Bagian 9

1.2K 111 4
                                    

_Author POV_

Akhir pekan di hari ke 5 keislamannya, Arslan sempatkan untuk pulang ke rumah menemui keluarganya. Ia berjanji pada dirinya walaupun ia sudah berislam namun rasa sayang dan kasihnya tidak akan berubah bagi orangtuanya.

"Mami, Papi, anakmu pulang" Panggil Arslan dan disambut dengan hangat oleh seluruh orang rumah.

"Ar, ni terlihat bahagia, sekali nak. Mami senang melihatnya. Wajah ni lebih bercahaya, Nak." Arslan merasa kehidupannya lima hari ke belakang adalah waktu terbaiknya. Seakan ia bisa sedikit demi sedikit melepas kepenatan dan sudah lama ia pendam.

"Makanya masuk islam, Mam" Ucap Arslan dengan senyum jahilnya dan disusul dengan cubitan maminya.

"Papi punya kabar yang bisa membuat kebahagiaanmu lengkap, Ar." ucap Papinya sambil tersenyum penuh arti kepada Arslan.

"Apa itu, Pap? Papi ga akan bilang kalau wo mau punya adik lagi kan?" Tiba-tiba gelak tawa menghiasi halaman depan rumah itu di pagi hari. Memang beginilah Arslan. Sosok yang pemalu namun humornya justru muncul dari sifatnya yang lugu.

"Rasanya Papi sudah tidak sabar. Buka dan aktifkanlah HP ni itu. Buka pesan dari kokomu." Akhirnya ia paham apa maksud Papi. Faktanya bahwa Arslan sampai hampir melupakan bahwa kokonya akan mengenalkan ia dengan seorang muslimah.

"Trimakasih Papi. Saya ke kamar dulu." Balas Arslan menggunakan bahasa Indonesia yang kemudian membuat kedua orangtuanya kaget. Pasalnya ini pertama kalinya setelah sekian lama ia tak mendengar anaknya berbahasa Indonesia.

Sesampainya di kamar. Ia langsung menyalakan gawainya. Ia buka perlahan personal chat dari Kokonya. Ia mengirimkan sebuah file bertuliskan 'CV untuk Imamku' dan beberapa foto yang Ahmad kirimkan padanya. Kokonya mengatakan bagaimana kepribadian gadis ini.

<Dia perempuan yang jutek, Ar. Sekaligus ia juga perempian yang menyenangkan dan sangat ramah. Wo menyapanya sebagai dua orang yang berbeda. Sehingga wo bisa menemukan kedua sisinya. Wo yakin, Ar. Dia akan menjadi perempuan yang sangat ramah kepada orang-orang yang patut ia kasihi.> Arslan membaca pesan dari Ahmad dengan seksama. Pikirannya mengingat cerita Ahmad beberapa saat lalu ketika menceritakan keputusasaannya karena tidak direspon oleh gadis bus kota.

<Ia pandai menjaga diri, Ar. Ia sama seperti ni. Pemalu. Namun ia menggemaskan. Ia juga tidak pernah pacaran, Ar. Walaupun ia sempat bercerita bahwa ia pernah menyukai seorang lelaki dalam diam.> Ada desir di hatinya. Sedikit ada rasa kecewa karena ternyata pernah ada lelaki lain yang singgah di hati gadis itu.

<Fisiknya biasa saja, Ar. Dia tak terlalu tinggi dan berisi. Kamu jangan berharap akan wo kenalkan dengan model muslimah. Parasnya pun biasa saja, Ar. Tapi meneduhkan.> Arslan tertawa membacanya. Arslan memang membayangkan menikahi seorang wanita yang cantik bak bidadari. Namun ia tidak menjadikan hal itu menjadi syarat utamanya. Terkadang ia risih melihat tatapan para wanita cantik yang ingin mendekati dirinya. Membuatnya harus mengurung diri di dalam rumah saja karena kelainannya itu.

<Ia muslimah terbaik yang wo dapatkan untuk dampingimu, Ar. Jangan meminta kokomu mencarikan muslimah lagi untukmu. Karena muslimah satu ini harus kau perjuangkan. Ia memiliki bacaan Alquran yang baik, Ar. Dan ia tidak akan tergoyahkan dengan keislaman ni yang baru. Istimewakan dirimu untuk bertemu muslimah istimewa ini.> Ray tak sabar ingin melihat sosok wanita itu.

"Bismillahirrahmaanirrahiim" Ucapnya perlahan ketika ia melihat beberapa foto yang dikirimkan kokonya.

"Ni piaoliang. I like her smile. Bahkan dengan wajahnya yang datar saja saya bisa melihat senyumnya. Tergambar karakter manja, penyayang, dan sabar dari ketiga foto ini." Ucapnya ketika melihat foto gadis tersebut.

Arslan tidak menyadari bahwa sedari tadi ada dua pasang mata yang memperhatikannya dari balik pintu dengan tegang karena khawatir ia tiba-tiba menegang namun hanyalah senyum yang terlukis di wajah tampan Arshlan.

"Koko bohong. Siapa bilang parasnya biasa saja. Ni piaoliang, Koko" Ucap Arslan monolog.

Satu lagi tugasnya, yaitu membuka file yang Salim kirimkan. Ia heran untuk apa mengirimkan CV seperti ini. Seperti mau melamat pekerjaan saja. Dia berpikir mungkin hal ini diwajibkan bagi muslim. Senyumnya tak pernah lepas dari bibirnya. Jantungnya entah sejak kapan berdebar tak menentu. Ia mengetikkan beberapa kata membalas pesan kokonya.

<Aku menyukai segala tentangnya, Koko. Dia manis. I like her smile. Please bring me to her, soon.>

"Mami, Papi. Please follow me. I want you take my picture here Mam. I will send it to Fathi. Her name is Fathi, Mam."

Kedua orangtua itu merasa bahagia melihat anaknya bahagia. Ini pertama kalinya mereka melihat respon positif dari anaknya ketika akan dikenalkan dengan seorang gadis. Teringat beberapa waktu lalu, ketika Ahmad mengirimkan beberapa foto gadis, Arslan terlalu memaksakan untuk melihatnya padahal keringat dingin sudah bercucuran. Hal ini membuat anaknya harus terbaring mengigil semalaman. Tapi kali ini respon berbeda yang ditunjukkan Arslan. Tidak ada keringat yang bercucuran, bahkan ia terlihat lebih bahagia dan bersemangat.

"Aku rindu melihat Ar seakan menemukan semangat untuk kembali menata hidupnya lebih bahagia, Pap. Andai mami waktu itu bisa memgontrol amarah mami mungkin Ar tidak akan tersiksa selama hidupnya seperti kemarin." Ucap Maminya Arslan sambil bersandar kepada dada suaminya ketika Arslan sedang asik memilah-milah foto untuk ia kirimkan.

Koko MualafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang