Merenung. Ah... lebih tepatnya melamun. Kegiatan itu sekarang menjadi rutinitas yang pemuda itu lakukan saat Bunda nya pergi barang sebentar. Semenjak hari itu, Lala memang sudah tidak bekerja lagi. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk fokus merawat putranya. Selalu ada disisi putranya tanpa terkecuali.
Setelah bersumpah janji didepan penghulu dan beberapa rekan keluarganya, pada akhirnya Lala menikah dengan Haris adik kembar dari Hendra, suaminya. Ini semua demi Kin, putranya.
"Baiklah. Aku bersedia, aku tahu sebesar apa sayangnya Bang Hendra sama Kin. Dan sekarang aku siap melanjutkannya"
Haris, dia duda. Sama seperti Lala, Haris juga ditinggal sang istri meninggal. Tragisnya Haris ditinggal akibat kecelakaan mobil yang ia alami beberapa bulan yang lalu. Memang tidak jauh berbeda seperti kisah Lala yang tidak lain adalah kakak iparnya. Itu dulu, kini perempuan cantik itu sudah resmi menjadi istrinya.
Pandangannya terpaku pada sesuatu yang ada diluar jendela sana. Entah apa itu, yang jelas mampu membuat Kin terpaku tanpa berniat menoleh. Tubuhnya yang masih belum bisa bergerak leluasa membuat dirinya hanya bisa berbaring tanpa bisa berulah seperti kebiasaannya.
Brangkar yang sedikit dinaikkan membuat posisinya menjadi terduduk. Perlahan tapi pasti satu persatu anggota tubuhnya memang bisa ia gerakkan. Tentu saja melalui proses terapi. Tangan-tangan kecilnya sekarang mulai bisa bergerak meskipun masih lemah.
"Hei... Selamat pagi, Sayang" sapa seseorang yang baru saja masuk kedalam ruangannya.
Pemuda itu tak langsung menoleh, karna memang responnya masih sangat lambat. Pria paruh baya itu melangkah kan kakinya mendekat kesisi brangkar. Hari ini alhamdulilahnya tidak ada tugas kantor yang membelitnya. Jadi Haris bisa seharian penuh bersama putranya. Menemaninya terapi sampai terlelap tidur nanti.
Setelah sempurna duduk disisi brangkar, barulah Kin mengalihkan atensinya. Menatap sang ayah dengan senyum berbinar. Haris menyukainya. Sungguh keponakan yang kini menjadi putranya ini sangatlah manis. Mengingatkannya kepada Hendra, kembarannya.
"A--yah" katanya. Kin memang belum bisa berbicara lancar. Lidahnya masih terasa kelu, otaknya masih merespon lambat semua pergerakannya.
"Ayah bawain buah kesukaan kamu" Haris mengeluarkan sebongkah alpukat yang berwarna hijau cerah.
"Kata Bunda kamu suka alpukat?" Haris meraih pisau yang ada disana, perlahan tangannya bergerak lihai membelah jadi dua alpukat itu. "Anak pintar. Buah kesukaanmu bagus sekali. Kin mau?"
Kin mengangguk. Tapi sebenarnya tidak mentah juga. Kin suka di blender alias jus. Jus alpukat bukan alpukat buah utuh. Rasanya pasti hambar. Tapi syukurlah, Haris meraih susu kaleng diatas nakasnya dan membaluri alpukat segar itu dengan susu.
"Aaaaa" Haris mengarah sendok berisi alpukat + susu itu didepan mulut putranya. Tentu saja, Kin menerimanya. Mengunyahnya pelan dengan senyum tak pernah luntur.
"A-yah"
Haris mengangkat pandangnya. Pasalnya dia masih sibuk dengan alpukat ditangannya. "Iya, Sayang"
Kin menggeleng. Senyumnya sekali lagi tidak pernah luntur. Binarnya ceria beradu dengan milik Haris. Rupanya yang memang mirip, identik dengan Hendra membuat pemuda itu merasa benar-benar bersama sang ayah.
"Kenapa sih? Kangen ya sama Ayah? Mau peluk?"
Kin mengangguk. Hendra meletakkan alpukat pada tempatnya. Merapatkan diri dengan tubuh putranya. Perlahan tangan terulur meraih uluran tangan putranya. Membawanya sedikit bangkit hingga penuh bertumpu padanya.
Pada dada bidang Haris, Kin bisa merasakan detak jantung pria paruh baya itu. Menenangkan. Alunannya merdu dan gerakannya teratur. Menghantarkan nya pada rasa kantuk yang tiba-tiba menyerang. Kedua belah bibirnya perlahan menguap tanpa ia sadari. Membuat Haris sedikit merundukkan kepalanya guna menatap raut wajah putra yang berada dalam pelukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Persent (Tamat)
Teen FictionRumit. "Sungguh aku ingin mati saja" Kisah sebelum aku hidup untuk kedua kalinya. ®Sugarcofeee