25. Pengakuan Giel

1.3K 85 5
                                    

Meylara mengendus tengkuk leher Rion. Malam begitu dingin dan pelukan kekasihnya adalah obat yang tak tertandingi. Rion datang menjemputnya dari rumah sakit. Meninggalkan sang calon kakak iparnya sendiri tanpa berniat pamit terlebih dahulu karna membawa pulang Meylara.

Bukan keinginan Rion, Meylara yang memaksanya untuk cepat memacu motornya menjauh dari rumah sakit. Kini keduanya hanya berteman diam, dengan Meylara yang masih asyik memeluknya dari belakang.

"Dingin?" tanyanya. Rion sampai lupa membawa helm untuknya dan juga untuk Meylara karna gadisnya itu menghubunginya secara mendadak dan terkesan buru-buru.

Meylara menggeleng. Matanya terpejam menikmati malam bersama sang kekasih itu sangatlah menenangkan. Kesukaan Meylara.

"Terus kamu kenapa tumben banget nempel-nempel gini?"

Meylara berdecak keras. "Biarin, toh juga pacarku!"

Rion terkekeh. Pacarnya satu ini memang tidak mau disalahkan. Apapun pasti dia yang benar ya... meskipun jelas-jelas Mey yang salah. Tak apa, Rion sayang kok.

"Dih,! Lagi mode tuan putri nih? Sensi banget padahal aku cuma tanya"

Meylara tak menanggapi, gadis itu malah makin mengeratkan pelukannya. Jujur, sedikit mengganggu Rion yang tengah fokus menyetir. Tapi tidak apa sekali lagi. Asal Meylara nyaman.

"Aku sayang kamu" bisik Meylara tepat ditelinga Rion.

Kontan saja Rion bergidik geli. Bulu tubuhnya sampai meremang berdiri karna ulah Meylara.

"Hihhh, jangan deket-deket. Merinding aku" Rion menggelinjang diatas motor. Bahunya ia gunakan untuk mengusap telinganya.

Meylara melepas pelukannya, gadis itu malah tertawa melihat sang kekasih kelabakan karna geli. Senang sekali menjahili pacarnya ini.

"Malah ketawa. Nanti adikku bangun kamu mau tanggung jawab? Enggak kan?" gerutu Rion.

"Apa?!!" Mey kembali merapatkan tubuhnya. Berlagak tak mendengar apa yang barusan Rion ucapkan.

"Enggak! Udah diem!"

Bukannya berhenti, Meylara malah kembali memeluk Rion. Gerakannya brutal.

"Mey, diem. Jatuh nanti. Ehh..."

Hampir saja. Motor oleng itu tidak sampai menabrak apa-apa karna memang kondisi jalanan yang sepi. Tapi Rion lihat malah Meylara tertawa kembali. Membuatnya berdecak dan memutar bola matanya malas.

"Aku sayang kamu, Yon"

"Iya... Aku tahu!"

"Kamu gak sayang sama aku?"

"Kalo aku gak sayang, kamu udah aku turunin disini"

"Kamu mau turunin aku disini?"

"Enggak, Sayang... Kan aku sayang kamu" cengiran terpaksa Rion cipta. Lebay! Memang. Tapi asal kan Meylara senang.

❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️

Pagi, Kin sudah sibuk dengan kertas gambarnya. Entah sejak kapan ia jadi hobi menggambar, terlebih lagi doodle art. Sampai-sampai Bunda kualahan menuruti mau Kin yang minta pensil macam-macam, pewarna macam-macam dan macam-macam lainnya.

"Waktunya sarapan" ucap Gabriel. Gadis itu datang dengan semangkuk bubur, segelas air putih hangat dan beberapa butir obat diatas nampan.

"Hmm..."

"Udah dulu itu ngegambarnya. Beresin dulu."

"Makannya aja yang nanti dulu, nanggung"

Gadis itu mendesah. Memaksa Kin makan sama saja seperti memaksa seorang bayi. Susah sekali. Apalagi sudah jelas bubur menu sarapannya. Pasti bakalan lebih susah lagi.

"Udah siang, Kin. Nanti kakakmu kesini kamu belum makan bisa kena ceramah"

Dengan setengah memaksa, Gabriel merapikan semua peralatan menggambar Kin. Menyimpannya rapi diatas nakas. Meja kecil didepan Kin langsung gadis itu taruh nampan berisikan makanan.

"Udah. makan."

Sudah telak. Tatapan menusuk dan kalimat datar itu sukses membuat Kin melunak. Kin meraih sendok diatas nampan. Memakan bubur dengan sedikit tidak ikhlas.

"Besok, Bunda nyuruh aku buat operasi"

Lirih suara pemuda diatas brangkar mampu merenggut perhatian Gabriel yang sempat asyik membaca salah satu cerita di daftar e-booknya. Masih ingat bukan jika hobi gadis itu adalah membaca, entah sudah berapa banyak koleksi novel dan buku-buku sains kesukaannya.

"Besok?" tanya Gabriel kembali meyakinkan.

Pemuda itu, yang tak lain adalah Kin hanya mengangguk dengan kepala menunduk dalam.

"Trus kamu mau?"

Kin menggeleng kembali. Tatapannya beralih memandang Gabriel lamat-lamat. Acara sarapannya ia tahan. Meremat jarinya sendiri sebagai pelampiasan rasa takut yang menggelayuti perasaannya sedari tadi.

"Kamu siap, sama kemungkinan yang bakalan terjadi setelah operasi?"

"Sebenernya aku lebih baik mati, Giel. Daripada harus sembuh dan jadi orang asing disekitar orang-orang yang aku sayang. Sama ayah, aku cuma punya kenangan dan kalo kenangan itu hilang, apa yang aku punya setelahnya?"

"Kamu masih punya kita semua. Tante Lala, Kak Mely, Kak Ana, Aku dan lainnya. Kamu enggak kasihan sama kita yang masih sayang dan butuh kamu disini?"

"Tapi aku enggak mau lupa tentang kalian semua. Termasuk... kamu, Giel"

"Kamu enggak usah takut. Aku enggak akan tinggalin kamu sendiri. Aku janji"

Gadis itu meraih tangan Kin. Membawa nya penuh dalam genggamannya.

"Kita bisa ulang semuanya dari awal. Dari pertama aku tabrak kamu pake sepedaku, trus aku kena marah Kak Ana lagi karna udah bikin kamu pingsan?, Enggak papa. Aku mau. Asal kamu sembuh"

Kin tak bereaksi. Matanya memanas menahan air mata yang sudah membingkai iris legamnya.

"Sekarang... kalo bisa aku tarik semua ucapan aku waktu itu"

Alis Kin bertautan. Tidak maksud dengan ucapan Gabriel barusan.

"Maksud kamu?"

"Aku suka sama kamu, Kin... Kamu percaya?"

Pemuda itu menggelengkan kepalanya. Coba meresapi kondisi disekitar.

"Bukannya... Kamu udah tolak aku? Kamu bilang enggak mau pacaran karna mau fokus sekolah?"

"Iya. Aku masih inget itu. Dan sekarang aku tarik semua kata-kata waktu itu"

"Aku enggak mau kalo semua itu karna kamu kasihan sama aku"

Gabriel menggeleng. Meyakinkan hati. Tapi benarkah ini perasaan yang sebenarnya, atau hanya merasa tertantang saja? Ia masih ingat betul ucapan Meylara yang seolah mengajaknya bersaing. Jadi... Ini benar perasaannya atau hanya sebatas persaingan?

"Kamu serius, Giel?"

Pemuda kecil itu melepas genggaman Gabriel saat kepala gadis itu mengangguk mantap. Tapi sekarang perasaan Kin tidak sepenuhnya kepada gadis didepannya saat ini.

Ada orang lain yang mampu mengobati luka yang Gabriel torehkan. Sosok dengan senyum yang sama seperti milik Gabriel. Sikap dan sifat yang terkesan dewasa mampu membawa Kin kedunia yang sebenarnya.

Meylara, gadis yang jelas lebih berumur darinya itu mampu mengikis perlahan perasaan yang pernah ia gadang-gadang hanya untuk Gabriel. Lalu, disituasi seperti ini gadis yang dipujaannya mencabut semua ucapannya sendiri. Menelan malu nya dalam-dalam.

Tapi Kin tidak jauh berbeda dengan pemuda lainnya diluar sana. Pemuda yang belum memiliki pendirian utuh seperti laki-laki sejati lainnya. Kin memang masih begitu labil. Kontras dengan umurnya yang masih 15tahun.

"Sorry, Giel. Aku belum bisa jawab"

Gabriel menyerngit keheranan. Bukankah dulu Kin mengejarnya mati-matian? Kenapa sekarang bingung?

Tbc

Last Persent (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang