Bab. 3 | 🌷 Perpisahan ⚘

1.2K 190 742
                                    

Aldy

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aldy

Aku duduk menyendiri di teras rumahku malam ini. Menatap langit yang tengah gelap dengan cahaya bulan dan beberapa bintang bertaburan di langit. Sebuah rumah kecil yang sederhana, istanaku bersama Ibu, yang berhasil dibangun ibuku dari hasil jerih payahnya selama ini.

Meskipun tidak besar dan jauh dari kata mewah, tapi rumah ini adalah tempatku berlindung bersama dengan Ibu selama 17 tahun lamanya. Aku bahagia dan tidak pernah menyesal atas apa yang selalu Ibu berikan padaku.

Ibu, aku menyayangimu.

Kenangan masa lalu pun kembali terlintas di benakku. Waktu itu aku masih kecil, masih berusia 8 tahun. Aku sedang bermain ayunan bersama dengan Ibu di sebuah taman kecil di dekat rumah kami. Aku duduk di ayunan dan Ibu yang mengayunkannya perlahan dengan penuh kasih sayang.

Aku tertawa bahagia saat Ibu memelukku dan mengatakan, "Ibu sayang kamu, Aldy."

Dan aku pun tentu membalasnya dengan mengatakan hal yang sama.

Selama hidupku, aku tidak pernah mengenal siapa ayahku, seperti apa dia, apa dia mirip denganku, apa dia baik, apa dia tampan, atau apakah dia menyayangiku dan ibuku. Setiap kali aku bertanya kepada Ibu, Ibu selalu menjawab dengan jawaban yang sama.

"Ayah Aldy sedang bertugas di luar kota. Jauh. Nanti kalau sudah selesai dengan tugasnya, dia pasti akan datang menemui kita," kata Ibu.

"Tapi kapan, Bu?"

Aku pun dengan polosnya bertanya demikian. "Al juga ingin pergi ke sekolah diantar sama Ayah, seperti teman-teman Al yang lain. Al juga ingin main bersama Ayah dan pergi jalan-jalan sama Ayah dan Ibu."

Ibu hanya tersenyum tipis dan mengusap-usap kepalaku dengan lembut. "Aldy, kamu harus sabar ya, Nak. Ibu tahu kamu sangat ingin bertemu dengan ayahmu, Ibu juga. Tapi kita tidak boleh serakah, Nak."

Aku jelas kurang paham dengan maksud Ibu. "Serakah? Apa itu, Bu?" Lagi-lagi aku bertanya dengan polosnya.

"Begini," Ibu menggendongku dan mendudukkanku di pangkuannya, ayunan diambil alih oleh Ibu. "Selama hidup kita, kita pasti selalu memiliki banyak keinginan. Dari banyaknya keinginan kita itu, tidak harus semuanya bisa kita dapatkan. Kita tidak mungkin akan memiliki semua yang kita inginkan tanpa pernah merasakan kehilangan."

Aku hanya berperan sebagai pendengar yang baik, mendengarkan apa yang diucapkan Ibu.

"Jika mungkin suatu saat nanti kamu mendapatkan apa yang benar-benar kamu inginkan, bukan tidak mungkin sebagai gantinya kamu akan kehilangan sesuatu yang bisa jadi lebih berharga dari apa yang kamu inginkan. Karena kita tidak boleh hanya siap menerima tanpa siap untuk kehilangan."

"Al nggak mengerti, Bu."

Ibu hanya tersenyum saja dan memelukku dan mencium puncak kepalaku. "Ibu tahu kamu masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang Ibu katakan. Tapi Ibu harap, kamu tidak akan pernah melupakan apa yang Ibu katakan hari ini. Setelah kamu dewasa nanti, Ibu yakin kamu pasti akan mengerti semuanya. Kamu anak yang pintar." Ibu mengacak-acak rambutku.

My Perfect BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang