HAFH - 4

19.1K 2.3K 75
                                    

Repub tanpa edit 18/7/20
4/11/20
2/1/21

Sebelas bulan berlalu setelah dia dicampakkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebelas bulan berlalu setelah dia dicampakkan. Mahika mulai menjalani harinya dengan sedikit tenang. Tapi terkadang ketenangan itu membuatnya curiga. Seperti sekarang ini, dia merasa aneh karena pembicaraan mengenai Garin tidak lagi terdengar di rumah orang tuanya. Antara aneh dan bersyukur sebenarnya. Tapi mungkin umur orang tuanya, terutama sang ibu, mulai mengambil alih ingatan-ingatan. Mahika hanya berharap usia mereka menghapus seluruh ingatan mengenai Garin. Terdengar jahat tapi sungguh hanya itu yang Mahika inginkan sekarang ini.

Tapi ternyata itu hanya angan. Karena nama Garin terangkat lagi saat makan malam.

"Ibu tadi bertemu dengan ibunya Garin saat di salon." Hanya cukup satu kalimat itu dan Mahika sudah menghentikan suapannya, tangannya menggantung sesaat lalu dia meletakkan sendoknya. Dia melirik sang ayah yang hanya melihatnya dengan tatapan iba tapi tidak bisa berbuat apa-apa jika sudah menyangkut sang istri.

"Lalu?" tanya Mahika, berusaha dengan keras menyembunyikan ekspresinya.

"Dia mau menikah tiga bulan lagi."

"Lalu?"

"Kok lalu lalu terus sih, Mahika!"

"Terus, Ibu, mau aku bilang apa? Aku hatus bilang 'wow' gitu?"

"Ibu sama Ayah itu mau cucu, Mahika! Kami sudah tua."

"Mahika juga mau kasih, Bu. Tapi ketika Mahika siap dan sudah menemukan orang yang tepat bukan karena diburu oleh waktu." Mahika berusaha tenang, dia tidak mau terpancing oleh emosi ibunya yang terlihat mendelik mendengar ucapannya.

"Kapan kamu siapnya? Sama yang pacaran delapan tahun aja ditinggal nikah!"

Rahan Mahika mengeras mendengar hal itu, alih-alih menjawab dia langsung berdiri dan berjalan menuju kamarnya. Biar saja terlihat tidak sopan, karena jika dia membalas yang ada perkataannya bisa membawanya masuk ke neraka. Dia bahkan tidak tertarik untuk sekedar melihat eksperesi ibu dan juga ayahnya ketika melihat dia melenggang pergi. Peduli setan!

Dan ya, Mahika belum tahu saja bahwa badai itu memang akan datang.

###

"Muka kusut amat, Neng. Mau gue bantu setrika dulu apa?" Tergur Sania ketika melihat Mahika masuk dengan wajah dilipat. Dia masih mendiamkan orang tuanya, bukan karena dia marah tetapi dia takut akan mengeluarkan perkataan yang menyakiti hati mereka.

"Pusing gue, Mba. Nyokap tau si Garin mau nikah tiga bulan lagi." ucap Mahika sambil meletakkan tasnya di kubikelnya yang berada bersampingan dengan Intan. Intan otomatis menggeser kursinya ke arah Mahika.

"Serius lo? Tau dari mana?"

Lalu mengalirlah cerita itu, termasuk mengenai Mahika yang meninggalkan meja makan. Intan menatap Mahika dengan kasihan sambil menepuk bahunya pelan, seakan menyalurkan kekuatan kepada wanita itu.

"Bisa lebih buruk lagi gak si, Mba? Padahal gue merasa ini udah rock-bottom."

"Pergi liburan gih, Ka. Cuti lo masih banyak banget kan? Dua puluh dua hari ya? Abisin." The perks of working in multinational company, cuti melimpah dan bisa diambil semua jika bos tidak bermasalah.

"Ke mana?"

"Gue ada lihat tiket murah ke Paris, pulang pergi dari Jakarta dengan five star airline." Intan mengambil ponselnya kemudian mengirimkan tautan dari website maskapai yang dimaksud kepada Mahika.

"You need a rest, Ka. Lo kerja udah kaya orang gila, di rumah juga lo gak nyaman. Gue ga mau temen sebangku gue gila, yang ada kerjaannya gak beres terus malah nambah kerjaan gue." ucapan Sania membuat Mahika mendelik dan perempuan itu tertawa ketika melihat raut kesal Mahika.

"Lo selalu bilang 'kan kalau lo mau ke Paris? Mungkin ini saat yang tepat untuk pergi ke kota idaman lo."

"Tapi gue maunya pergi sama orang yang gue cintai, Mba." ujarnya lesu, mengingat Paris justru membuatnya teringat mengenai hubungannya yang kandas.

"Lo pergi sama orang yang seharusnya lo cintai melebihi pacar kok, Ka." wanita itu tersenyum lembut sambil menatap mata Mahika yang kini terlihat bingung.

"Siapa?"

"Lo, Mahika."

###

Mahika menatap tautan yang dikirimkan oleh Sania tadi. Dia melihat maskapai itu memang sedang murah jika dibandingkan dengan harga tiket yang biasanya. Dia kemudian teringat mengenai ucapan Sania, tentang orang yang seharusnya dia cintai melebihi pacar. Jujur saja, dia sedikit tersentak ketika mendengarnya tadi. Dia sedikit mengira bahwa Sania akan menggodanya dengan mengatakan bahwa dia akan ikut dan menganggap dirinya orang yang dicintai melebihi pacar. Mengingat bagaimana usilnya wanita satu itu dia tidak pernah menyangka akan mendengarkan wejangan cinta darinya. Dia ingat bagaimana Sania mengatakan bahwa mencintai diri sendiri tidak egois, justru memang harus dilakukan karena itu dasar dari mencintai. Tentu saja awal dari segala cinta adalah cintai Tuhanmu terlebih dahulu. Jika kita sudah mencintai diri kita sendiri kita akan tahu bagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang yang kita cintai dan bagaimana kita memperlakukan orang yang kita cintai. Tahu batasan apa saja yang bisa dan tidak bisa kita lakukan.

Mahika tengah sibuk dengan pikirannya sendiri hingga suara ketukan di pintu kamarnya mengalihkan perhatiannya. Dia langsung beranjak untuk membuka pintu dan menemukan ibunya di sana sedang berdiri memegang kain dengan raut kusut.

"Ini seragam kamu dari Inang Uda*."

"Seragam? Inang Uda Rianti?"

"Iya, Rianti mau nikah bulan depan. Padahal umurnya baru dua puluh tiga tahun." Ibunya terlihat jelas sedang kesal. Hubungan inunya dan inang udanya itu memang tidak baik.

"Mungkin jodohnya sudah ketemu, Bu. Tidak ada urusan dengan umur."

Ibunya terlihat kesal lalu melenggang pergi setelah memberikannya kain itu.

Yak, sebulan kedepan yang penuh dengan drama.

*Inang Uda, panggilan untuk istri adik dari pihak Ayah.

4/8/19
6.10 WIB

10 WIB

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Home Away From Home [FIN] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang