Awan kumolonimbus tampak bergerombol membentang keseluruh langit dipenjuru kota tempat sebuah keluarga menetap. Dari jendela ruang rawat putranya, Bunda dapat menangkap jelas warna hitam yang mendominasi langit sore itu dan gemuruh yang menjadi pengiringnya.
Aroma petrikor perlahan menyeruak masuk kepenciuman Bunda kala air dari langit mulai menjamah tanah dan mengabsennya satu persatu. Sampai perlahan semuanya basah dan derasnya air yang turun membuat Bunda menangkupkan kedua lengannya.
Meski jendela itu tidak terbuka, Bunda masih bisa merasakan hawa dingin yang seolah memaksa masuk lewat bulir-bulir air yang terciprat mengenai jendela kaca. Kin sudah dipindahkan keruangan nya meski kondisinya masih juga belum sadarkan diri. Tapi jauh lebih baik dari hari sebelumnya.
Berbagai jenis selang menancap dipermukaan kulitnya. Membuat tubuhnya makin terlihat mengenaskan dan memprihatikan. Terlebih lagi dengan kepala yang sekarang tak ditumbuhi sehelai rambut satupun dan masih terlilit perban tebal bekas operasi seminggu lalu.
Perlahan Bunda beranjak dari tempatnya setelah sebelumnya menutup kembali tirai pada jendela itu. Belum genap satu langkah ia beranjak, matanya langsung membola. Sikembar onix cantiknya berembun siap menangis. Semudah itu memang. Bagaimana tidak, sosok yang berhari-hari ini selalu ia nantikan pada akhirnya membuka matanya.
Menyingkap kedua kelopak yang hampir seminggu lebih menutupi kedua netra indahnya. Bunda berhambur, mendekati ranjang Kin. Dengan kehati-hatian Bunda membelai pipi tirus putranya. Mengusapnya lembut, memastikan benar jika ia tidak sedang berhalusinasi.
"Kamu sudah sadar, Sayang?" tanyanya bergetar. Kristal bening dipelupuk mata sudah tidak bisa ia bendung lagi. Rasa suka cita bercampur lega memenuhi seisi ruang dibenaknya. Dengan tatap penuh haru Bunda menyambut sosok itu. Sosok yang masih menatapnya bingung dengan kondisi saat ini.
---------
Beberapa orang tersayangnya sudah berkumpul disana. Diruang rawatnya. Mely, Ana, Bunda dan juga Gabriel. Gadis itu tiba disana setelah kabar sahabat tercintanya sudah siuman. Begitu juga dengan Ana dan juga Mely.
Semuanya menatap haru bahagia sosok yang teronggok lemah diatas brangkar. Peralatan medisnya masih lengkap seperti sebelum ia sadar kan diri dari tidur panjang. Dokter sempat berkunjung tapi belum berani melepas semuanya, mental Kin masih belum seimbang tadi. Butuh waktu untuknya mencerna suasana baru disekitarnya. Baru baginya tidak bagi yang lain.
"Ini Kak Mely, kakak pertama kamu" kata Bunda. Operasi bongkar tengkorak kepala memang berakhir dengan hilangnya memory sang penderita. Terlebih lagi ada tumor yang baru saja dikeluarkan dalam dalam kepala Kin. Jadi perlu dengan sabar Bunda mengenalkan satu persatu orang yang menyanyangi putranya tanpa terkecuali.
"Ini Kak Ana, kakak kedua Kin. Yang paling galak"
"Bunda, apa-apaan sih" sanggah Ana tidak terima tapi tersenyum pada akhirnya.
Bunda menarik Gabriel maju, mendekat pada sisi ranjang yang tampak kosong. "Ini Gabriel. Sahabat kamu"
Gabriel kikuk. Dia terjerat pada tatap datar milik Kin. Ini pertama kalinya ia melihat sikembar netra Kin menatapnya biasa tanpa binar. "Hehe... Hai" sapanya kikuk. Tangan kanannya melambai dihadapan Kin.
"Kok jadi kaku gitu sih, Giel? Nerveus ya?" celetuk Mely.
"Lah iya. Kayak baru pertama kenal aja" timpal Ana.
Gabriel menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. "Hehehe biasa aja sih, Kak"
Ana, Mely dan Bunda hanya terkikik geli melihat rona merah diwajah putih Gabriel. Sedangkan Kin masih menatap semuanya tanpa binar. Masih bingung tapi perlahan mulai mencerna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Persent (Tamat)
Novela JuvenilRumit. "Sungguh aku ingin mati saja" Kisah sebelum aku hidup untuk kedua kalinya. ®Sugarcofeee