Bagian 5

1.3K 112 3
                                    


_Ahmad POV_

Betapa beruntungnya Arslan. Allah mudahkan niat ia dalam berislam. Tidak seperti perjuangannya dulu. Dicacimaki oleh keluarga besar, dikejar-kejar orang suruhan papi, bahkan sampai mau dibunuh. Perpindahan Arslan begitu mudah. Tapi muslimah yang mau dengannya tidak kunjung aku dapati.

<Fathi, aku bahagia. Keluargaku setuju adikku masuk islam.> Aku membuka laptopku dan mencoba untuk menghubungi Fathi. Seorang wanita manis yang ku temui di bus kota dulu.

<Wah barakallah, Kak. Pasti bahagia sekali. Aku juga ikut bahagia mendengarnya.> katanya senang.

Aku sering menemaninya ketika menulis. Beberapa kali ia meminta pendapatku tentang tulisannya sebelum ia publish di fac**ooknya.

<Aku bingung, Fathi. Aku belum mendapatkan muslimah yang mau menikah dengannya. Ah andai kalian berdua bisa berjodoh pasti aku sangat bahagia.> send.

Tak sengaja ku kirim pesan itu ke Fathi. Tapi tidak apalah, barangkali ia mau. Tapi sepertinya dia tidak akan mau, mana mau dia dengan mualaf yang baru.

<Pasti ada akhwat istimewa yang mau menerimanya, Kak. Aku bukanlah akhwat yang istimewa itu.> jawabnya.

Aku coba meyakinkan dia bahwa adikku adalah lelaki yang baik. Tidak seperti aku yang bejat sebelum aku mengenal Nisa dan Islam. Adikku jauh lebih baik dariku. Ia tidak pernah merokok, tidak pernah juga pacaran. Adikku orangnya sangat penyabar. Ah andai saja dia tidak memiliki kekurangan itu, pasti banyak wanita yang ingin berpacaran dengannya.

_Fathimah POV_

<Aku bingung, Fathi, Aku belum mendapatkan muslimah yang mau menikah dengannya. Ah andai kalian berdua bisa berjodoh pasti aku sangat bahagia.> Pesan dari Kak Ahmad. Sekejap aku terpaku. Tanganku kelu. Apakah bisa aku menerima seorang mualaf? Ah rasanya belum terpikirkan.

<Pasti ada akhwat istimewa yang mau menerimanya, kak. Aku bukanlah akhwat yang istimewa itu.> Jawabku. Setidaknya aku punya waktu untuk mempertimbangkannya terlebih dahulu.

Aku coba meminta pendapat beberapa teman-teman terdekatku. Dari jawaban-jawaban itu mayoritas adalah memberi dukungan untuk aku menerimanya.

"Tapi kan dia ga ngaji bareng kita. Bahkan bukan sekedar ga ngaji bareng, tapi dia mualaf." Protesku kepada salah satu teman yang mendukungku.

"Mualaf itu manusia pilihan Allah yang Allah pilih untuk diberikan nikmat berupa hidayah, Ra. Mualaf itu ga ada dosa. Asal ia terjaga untuk tidak kembali ke agamanya. Kita sudah berlumuran dosa, Ra. Sedangkan ia? Putih bersih tanpa noda. Dan aku percaya, kamu bisa menjaga dia. Bersama kamu, dia bisa menjadi muslim yang sholeh." Perkataan temanku seakan menenangkan aku.

Siapkah aku menerima seorang mualaf?


_______________________________________

Kalau temen-temen menemukan tanda

<asdf lkjh> : ini ketikan yaa, bisa via chat, ataupun sms.

^^asdf lkjh^^ : ini telepon atau video call.

Koko MualafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang