"Sebaiknya segera lakukan tindakan operasi Bu, saya khawatir, jika didiamkan saja tanpa menjalani pengobatan sesuai prosedur nyawa anak Ibu justru terancam" jelas seorang dokter dengan jilbab nude.
Bunda Lala sejenak berfikir, bagaimana cara membujuk putra nakalnya? Sedangkan sedari tadi Kin belum juga sadarkan diri. Padahal hari sudah berganti dan jam sudah berputar lebih dari setengah putarannya.
"Baik Bu, saya permisi" pamit Bunda pada akhirnya. Dia butuh menenangkan fikiran sejenak. Lama-lama berhadapan dengan dokter cantik tadi membuatnya semakin takut akan kondisi Kin. Lebih baik Bunda kembali keruangan Kin dan menunggu putranya siuman.
Setibanya dikamar rawat Kin, Bunda langsung disambut dengan binar mata Kin yang terbuka. "Sayang..." Bunda menghambur mendekati sang putra. Mengecup singkat puncak kepala Kin. Senyum mengembang bisa menatap netra jernih Kin kembali.
Tapi, tidak ada respon dari sang empunya. Kin hanya terdiam. Tatapannya kosong mengarah kearah langit-langit kamar rawatnya. Bunda menepuk pipi Kin lembut berkali-kali. Mencari titik respon yang bisa ia dapati dari sang putra.
"Kin..."
Tetap, Kin hanya terdiam. Tak bergerak ataupun berkedipn. Sampai akhirnya bunda beralih menggoyangkan tubuh Kin dengan gerakan gelisah.
"Nak, sayang..." panik Bunda.
Tubuh Kin tak merespon, Kin hanya membeku dengan mata terbuka. Deru napas yang awalnya memelan, secara tiba-tiba bergerak naik turun tak teratur. Bibir mungil Kin sedikit terbuka, mengais oksigen yang menjaga jarak dengan nya. Tubuh itu menegang saat itu juga. Dengan satu tangan tertekuk diatas dada dan satunya lagi menggenggam erat sprei brangkar, Kin kejang.
"Kin, kamu kenapa sayang?"
Tubuh kecil itu bergetar hebat diatas brangkar. Sampai-sampai brangkar tempatnya terbaring menciptakan suara berisik berdecit. Bunda kebingungan. Diraihnya tangan Kin yang tertekuk kuat dan mengusapnya lembut. Tangan Kin bahkan sampai sulit diubah posisi. Mengepal kuat sampai buku-buku tangannya memutih. Erangan tidak jelas pun lolos dari bibir putih hampir membiru itu.
"Nak..."suara Bunda terisak.
Dengan tangan bergetar, Bunda menekan tombol darurat yang ada diatas kepala brangkar. Menekannya berkali-kali dan terus berharap bantuan segera datang. Tapi beberapa saat kemudian tangan Kin tersentak cukup keras. Membuat tubuh Bunda terpental cukup keras juga. Bunda sampai tersungkur jatuh kebelakang.
Kin semakin mengejang tak karuan diatas brangkar. Entah kemana semua para tim medis sampai lama datang saat situasi seperti ini.
"Errgrgrrhghh..." Berkali-kali suara itu memilukan telinga Bunda.
Bunda kembali bangkit dan mendekati Kin. Masih melakukan hal yang sama, mengusap tangan Kin yang terkepal. Kin tidak sepenuhnya sadar. Matanya memang menampakkan netra minimalisnya tapi bukan berarti sadar.
Suara pintu terbuka akhirnya melegakan bagi Bunda. Mereka langsung berhambur saat mendapati tubuh Kin tengah bergetar hebat diatas brangkar. Bunda segera menjauh, memberikan ruang bagi para tim medis menangani putranya. Dengan menggigit tangannya sendiri, Bunda menangis dipojok ruangan. Suara mesin EKG yang nyaring begitu memekakan telinganya. Terlebih lagi pemandangan dihadapannya, sungguh tidak tega melihat Kin begitu kesakitan.
Kini yang datang adalah Dokter Pram. Dokter muda itu menghunuskan beberapa jarum suntik ke lengan tangan putranya. Bukan hanya itu, kantung infus pun tidak luput dari tajamnya jarum suntik miliknya. Mengalir perlahan sampai merubah warna dari infus itu sendiri.
Perlahan juga tubuh Kin pun melemas selaras dengan kesadarannya yang mulai menipis. Mata yang semula terbuka itu perlahan menutup kembali. Membawa nya kembali kedalam alam mimpi. Bertemu teman yang setia menemaninya di dunia yang berbeda. Semoga tidak betah disana. Karna Bunda begitu merindunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Persent (Tamat)
Teen FictionRumit. "Sungguh aku ingin mati saja" Kisah sebelum aku hidup untuk kedua kalinya. ®Sugarcofeee