Bagian 34

966 79 0
                                    

"Banyak sekali sticky notes disini, Ra." Ucap Uminya Hamas.

"Betul, Umi. Mas Hamas betul-betul perhatian. Hampir setiap sudut ada sticky notes dari Mas Hamas. Isinya pengingat pengingat untuk Rara, Umi. Dia benar-benar masih terasa hidup." Ucap Fathimah dengan santai.

"Selama ini kamu hidup dengan bayang-bayang Hamas ternyata. Pintar sekali dia membuat namanya kian terpatri dalam hatimu. Sekarang sudah waktunya kamu mencari pendamping lagi, Ra. Ibumu pasti ingin segera menimang cucu." Ucap Abinya Hamas.

"Sulit Abi. Walaupun pernikahan kita belum sampai dua bulan. Tapi sosoknya benar-benar terpatri." Ucap Fathimah

"Rara anakku. Setiap manusia memiliki space nya sendiri di hati kita. Jangan sampai ia menutupi tempat-tempat kosong yang belum terisi. Memulai yang baru tidak berarti melupakan yang lama, sayang. Ia akan tetap hidup dalam hatimu walaupun nantinya akan ada pria lain yang akan berdampingan dengannya di hatimu." Ucap Uminya Hamas.

"Nanti Fathimah pertimbangkan, Abi Umi. Ayok kita berkemas." Ucap Fathimah sambil mencabuti sticky notes yang sudah cukup usang.

Sebelum mereka pulang ke Indonesia, mereka menyempatkan berkunjung ke kafe milik Arshlan.

"Hai. Assalamu'alaikum. Alhamdulillah bapak sekeluarga mau juga berkunjung ke kafe sederhana ini." Ucapnya

"Walaikumussalam. Mana menu istimewa untuk kami?" Tagih ayahnya Fathimah.

"Segera datang, Pak. Have a seat." Ucapnya sambil menarik kursi-kursi yang akan kami duduki.

Mereka pun berbincang di meja. Pandangan Abinya Hamas fokus melihat tingkah Arshlan di balik pekerjaannya. Abinya Hamas pun sesekali mendapati Arshlan tengah memandang Fathimah penuh cinta.

"Makanan datang, Pak, Bu, Fathi. Oh iya kenalkan, ini koko pertamaku. Ehm dia usianya 20 tahun di atasku. Sedang mencari istri kedua untuknya." Ucap Arshlan lalu dihadiahi cubitan dari kokonya.

"Ah Rara. Cocok denganmu, Ra. Rara juga sedang mencari suami." Ucap ayahnya Fathimah. Sekarang giliran ayahnya Fathimah yang diberi cubitan.

"Hallo. I'm Jung Oey. Saya tidak berani menikahi Fathimah yang masih dicintai adik saya hingga saat ini, Pak." Ucap kokonya.

Semuanya tiba-tiba terdiam.

"Ehm mengapa marga kalian berbeda? Bukan Jung Nam?" Tanya Fathimah berusaha menormalkan.

"Kami saudara kandung. Tapi secara pencatatan resmi kita beda orangtua. Ehm koko dijual ke teman Papi di shyanghai ketika ia kecil dan ekomomi keluarga sedang buruk saat itu." Ucap Arshlan.

Mereka pun menghabiskan makanan yang telah disajikan dengan selipan-selipan candaan. Siapapun yang melihat mereka sudah seperti keluarga besar yang sangat harmonis.

"Bagaimana jika kamu menikah saja dengan Rara, Nak Arshlan?" Ucap abinya Hamas.

"Bolehkah, Pak?" Ucap Arshlan bersemangat. Ia merutuki lidahnya yang keceplosan dan berhasil membuat Fathimah tersedak.

"Ah maaf. Maksud saya..." Arshlan mencoba meralatnya namun bingung.

"Sudah bapak bilang kamu jangan membujang, Cah gendeng." Ucap ayahnya Fathimah sambil memukulnya.

"Tentu boleh, Arshlan. Sepertinya benar kamu memang masih sangat mencintai menantuku ini. Jika Fathimah bersedia kita langsungkan saja akadnya sekarang." Ucap abinya hamas menggoda.

"Kau pilih, Ra. Mau dengan Nak Arshlan ini atau menunggu adiknya mas mu yang masih dalam kandungan ini dewasa?" Ucap Uminya Hamas.

"Abi, Umi. Ayolah habiskan makanan kalian. Kita bisa telat ke bandara." Ucap Fathimah melihat isi piring abi dan uminya Hamas masih penuh.

Arshlan mencoba mencuri pandang kepada Fathimah, ia masih sama seperti dulu, jutek. Arshlan sangat ingin melihat Fathimah bermanja kepadanya. Tak lama Fathima pun mencuri pandang kepada Arshlan dan mata mereka bertemu. Fathimah langsung membuang pandangannya ke sembarang arah.

"Kami semua pamit ya, Nak. Assalamu'alaikum" ucap ayahnya Fathimah.

"Jangan lupa segera bertamu ke rumah Pak Ahmad. Sebelum Rara diambil orang lagi." Ucap Abinya Hamas tepat di telinganya. Arshlan hanya membalasnya dengan senyuman.

"Mungkinkah ini waktunya untukku kembali perjuangkanmu? Apakah hadiah yang Hamas maksud adalah dirimu, Fathi?" Katanya sambil menatap kepergian mereka.

Koko MualafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang