Bunda bingung tujuh keliling. Pasalnya semenjak pulang kerja dan menemui putra bungsunya, Kin masih terus sesegukan nangis dalam pelukan bunda. Bukan hanya bunda. Mely dan Ana pun sama bingungnya melihat sang adik yang nangis tanpa mau menjawab pertanyaan sama bunda.
"Adek kenapa? Kok nangis?" itu pertanyaan bunda yang tak mendapat jawaban sedari tadi. Dengan isyarat mata, bunda bertanya pada kedua putrinya. Tapi mereka tidak mengetahui apa yang terjadi pada Kin.
"Adek udah dong nangisnya, malu sama Gabriel" ucap Mely. Mendengar nama Gabriel disebut, Kin malah makin merasakan kesedihannya. Hatinya kembali hancur. Rasanya ditolak ternyata lebih sakit dari pada penyakitnya dan lebih terangnya lagi Gabriel menolaknya karna dia malu di sukai Kin.
Kin makin terisak, tersedu dan erat memeluk bunda. Bunda membalasnya protektif sembari mengomel. "Kakak ih, bukannya diem malah makin nangis kan".
"Loh? Salahku dimana bun?"
Kemudian dengan jari telunjuknya, bunda mengisyaratkan Mely untuk diam.
"Kamu ada masalah ya dek sama Gabriel?" kini Ana yang angkat bicara.
"Kakak, ssstttt nanti adek makin nangis lagi ini"
Kin tiba-tiba merenggangkan pelukannya pada sang bunda. Kemudian dengan kasar mengusap pipi dan ingus nya.
Ketiga wanita itu menatapnya keheranan. Seolah menuntut penjelasan, tapi masih ragu karna takut anak itu makin jadi dan berakhir dengan collaps.
"Bunda.." kata Kin merengek.
"Iya sayang. Ada apa? Cerita sama kita" bunda mengelus rambut Kin yang lepek dan menutup dahi nya.
"Giel bunda" Kin berucap dengan mimik wajah yang siap akan menangis lagi. Gemas sebenarnya tapi ingat, Kin sedang bersedih.
"Kenapa sama Giel?"
Mely dan Ana duduk di sisi ranjang tidur sang adik. Siap mendengarkan.
"Giel malu," ada jeda pada kalimatnya. Sesegukannya masih kentara. Sungguh, tadi Kin benar-benar menumpahkan kesedihan.
"Iya, Giel kenapa dek?" Mely tidak sabaran.
Bunda kembali menegurnya. "Kak Mely!....... sssstttt" cukup dengan begitu, Mely mengangguk patuh. Dia kembali diam dan siap mendengarkan dengan sabar.
"Giel bilang, dia malu karna Kin suka sama Gielll!!!....." kembali tangisnya pecah. Dengan kepala sedikit menengadah, Kin membuka lebar kedua belah bibirnya dengan suara tangisan yang mengudara keras. Menelisik seluruh ruangan kamarnya.
"Hei....tenang sayang" lerai bunda lembut. Dia mengusap dada sang bungsu. Kemudian Kin menundukkan kepalanya.
"Bun-da... memangnya...kin gak pantes ya,..... suka sama Giel?"
"Siapa bilang sih sayang. Kamu itu masih kecil jangan mikirin begituan ah, bunda gak suka."
"Kin bukan mau pacaran sama Giel. Kin cuma mau Giel tau kalo Kin suka sama dia."
"Loh itu kan adek udah bilang sama Gielnya", kata Ana.
"Iya, terus sama Giel dijawab 'ya!, aku malu karna kamu suka sama aku!' gitu bunda. Dan dia malu karna yang suka sama Giel itu Kin. Kin yang penyakitan""Hussttt!!.. cukup. Adek ini apa-apa si?",
Pemuda itu memberingsut takut. Bunda memang tak pernah suka dengan kalimat yang seolah menyudutkan atau merendahkan putra bungsunya sekalipun itu ucapan berasal dari mulut Kin sendiri. Kalimat putus asa. Bunda paling tidak suka.
"Memangnya Gabriel bilang gitu sama adek langsung? tanya Ana penasaran. Pasalnya tadi sebelum pamit untuk pulang. Gabriel tampak biasa-biasa saja dan hanya mengucapkan salam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Persent (Tamat)
Teen FictionRumit. "Sungguh aku ingin mati saja" Kisah sebelum aku hidup untuk kedua kalinya. ®Sugarcofeee