Bagian 16

1K 93 3
                                    

"Fathi, benarkah tidak bisa lagi kamu pertimbangkan?" Tanyaku memohon. Dan ia hanya diam.

"Fathi, apakah kamu lupa bahwa adikku ini sudah lama ingin berislam? Bahkan jauh sebelum aku meminta kamu bertaaruf dengan adikku ini, Fathi." Ucap Kokoku bantu menguatkan dan merubah pandangan Fathi terhadapku. Dia benar-benar hanya diam menunduk. Aku lemas. Pasrah.

"Ekhem ekhem. Hmm Nak Ray. Sudah sunat?" Tanya ayahnya Fathi

"Sudah, Pak. Sejak kecil sudah sunat, Pak." jawabku aga sedikit risih ditanya hal sensitif seperti ini.

"Bagaimana solat lima waktunya?"tanyanya lagi.

"Alhamdulillah lancar, Pak." Ya. Ustad Firdaus tak pernah biarkan aku lalai dengan shalatku walaupun sekedar menunda shalat. Ustad Firdaus mewajibkanku untuk selalu solat di masjid berjmaah.

"Pekerjaan Nak Arslan ini apa?"

"Saya membuka kafe, usaha percetakan, butik, dan invest di beberapa perusahaan, Pak. Saya juga sudah mulai merintis sebuah usaha di Bandung, Pak. Supaya tidak berjauhan dengan Fathi nantinya." Ucapku. Dan aku bisa melihat ekspresi tidak enak dari ayahnya Fathi. Dan ekspresi Fathi yang kaget sedikit membulatkan matanya menatapku. Iya Fathi belum ku beri tahu bahwa hilangnya aku pun untuk mempersiapkan usahaku di Bandung.

"Orangtua Nak Arslan sudah setuju dengan anak saya?"

"Sudah, Pak. Mereka menyukai anak bapak. Permohonan maaf mereka tidak bisa ikut datang hari ini dikarenakan ada pekerjaan yang tidak dapat ditunda, Pak." Bahkan mereka memaksaku untuk menemui Fathi duluan sebelum keberangkatannya ke China, tapi tidak ku izinkan.

"Oh iya tidak apa-apa. Sampaikan salam hangat kami yaa. Nak Ar sudah bisa membaca alquran?"

"Saya masih belajar, Pak. Saya masih iqro." Aku yakin dengan bersama Fathi aku bisa membaca Alquran. Ia pandai mengajarkan Alquran, bukan? Ah aku menanti momen itu.

"Iqro berapa, Nak?

"Iqro 4, Pak."

"Sudah hafal surat-surat pendek?"

"Juz 30 saya baru hafal setengahnya, Pak. Saya menghafalkan melalui murothal." Bahkan Kak Ahmad memintaku untuk hafal juz 30 dan ar rahman. Aku pun menyanggupinya. Aku tahu bahwa Fathi menginginkan suaminya kelak memiliki hafalan alquran yang baik.

"Boleh tolong lantunkan hafalanmu, Nak?"

Aku pun melantunkan surat terakhir yang ku hafal, Al-Fajr. Aku sambil menangis melantunkannya. Aku percaya bahwa perjuanganku selama ini akan Allah balas dengan keindahan. Tapi mengapa gadis ini tiba-tiba menolakku. Padahal perbincangan mereka di taman seakan biasa saja. Allah aku pasrah, Ya Allah. Aku tawakalkan padamu.

"Maha benar Allah dengan segala firman-Nya." Tutupku sambil mengusap kedua ujung mataku. Aku pun melihat tetesan air mata dari Fathi. Walaupun ia menunduk tapi aku bisa melihat tetesan itu. Ah aku sudah membuatnya menangis lagi.

"Nak Ar menghafal dengan artinya?"

"Iya, Pak. Beberapa yang belum saya hafal arti bahasa arabnya."

"Kamu bisa berbahasa arab?"

"Sedikit, Pak. Supaya lebih mudah memahami Alquran dan hadits jadi saya pelajari bahasa arab."

"MasyaaAllah. Begini, Nak. Keputusan tetap ada pada Rara. Bapak percaya pada keputusannya. Dan yang akan menjalani pun kan bukan bapak tapi kalian berdua. Bapak ucapkan selamat karena kamu sudah merasakan manisnya Islam. Mohon jangan berlarut-larut kecewa dengan keputusan Rara. Nak Arslan laki-laki yang baik. Pasti sudah ada muslimah terbaik yang sudah Allah siapkan untuk Nak Arslan. Atau bisa jadi jika memang kalian berjodoh, ini bukanlah waktu yang tepat untuk menyambunung niat baik kalian. Jangan berhenti untuk terus mendalami islam, Nak Ar." Jelas ayahnya Fathi panjang. Ku kira dengan banyaknya pertanyaan ayahnya Fathi, ia mau membuka kesempatan untukku. Ternyata aku salah.

"Sudah tidak adakah kesempatan untukku, Pak?" tanyaku melemah

Terlihat ayahnya Fathi memandang Fathi yang sedari tadi membisu.

"Untuk saat ini sepertinya keputusan Rara sudah bulat, Nak. Oh iya Nak satu lagi pesan bapak. Jangan membuat wanita menunggu terlalu lama. Sekuat apapun wanita terlihat, ia adalah manusia yang rapuh. Beri ia rasa aman dengan senantiasa memberi kabar tentunya dengan cara yang Allah ridhai." Aku paham sekarang alasan lain mengapa Fathi menolaknya. Mungkin karena aku terlalu lama membuatnya menunggu.

Koko berusaha merangkul pundakku seakan berusaha memberiku kekuatan untuk aku tetap tegar.

"Baiklah, Pak. Terimakasih bapak sudah menerima kami dengan baik di rumah ini. Saya mohon maaf, Pak kalau saya sempat secara tidak sengaja menyakiti Fathi. Sejujurnya dia adalah wanita kedua setelah mami yang saya jadikan prioritas selama hidup saya, Pak. Karena saya tidak pernah berdekatan dengan wanita selain mami. Mohon maaf juga kalau saya secara tidak sengaja sempat membuat anak bapak menangis karena tidak adanya kabar dari saya. Sesungguhnya saya berusaha menjadi laki-laki istimewa ketika saya bertemu langsung dengannya. Jika memang pintu anak bapak sudah tertutup untuk saya, insyaaAllah saya akan mundur, Pak. Mungkin memang bukan anak bapak yang akan menjadi sayap kedua saya. Mudah-mudahan Allah pasangkan anak bapak dengan hamba terbaiknya. Menjadi sayap keduanya sehingga bisa membawanya ke surganya Allah." Kataku lemah sambil menahan tangis.

"Bapak, trimakasih sudah besarkan perempuan istimewa ini. Yang mampu menjaga diri dan kehormatannya selama ini. Senantiasa meletakkan Allah di atas segalanya. Bapak, Ibu, Fathi. Saya pamit. Jangan lupa undang saya di pernikahanmu. Saya pasti akan datang." Wajah itu masih menunduk dan tak mau lagi menatapku. Sebegitu kecewanya kah ia denganku?

"Kami pamit, Pak." Kata Ko Ahmad yang sama-sama terdengar getir kekecewaanya.

"Fathi, walaupun kamu tidak jadi adik iparku, kamu tetap menjadi adikku dan sahabat penaku kan?" kata Ko Ahmad berusaha bernada ramah.

"InsyaaAllah, Kak. Terimakasih. Dan maafkan aku tidak dapat memenuhi keinginan Kakak. Sampaikan salam ku untuk Kak Nisa dan orangtua Kak Ahmad." Akhirnya suara merdu itu terdengar. Namun suara itu untuk Ko Salim, bukan untukku. Dan apa Fathi bilang? Orangtua Ko Ahmad? Hey mereka juga orangtua ku.

"Ah tidak apa-apa, Fathiku. Nantikan aku di bus kota ya." Kata Ko Ahmad dan mampu membuat Fathi tertawa. Ah mengapa hatinya malah semakin teriris.

Kami pun pamit dari rumah Fathi. Iya, sayap kedua yang sudah ku persiapkan tempatnya kini menjauh dan menyisakan ruang kosong yang entah kapan terisi. Harapanku untuk bisa terbang lebih tinggi menata masa depan dengan Fathi dan anak-anak kami kelas pupus sudah di hari ini. Tepat di hari pertama kami bertemu.


Koko MualafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang