Bab 4 - Getar Rasa

26.3K 2.1K 66
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Tidak sadar dengan datangnya ujian adalah termasuk ujian.

▫Ada Surga di Matamu ▫

🍁🍁🍁

Suhu tubuh Lubna tak kunjung turun. Claudia sudah menyarankan Lubna untuk pergi ke rumah sakit, tapi putrinya itu selalu menolak dengan alasan bahwa demamnya akan sembuh dengan sendirinya.

Dari dulu juga kalau Lubna merasakan gejala demam pada tubuh, ia tidak mau sampai harus periksa ke dokter.

Bukan tanpa sebab, Lubna hanya yakin bahwa demamnya akan berangsur turun walau hanya memakai obat herbal. Istirahat lebih banyak. Dan benar, demamnya kerap hilang. Itu yang membuatnya enggan pergi ke rumah sakit. Ia tidak suka memakai pengobatan medis.

Tapi kali ini Claudia memaksa Lubna agar mau pergi ke bidan. Jika dia tidak mau langsung pergi ke rumah sakit, maka Lubna harus mau diperiksa oleh bidan terdekat. Sebab Claudia tidak mau ambil risiko, demam Lubna terus datang dalam jeda waktu dekat.

Akhirnya Lubna menyerah dan mendatangi bidan. Menurut penjelasan sang bidan, Lubna hanya demam biasa saja. Ia pun memberikan resep obat dan antibiotiknya.

Sekembalinya ke rumah, menunggu Claudia yang sedang membuatkan bubur, Lubna melihat ponsel yang tergeletak di atas nakas menyala tanda telepon masuk.

'Kak Byan'

Nama itulah yang tertera di layar ponsel.

Nama seorang kakak. Tapi mengapa seakan si pemilik nama itu memiliki ruang spesial di hatinya?

Detak di jantung yang bertalu-talu melebihi batasan normal tak bisa disingkirkan. Dengan tangan gemetar, Lubna menggeser tombol hijau dan mendekatkan ponsel ke telinga.

"Assalamualaikum..."

"Waalaikumussalam, Lubna...."

Suara di seberang terdengar syahdu. Layaknya syair yang menggugah jiwa. Menentereramkan telinga dan hati. "Ada apa kak Byan telepon Lubna?"

"Lubna baik-baik saja?"

Abyan bukan Abyan yang dulu. Dia sudah dewasa. Dan tentunya lebih menunjukkan sikap perhatian kepada sang adik. Masih batas wajar. Lain dengan Lubna. Dia merasakan sesuatu yang beda. Dia wanita biasa yang selalu mengedepankan hati daripada logika.

"Lubna?"

"Eh, iya, Kak. Alhamdulillah, Lubna baik-baik saja."

"Kata ayah kamu sedang sakit. Benarkah?"

"Hanya demam biasa, Kak."

"Baiklah. Makan yang teratur dan minum obat, ya. Supaya tidak sakit lagi."

"Iya, Kak."

"Hm, ternyata sakit telah membuatmu menjadi pendiam."

"Memang dulu Lubna banyak bicara?"

"Iya, Lubna. Masa tidak ingat?"

"Tidak...."

"Ya sudah, kak Byan tutup teleponnya. Nanti kalau ada waktu luang kak Byan kabari lagi. Assalamualaikum..."

Tidak ada yang bisa Lubna ucapkan selain balasan ucapan salam. Hanya sesingkat itu? Padahal ia ingin bercerita banyak seperti dulu. Tapi ia sadar, itu tidak mungkin. Abyan sepertinya sedang sibuk. Semakin dewasa tentu semakin sedikit pula waktu untuk bertukar sapa apalagi bercanda.

Ada Surga di Matamu [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang