Bagian 25

931 70 0
                                    

Seminggu kemudian Fathimah menyusul suaminya pergi ke Beijing. Ah rindu sekali. Hamas menjemput Fathimah di Bandara Beijing.

"Mas Hamas." Fathimah langsung berlari memeluknya.

"Assalamu'alaikum, De. Mas sangat rindu." Ucapnya.

"Wa'alaikumussalam, aku juga sangat rindu, Mas. Ayo bawaku ke istanamu, Mas." Ucapnya.

"Baiklah, permaisuriku."

Mereka melewati jalanan Beijing yang sepi dibanding ibu kota Jakarta. Hamas sengaja memesan flat yang bisa menampung dua orang suami istri, karena memang ia akan tinggal berdua dengan istrinya.

Baru saja seminggu Fathimah dan Hamas tinggal satu atap, Hamas harus meninggalkan istrinya sendirian di negeri orang.

"De. Mas sore ini harus ke Taiwan bersama dosen mas untuk bantu penelitiannya. Kamu tidak apa-apa kan sendiri disini?" Tanya nya ragu.

"Berapa lama?" Tanya nya sambil ada nada kekecewaan disana.

"Hanya empat hari, De." Jawabnya dengan senyumnya.

"Lama sekali, Mas." Responnya kesal.

"Maafkan Mas mu, De. Tunggu mas di rumah ya." Ucapnya.

"Baru saja sebentar aku di sini, Mas sudah mau meninggalkan aku saja. Hiks..hiks.." ucapnya kesal sambil menangis.

"De, mas akan sangat merindukanmu. Semakin hari semakin rindu. Satu jam berpisah denganmu saja buat mas mu rindu. Tapi ingat De banyak kewajiban-kewajiban yang harus kita tunaikan di luar. Membuat kita tidak bisa 24 jam bersama. Pernikahan kita dibangun di atas nama dakwah, De. Mas butuh doa-doa ade ketika mas melangkahkan kaki mas keluar rumah. Ya?" Fathimah pun hanya menunduk malu dengan segala tuntutan yang diberikan pada suaminya.

"Kebahagian mas adalah dengan ade yang tak pernah lelah doakan mas. Walaupun kita sangat berjauhan. Kebahagiaan mas adalah ketika raga ade banyak diinfakkan untuk dakwah ini seperti masa-masa LDK dulu. Ah bahagianya mas kalau nanti Allah memanggil mas, mas punya ade yang akan tetap doakan mas. Mas akan rindu saat-saat kita al-ma'tsurot dan muroja'ah bersama. Tolong tetap lakukan itu walaupun tanpa mas. Janji?" Ucapnya penuh makna.

"Iya mas. Maafkan Rara. Rara janji akan tetap lakukan kebiasaan kebiasaan yang mas ajarkan ke Rara." Sambil menahan tangis menatap sedih suaminya.

"Sssttt.. Jangan menangis. Ingat kecintaanmu pada Allah jauh lebih besarkan ketimbang kecintaanmu terhadap mas, kan?" Tanya nya serius sambil memegang kedua pipi Fathimah yang sudah basah.

"Kepergian mas ini takdir Allah bukan?" Tanya nya

"Iya, Mas."

"Jadi harus gimana?" Tanya nya

"Rara harus ikhlas, Mas."

"Istri yang pintar." Ucapnya sambil memeluk istrinya.

"Banyak-banyak makan sayur. Jangan minum air dingin apalagi makanin es batu. Jangan menangis karena manusia, tapi menangislah ketika keimanan tidak ada dalam hati kita. Mas pergi dulu." Hamas mencium kening istrinya.

"Mas sangat mencintaimu. Mengenalmu dan menikahimu adalah hal yang sangat membahagiakan bagi Mas. Maafkan mas belum bisa menjadi imam yang baik. Belum pernah mengimami solat tahajudmu. Uhibbuki fiilah, zaujati." ucapnya lemah namun penuh cinta.

Fathimah merasa berat melepas kepergian Hamas kali ini. Seakan tidak rela suaminya menemani dosen itu pergi ke Taiwan. Tapi Fathimah harus sadar, bahwa suaminya melakukan kebaikan di luar sana. Dan sebagai seorang istri, tidak baik jika ia menahannya. Ia harus mendoakannya.

Koko MualafTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang