Bunda datang saat siang menyambutnya dengan begitu panas. Tapi setelah masuk kedalam ruang rawat Kin rasanya tubuh, hati juga fikirannya mendingin. Sungguh menenangkan. Pemandangan putranya yang tertidur lelap menjadi sambutan termanisnya.
Langkahnya bergerak mendekati brangkar sang putra. Mengelus singkat puncak rambut Kin kemudian menghadiahkan kecupan manis disana.
"Loh, Bunda. Udah dari tadi?" Ana muncul dari balik pintu kamar mandi.
"Belum. Baru aja sampek. Gabriel mana?"
"Lagi cari makan dikantin"
"Kenapa gak nungguin Bunda aja. Bunda bawa makanan dari rumah"
"Yahhh Bunda gak ngabarin sih. Yaudah Ana telpon Giel dulu. Belum lama juga dia"
Ana duduk disofa. Meraih ponselnya diatas meja lalu mendial nomer Gabriel. Dibelakang sana, Kin mengerjapkan matanya berkali-kali. Pandangannya memburam. Parah sekali. Tangannya bergerak keatas hendak mengucek matanya. Secepat kilat Bunda menahan tangan putranya. Bunda terlalu peka dengan suara lemas dari brangkar putranya hingga akhirnya tahu jika jagoannya sudah tersadar.
"Kamu mau apa? Jangan nakal" peringat Bunda. Bunda menatapnya tajam tapi lembut. Senyum diakhir tatapannya sungguh meluluhkan getar ketakutan yang pemuda itu rasakan.
"Udah sadar?" timpal Ana. Dia mengikuti gerak Bundanya. Berhambur mendekati brangkar Kin.
Kin menatap keduanya bingung. Dia bahkan hanya sebatas samar menatap Bunda juga Kakaknya. Belum lagi denging yang masih membuatnya tidak bisa mendengar apapun.
"Hei... Kamu denger Bunda?" Bunda melambaikan tangannya tepat didepan wajah putranya. Kin menoleh, tertarik dengan lambaian tangan Bundanya tapi tidak mendengar suara Bunda.
"Bun" suaranya parau.
"Iya, Sayang kenapa? Ada yang sakit?"
"Bunda ngomong apa?"
Diam. Tidak ada yang berani bersuara. Gabriel yang tadi sempat melihat Kin sadar langsung saja mencari Dokter Pram dan kini sudah masuk bersama Dokter Pram.
Kedua atensi yang tadinya beku menatap kepada sosok yang baru saja masuk. Bunda mundur beberapa langkah memberi tempat Pram untuk memeriksa kondisi putranya.
"Kin?" panggil Dokter Pram. Sedang yang memiliki nama hanya menatapnya bingung. Tidak tahu harus bagaimana bereaksi. Pandangannya buram, gerak bibir orang disekitarnya bahkan tidak kentara. Hanya raut khawatir yang bisa ia tangkap. Kenapa dengan tubuhnya?
Kepalanya bergerak gelisah. Dengung ditelinganya kembali menyerang membuat dirinya refleks menekan kuat telinganya.
"Aakkkhhhh" teriaknya brutal.
"Kin, tenang" Pram meraih tangan Kin yang mencengkram kuat kedua telinganya.
"Akhh!! Sakit!" erangan itu terdengar memilukan. Membuat siapa saja yang disana menangis pada akhirnya. Kin memberontak diatas brangkarnya. Mencengkram kuat telinga yang berdenging ngilu. Sungguh Kin ingin mati saja.
Dengan bantuan suster yang bersamanya, Pram menahan tubuh Kin yang memberontak. Menjambaki rambutnya sendiri sampai beberapa helai rontok tertarik keras. Pram menghunuskan satu suntikan ke lengan tangan Kin sampai tubuh kecil itu perlahan melemas. Seraya dengan tangisnya yang masih tersisa lirih.
Ana mendekat, membantu suster merapikan posisi tubuh Kin. Menutupinya dengan selimut sebatas dada. Setelahnya Ana memeluk Kin. Menggenggam tangan adiknya yang terasa dingin. Ana menangis sejadi-jadinya disana.
Pram mendekati Bunda yang masih sangat syok. "Bisa keruangan saya sebentar. Ada yang perlu saya bicarakan dengan, Ibu" kata Pram.
Bunda mengangguk. Mengikuti langkah Pram keluar dari ruang rawat Kin. Meninggalkan Ana yang masih terisak memeluk adiknya. Sedangkan Gabriel memilih duduk dikursi depan ruang rawat Kin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Persent (Tamat)
JugendliteraturRumit. "Sungguh aku ingin mati saja" Kisah sebelum aku hidup untuk kedua kalinya. ®Sugarcofeee