi ini. Ah ikhwan ini terlalu baik untukmu, Ra. Sudah buat ibu saja CV ini." Ibuku terus melanjutkan membaca dan menilainya sambil memberi kesan canda di akhir karena gemas melihatku hanya diam memamtung memperhatikan ibuku membaca CV.

"Ibu, ayah mau dikemanakan kalau ibu yang ambil CV itu." Ucapku akhirnya.

"Istikharah, Nak. Ikhwan ini sepertinya baik sekali. Kamu tidak akan menolaknya lagi kan?" Lagi? Oh iya mengingatkan aku bahwa aku pernah menolak lelaki yang bahkan tidak benar-benar aku tolak.

"Ibu, Rara tidak mau lagi terlalu berharap, Ibu." Aku langsung memeluk ibu dan menangis.

"Kamu kenapa menangis, Ra? Biarkan masa lalu kita jadikan pelajaran. Kita tatap masa depan, ya?"ucap ibu menenangkanku sambil membelai rambutku.

"InsyaaAllah aku mau taaruf dengannya, Ibu. Aku ingin ayah langsung yang menjadi perantaranya." Ucapku pada ibu.

"Bagaimana dengan Ustadzahmu?" Tanya ibuku yang tahu betul bagaimana proses yang biasanya terjadi.

"Kebetulan Ustadzah Maryam pekan depan akan ke Jepang selama dua bulan, Bu. Karena khawatir kurang nyaman kalau sama ustadzah baruku dan kebetulan Ayah juga ngaji jadi katanya gapapa langsung sama ayah saja." Jelasku panjang.

"Baiklah, berikan nomor ayahmu saja supaya ikhwannya langsung menghubungi ayah. Nanti biar ibu bicarakan dengan ayah. Oh iya titip salam ibu untuk Ustadzah Maryam ya. Ibu sudah lama tidak bertemu dengannya" Ucap ibu masih sambil membelai rambutku dan sesekali mengecup keningku.

"Terimakasih ibu. Rara sayang sama ibu." kemudian hening yang tercipta setelahnya.

<Assalamu'alaikum, Rara. Setelah ana beri tahu namamu ke ikhwannya ternyata ia bercerita bahwa Ustadznya juga sudah memberikan CV mu ke ikhwannya. Awalnya ia mau menolak tawaran ana karena dirasa mungkin pilihan ustadznya yang terbaik. Tapi ternyata nama yang kita ajukan sama. Ternyata pilihan ana sama dengan pilihan ustadzahmu ya, Ra. Sepertinya kalian memang berjodoh.>

<Wa'alaikumussalam. Benarkah, Haura? MasyaaAllah. Pantas saja Ustadzah Maryam cepat sekali menghubungi ana. Biasanya kan cukup lama prosesnya. Hehe. Oh iya bagaimana ikhwannya mau lanjutkan prosesnya ga?>

<Kamu tidak sopan sekali. Tanya saja sama ustadzah.>

<Kan ana kepo, Haura.>

<Kalau CV ikhwannya sudah sampe ke tanganmu berarti ikhwannya mau lanjut dong, Ra. Kamu gimana, Ra? Lanjut tidak?>

<Oh iya ana lupa dengan hal itu. Baru saja CV nya sampai ke tangan ana tadi, Ra. Istikharah dulu kan.>

<Masih perlu istikharah, Ra? Ayolah Ra, ana sudah tahu bagaimana perasaan kamu ke ikhwannya.>

<Tidak sopan sekali kamu, Haura. Hehe. InsyaaAllah. Bantu doakan yang terbaik yaa.>

MasyaaAllah, seperti ini kah skenario Allah yang mempertemukan dua nama melalui dua jalan? Apakah ini hadiah dari Allah atas rasa sakit yang ku hadapi akhir-akhir ini?

Koko MualafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang