↪20↩

5.9K 513 4
                                    

Pagi ini aku terbangun dari tidurku yang tidak nyenyak. Aku bermimpi buruk, di mimpiku aku sedang dikejar oleh segorombolan orang memakai jubah. Mereka mengerikan dan mencoba menangkapku bahkan mereka ingin membakarku, untung saja aku terbangun.

Aku mengambil gaun bewarna hitam dilemari, semua isi lemari itu hanyalah gaun. Aku sedikit tidak terbiasa tapi mau bagaimana lagi, hanya itulah pilihanku.

Sebelum keluar dari kamar, aku membuka pintu balkon dan membiarkan cahaya masuk ke dalam kamar ini. Dengan begitu, tempat ini tampak lebih hidup. Setelah itu aku keluar dari kamar.

Marilyn terlihat sedang menata bunga-bunga segar di vas bunga. Aku menghampirinya.

"Pagi, Marilyn."

Marilyn tersenyum. "Pagi, Mika," balasnya. "Bagaimana tadi malam?"

Pertanyaannya membuatku kembali mengingat kejadian tadi malam. Aku semakin kesal pada Jordan!

"Buruk."

Marilyn tertawa, ia telah menyelesaikan kegiatannya. "Tentu saja," ujarnya.

Ia berjalan dan aku mengikutinya dari belakang. Aku melihat sekeliling dan tidak dapat menemukan Jordan sama sekali, apa pria itu tidak ada niat sedikitpun untuk menjelaskan atau meluruskan masalah kemarin?

"Duduk disini, Mika."

Aku tidak sadar jika kami telah berada di sebuah ruangan yang penuh dengan lukisan. Banyak lukisan-lukisan yang tergantung di dinding. Ruangan ini memiliki bau cat dan astetic.

"Aku akan melukismu," ujar Marilyn.

Aku menunjuk diriku tidak yakin. "Aku?"

Marilyn mengangguk. "Ya, aku tidak mendapatkan inspirasi sejak lama, dan setelah melihatmu, aku menemukan kembali apa yang selalu kucari itu."

"Baiklah, usahakan melukisku dengan cantik," candaku yang dibalas tawa anggun milik Marilyn.

Marilyn berjalan menuju tempat duduk yang di depannya sudah tersedia canvas putih dan cat-cat yang tampaknya sering ia pakai. Ia sangat serius, seolah meletak hati dan pikirannya dalam lukisan itu. Aku tidak yakin itu berakhir gambar yang bagus karena aku tidak sebagus itu untuk dilukis.

Aku hanya duduk, sesekali menatap sekeliling. Bahkan aku tidak merasa sedang dilukis. Dari apa yang kuamati, semua lukisan disini memiliki arti, hanya satu yang tidak aku ketahui, sebuah lukisan besar yang terletak di pojok ruangan, itu lukisan yang besar hanya saja masih belum selesai.

"Jika aku boleh tau, apa yang sedang kau lukis pada canvas besar itu?" tanyaku sembari menunjuk pojok ruangan.

Mariyln tersenyum kecut. Tangannya berhenti bergerak lincah pada canvas yang berada di depannya. Senyumannya pun ikut luntur, tapi kutahu dalam tatapannya yang kini menatap lukisan di pojok ruangan itu, ia menyimpan rindu dan kenangan.

"Itulah masa-masa terindahku di dunia ini," jawabnya.

"Boleh kutau apa itu?"

Marilyn berdiri, ia menuju pojok ruangan dan membawa lukisan itu mendekat padaku. Ia menyuruhku memegang lukisan itu sebentar sementara ia menyari alat penahan kanvas tersebut. Karena itu, aku dapat melihat apa isi lukisan itu dengan jelas, dan ternyata seorang pria. Walaupun masih abstrak, gambar pria itu masih terlihat jelas.

Setelah mendapatkan alat penyangga untuk lukisan itu, Marilyn mengambil kursinya dan duduk disampingku. Kami sama-sama menatap lukisan itu, bedanya yaitu cara kami menatapnya. Aku menatap lukisan itu penasaran sedangkan Marilyn menatap lukisan itu penuh sendu.

"Jadi, bisakah kau ceritakan padaku, cerita apa yang ada dibalik sosok pria yang kau lukiskan itu?" pintaku.

Marilyn tanpa menatapku kini mulai tersenyum dan memulai bercerita, "sosok pria itu adalah suamiku, aku masih mengingatnya walaupun sudah satu abad. Ia adalah pria tampan dan berani yang pernah kutemui." ceritanya berhenti sejenak, aku berpaling menatap Marilyn yang ternyata sedang mengambil napas, seolah ia berat untuk menceritakan.

"Kami tidak sengaja bertemu di sebuah hutan, ia sedang berburu dan aku sedang mencari makan. Dulu, darah sangat susah untuk dicari, pemburu vampir ada dimana-mana dan kami cukup kesulitan sehingga keberadaan vampir menyusut. Aku tahu, saat itu aku menjijikkan yang mana sedang meminum darah rusa yang mungkin tengah ia buru. Tapi ia tidak menembakku ataupun memberitahu para warga untuk memburuku, ia hanya menatapku dan sedikit tersenyum tipis, aku tidak mempedulikannya, rasa lapar lebih menciutkanku daripadanya." berhenti sejenak, Marilyn mulai melanjutkan, "Kau tau apa yang ia katakan saat aku seperti monster menjijikkan saat itu?" tanyanya menatapku.

Aku menggeleng, sangat terhipnotis oleh ceritanya.

"Ia berkata aku sangat cantik dan tersenyum hingga matanya membentuk bulan sabit. Sejak saat itu, pikiranku hanya penuh olehnya. Bahkan, setiap hari aku pergi kehutan itu hanya berharap dapat bertemu dengannya, sekali saja. Namun, tidak. Kami tidak dipertemukan, dan selama berbulan-bulan aku hidup seperti kehilangan rohnya. Tapi akhirnya aku bertemu dengannya, secara tidak sengaja, saat aku kembali mencari mangsa untuk dimakan."

"Ia berada disana, hanya saja ia memiliki kumis tipis yang membuatku tertawa, itu tidak cocok untuknya. Ia tersenyum saat melihatku, seperti ia juga merindukanku. Ia mendekatiku dan menanyakan namaku, dengan malu aku mengatakan namaku. Semenjak itu kami sering janjian untuk bertemu dan pastinya tersembunyi dari kaumku dan kaumnya. Hingga suatu saat kami melakukannya dan timbullah sebuah janin yang mana itu adalah Jordan. Kami pergi menjauh dari keramaian dan menetap disebuah pulau. Tapi sayangnya kami tidak bisa hidup bersama, ia..." Marilyn menunduk, wajahnya memerah. Aku tau ia akan menangis, karena itu aku menggenggam tangannya dan memeluknya.

"Tidak apa-apa, kau kuat sekarang," ujarku menenangkannya.

Marilyn mencoba menetralkan tangisnya dan menghapus air matanya.

"Ia... Ia meninggal, Mika. Dan sejak itu duniaku runtuh."

"Tidak, Marilyn. Jangan menceritakannya lagi jika itu menyakitimu," tukasku padanya.

Marilyn menggeleng. Ia kini tidak lagi dipelukanku, dengan hidung merah dan mata yang sembab, ia mulai menceritakan kembali.

"Aku sudah mengajaknya untuk menjadi vampir tapi ia menolak, ia tidak mau hidup lama dan melihat keluarganya mati satu-persatu, itu menyakiti hatinya. Karena itu, aku tidak bisa hidup bersamanya. Aku akhirnya tau bagaimana hidup disaat orang yang kau sayangi satu persatu mulai pergi. Rasanya sangat sepi dan menyakitkan."

"Oleh karena itu, sebaiknya kau putuskan apa yang kau inginkan. Menjadi vampir abadi atau hidup seperti manusia normal, apapun yang kau pilih itu akan berdampak untuk seluruh hidupmu, yakinlah."

Aku mengangguk mendengar katanya, dalam diam aku juga memikirkan hal itu. Aku masih bimbang, ingin melanjutkan atau berhenti sampai disini. Lagian, aku masih bisa hidup seperti manusia normal lainnya.

Marilyn bangkit dari duduknya. Ia meletakkan kembali canvas besar tersebut ketempat semula.

Aku ikut bangkit, dan menunggunya menghampiriku. Marilyn mengajakku menatap lukisannya yang tadi ia buat. Disana seorang gadis cantik sedang duduk dan mengamati lukisan yang berada disekitarnya persis apa yang kulakukan tadi.

"Itu aku?" tanyaku tidak percaya.

"Benar. Sangat indah, bukan?"

Aku mengangguk dan mulai mengagumi aku yang berada dilukisan tersebut. Sangat berbeda dengan diriku saat ini.

"Kau boleh memilikinya," ujar Marilyn.

"Benarkah?"

"Tentu saja, itu milikmu sekarang."

Aku dengan senyum yang lepas begitu saja mulai membawa lukisan itu ke kamarku, aku meletakkanya di nakas. Dengan begitu, aku dapat melihatnya setiap hari.

Tok! Tok!

Aku menoleh, Jordan berdiri di depan pintuku. Melihatnya membuatku kesal tiba-tiba.

"Ayo, pergi."

"Pergi?" tanyaku. "Kemana?"

Jordan bersidekap. "Aku akan mengenalkanmu dengan Lauren secara jelas."

"Maksudmu?" aku berhenti sejenak, "Kau..." lanjutku.

Jordan menangguk.



Rencana pengen up cepet karena lagi ada kuota, eh tetau pikiran udah stuck. Kalau kalian mau memberi saran atau ide untuk kelanjutan cerita ini silakan komen yaa, dengan begitu aku usahakan updatenya cepet.

With love, Vian.
 

My Stalker Vampire (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang