4. Gengsi

4.2K 271 3
                                    

Sebagai satu satunya laki laki dalam keluarganya, kin harusnya bisa menjadi sosok kokoh yang bisa diandalkan oleh sang ibunda juga kedua kakak perempuannya. Tapi semua seolah terhalang oleh penyakit yang selama bertahun tahun menemaninya tumbuh dan juga menantinya disepanjang malam.

Tanpa diketahui oleh bunda juga kedua kakak cantiknya, kin selalu terbangun pada tengah malam. Selalu meraba nakas disebelah tempat tidurnya dan merogoh sebutir atau dua butir pil dalam tabung kecil yang tak pernah absen dia bawa dan dia cari kala kesakitan.

Semasa bodoh dengan penyakitnya, Kin selalu menyepelekan tiap kesakitannya. Selalu bersikap baik baik saja ketika fajar telah menyingsing dari ufuk barat. Bukan tanpa alasan. Kin hanya tak ingin kembali ketempat yang menurutnya bak sel tahanan. Sikap over seluruh anggota keluarganya membuat Kin wanti wanti untuk tidak ketahuan semuanya.

Toh, hanya sakit kepala. Minum obat, tidur dan semuanya akan baik baik saja. Sesingkat itu Kin memikir penyakitnya. Padahal semenjak keluar dari rumah sakit, Kin selalu mendapat serangan serangan kecil sebab penyakitnya itu.

Tapi memang dasar keras kepala, Kin selalu sukses menipu semuanya. Selalu menghindar dan tak memperdulikan sang bunda atau kedua kakaknya kala menanyakan kondisinya. Bagaimanapun rona pucat pada wajahnya tak bisa Kin sembunyikan.

Belum sampai disitu, dasar memang Kin. Kala sakitnya datang dia akan bergegas mencari pil ajaibnya tapi jika sedang baik baik saja atau sakitnya hanya sedikit, Kin akan melupakan pil ajaibnya itu. Asyik dengan kesenangannya.

Seperti halnya hari ini. Kin diseret paksa ana masuk kedalam rumah yang kin sebut rumah para bidadari milik Kin. Gurat kemarahan tercetak jelas diwajah kusam Ana. Urat di dahi dan rahang yang mengeras benar benar menunjukkan kemarahan Ana pada Kin.

Bagaimana tidak, bukannya pulang Kin malah asyik jalan berdua bersama kawan perempuan sekelasnya. Acuh akan kehadiran Ana yang terus meneriakinya dari belakang. Tetap asyik dengan perempuan itu. Dan seolah tak mengenali kakaknya itu. Jelas saja Ana marah, selama ini kin tak pernah berlaku seperti itu padanya. Kin tetaplah Kin yang manja dan Ana tidak suka dengan sikap baru adiknya yang menurutnya sangat tidak sopan. Terlebih lagi saat diperjalanan pulang tadi Kin malah mendiaminya, memeluk kedua lengannya dan membuang pandangnya keluar jendela pintu mobil. Seolah menulikan telinganya.

Dan sekarang lah waktu penghakiman untuk Ana pada sang adik. Ada bunda dan pasti bunda akan sama dengan Ana. Pikir Ana begitu. Kebenarannya? Kita lihat saja nanti jika bunda sampai mendengarnya memarahi anak emas dikeluarga ini.

"Giliran begini kamu nyepelein barang ini?" sentak Ana sambil melempar botol kecil berisikan obat obatan Kin kearah pemuda yang masih menampakan wajah tak kalah kesalnya dengan Ana.

"Kak aku ini udah gede. Udah lah Kak Ana gak usah ikut campur ataupun ngurusin hidup Kin lagi" bukannya merasa takut, Kin justru berani membentak Ana balik.

Mata Ana membulat. Rahangnya semakin kuat menahan amarahnya. "Berani kamu bentak Kakak?"

"Kakak juga berani bentak aku, jadi aku juga berani bentak Kak Ana!"

"Pasti gara-gara gadis tadi kamu jadi belajar ngebangkang kayak gini!"

"Jangan bawa bawa dia Kak, dia cuma sahabat aku. Dan ini semua gak ada hubungannya sama dia"

"Kamu bilang gak ada? Kamu lupa? Betapa acuhnya kamu waktu kakak panggil kamu? Didepan teman kamu gak pernah secuek itu dan selalu merespon sapaan Kakak tiap ketemu diluar. Tapi hari ini? Bersama gadis tadi kamu bukan jadi Kin yang Kakak kenal, apa maksud kamu? Ha?"

"Ada apa ini Ana?" teriak pelan sang bunda yang baru saja datang dari arah belakang rumah itu. Tadinya bunda sedang menikmati senja ditaman belakang rumah dan tiba tiba pendengarannya mendengar kegaduhan dari ruang tamu.

Keduanya diam. Masih dengan amarah nya masing masing. Bunda berjalan mendekati Kin yang tengah terduduk di sofa dengan melipat kedua lengannya. Air muka anak itu nampak jelas sedang emosi.

"Ini kalian kenapa? Kok ribut ribut?" Bunda mengusap punggung Kin yang duduk membelakangi Bunda juga Ana.

"Adek berubah Bun, dia mau ngebangkang sekarang gara-gara gengsi sama perempuan yang dia suka"

"Apa?" kaget Bunda. Kin menoleh dan menatap wajah bundanya itu.

"Bukan salah dia Bunda. Ini semua gak ada hubungannya sama Rara, cuma Kak Ana aja yang cemburu liat aku jalan bareng cewe" terang memelas Kin pada sang bunda. Mencoba mencari perlindungan dan pembelaan atas dirinya.

"Siapa yang dipanggil gak nyaut? Siapa yang seolah gak kenal waktu papasan dijalan? Siapa yang sok gak butuh obat mentang mentang gak kambuh?"

"Tunggu! Kin gak minum obat tadi makan siang?" tanya bunda pada Kin.

Dengan kepala merunduk, Kin menganggukkan kepalanya. Rasa bersalah mencuat dalam hatinya. Sudah riwayat Bunda bakalan nyeramahin satu abad lagi.

"Kenapa Adek nakal banget sih sekarang?" sambung Bunda.

"Bukan gitu Bunda" sanggah Kin sambil mengangkat kepalanya menatap mata bunda.

"Terus apa maksudnya? Coba jelasin"

"Emmmm....itu...tadi...itu....anu Nun"

"Ngomong yang bener dek"

"Tadi rara udah makan, jadi kin gak enak mau makan sendiri trus malu minum obat didepan rara. Nanti rara pikir kin lemah banget"

"Rara itu siapa?"

"Temen sekelas"

"Adek suka sama rara?"

Yang ditanya hanya mampu mengangguk lemah. Kin masih merasa malu mengungkapkan perasaannya pada rara didepan bundanya. Tapi berbohong pun yang ada malah sang bunda ikutan memarahinya seperti sang kakak.

"Dengerin kakak ya, kalo rara beneran suka juga sama adek. Dia bakalan nrima adek apa adanya. Kalo adek sakit pun rara bakalan terus sama adek. Coba adek lihat kak mely, kakak, bunda, kita juga sama kayak rara. Kita perempuan dan pasti punya perasaan yang sama" ujar lembut ana kemudian, tak lagi membentak.

"Iya kak maafin adek" jawab kin makin menunduk.

"Yaudah sekarang adek makan trus minum obat. Udah sore juga. Buruan mandi trus istirahat" titah bunda.

"Dan inget pesen kak ana ya, kalo dipanggil kakaknya tu nyaut jangan gengsian gitu deh. Kakak gak suka. Lagian bunda juga gak ngajarin sombong gitu kan?" ujar ana.

"Iya kak. Maafin adek ya kak ana"

Chuuuuu

Ana menghadiahi puncak kepala kin sebuah kecupan manis. Sedangkan kin yang terbiasa dengan hal itu hanya diam dalam tundukannya.

"Iya udah kakak maafin. Yaudah yuk kekamar dulu, mandi abis itu kakak sama bunda tunggu dibawah ya?"

Kin mengangguk. Membawa langkahnya menaiki beberapa anak tangga yang mengarahkannya ke kamar.

"Kamu kenapa sampek segitunya sih kak?" tanya bunda pada ana.

"Haaa? Maksud bunda?"

"Kamu kenapa sampek bentak bentak adek kamu cuma gara gara dia gak noleh waktu kamu panggil dia?"

"Aku gak suka aja liat kin yang beda. Kita sayang dan didik dia jadi kin yang penurut dan ramah bukan kin yang menjelma jadi brandalan bunda. Kalo sekali dibiarin lama lama kin bakalan berubah jadi kin yang ngebangkang dan ana gak mau itu semua terjadi"

"Yasudah lah sana kamu juga kekamar, mandi. Bunda mau siapin makan"

Ana hanya mengangguk dan melangkahkan kakinya kekamarnya. Sama seperti kin.

Tbc

Up kali ini spesial karna hari ini sistem nya kebut. Semoga suka 💤💤

Last Persent (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang