22. Confession

18 2 0
                                    

Entahlah kenapa gue jadi murung gini. Apa mungkin karena Lay yang udah baikan sama Hani? Tapi gue udah berusaha untuk nggak peduli dan gue juga nggak mau mencampuri urusan mereka.

"Kok gue nggak denger ocehan lo ya dari tadi?" Lay membuka suara sambil fokus nyetir mobil.

"Ocehan apa maksud lo?!" tanya gue balik dengan sedikit penekanan.

"Ya...apa aja. Biasanya kan lo sering berkomentar apapun mengenai gue. Tapi seharian ini gue nggak denger." jawab Lay tanpa memalingkan kepalanya ke gue.

"Jadi lo kangen sama ocehan gue?"

"Gimana, ya? Udah jadi kebiasaan soalnya." Lay terkekeh.

"Sebenernya ada yang mau gue tanyain sama lo." meskipun gue percaya sama Lay, gue harus tetap pastiin.

"Apaan?"

"Tadi gue liat lo keluar gedung bareng Hani." tanya gue sambil sok sibuk main hp.

"Ohh... Jadi ini yang buat lo diem dari tadi?"

Iya maz Lay kuhh! Menurut lo untuk apa gue ngomong kayak gitu? Cuma untuk basa-basi doang?

"Kalau lo nggak mau jaw—"

"Dia datang ke gue untuk minta maaf. Dia menyesali semua perbuatannya. Dan gue nggak mungkin nolak niat baik dia." potong Lay.

"Oh, Bagus dong." respon gue seadanya, karena gue juga udah tau isi pembicaraan mereka tadi.

Tangan kanan Lay bergerak mengenggam tangan gue.
"Gue tau lo pasti ngerasa risih. Tapi satu hal yang harus lo inget, status Hani adalah mantan gue dan nggak akan pernah berubah."

"Justru karena dia mantan lo, gue nggak akan pernah ngerasa risih. Mantan ya mantan. Semua yang kalian berdua pernah lakukuin udah jadi masa lalu dan nggak akan pernah mencampuri masa depan, ya kan?"

Lay tersenyum lepas sampai dimple di pipinya terlihat dengan jelas. Untuk kesekian kalinya gue merasa melting cuma karena liat dia senyum. Dimple di pipinya jadi keberuntungan sendiri buat dia.

"Liat sikap lo yang kayak gini buat gue semakin nggak sabar untuk jujur soal hubungan kita ke papa dan mama. Hmm...nggak cuma mereka sih, tapi sama temen-temen juga."

Huh? Maksudnya go public gitu?

Duh... Gue sebenernya masih ragu sih. Tapi kalau terus ngikutin rasa takut gue tanpa mencoba, semua apa yang gue jalani sama Lay akan sia-sia. Gue rasa ini kesempatan yang tepat untuk jujur soal hubungan gue dan Lay ke mama dan papa. Lagian kita nggak bisa kayak gini terus. Mau sampai kapan coba? Cepat atau lambat mereka pasti akan tau.

"Serius? Gimana kalau sebelum jujur ke mama dan papa, kita bicara dulu sama ayah?"

Gue pikir ayah Lay juga berhak tahu soal hubungan ini. Bagaimana pun gue menjalin hubungan dengan anaknya.

"Ayah?" Lay memperjelas maksud usulan gue.

"Iya. Ayolah, bagaimana pun juga dia ayah lo. Ayah kandung lo. Dia berhak tau apa yang sedang terjadi sama anaknya."

Gue mengubah posisi tangan Lay yang tadinya mengenggam tangan gue menjadi gue yang mengenggam tangan dia.

"Gue yakin saat itu dia lagi kalut banget. Dia nggak tau apa yang harus dia perbuat. Mungkin saat itu dia ngerasa nggak mampu lagi untuk ngurus lo makanya dia biarin lo dibawa sama papa. Ambil dugaan positifnya aja."

Masih nggak ada respon dari lay. Raut wajahnya pun berubah setelah gue membuka pembicaraan ini.

"Lay, untuk saat ini singkirin dulu ego lo. Lo bisa mulai lagi dari awal, dengan begitu lo bisa cari tau alasan apa yang memungkinkan ayah ngelakuin itu. Gue yakin dia sayang dan bangga banget samo lo layaknya seorang ayah dan anak laki-lakinya."

"Lay... Lo mau kan ketemu sama ayah dan mulai segalanya dari awal?"

========

Bujukan gue berhasil. Akhirnya Lay mau dateng ke restoran tempat ayahnya bekerja. Gue tau ini bukanlah hal yang mudah. Tapi gue percaya kalau dia bisa mengatasi masalahnya. Karena Lay yang gue kenal adalah Lay yang nggak pernah lari dari masalah.

"Maaf!"

Gue menyenggol lengan Lay lalu menatapnya. 'Yang ikhlas dong!' itulah makna dari tatapan gue.

"Maafin Yixing! Yixing cuma kecewa dan nggak tau apa yang harus Yixing lakuin?" ujar Lay.

Ayah tersenyum. Gue melihat matanya yang berkaca-kaca sambil menatap Lay tulus.

"Ayah yang seharusnya minta maaf. Ayah benar-benar menyesal. Maafin ayah, Yixing!"

Ayah bergerak untuk memeluk Lay yang ada di depannya. Gue ikut seneng liatnya. Lay termasuk orang yang berutung. Setelah sekian lama berpisah dengan ayahnya, akhirnya dia bisa ketemu lagi.

Seandainya itu juga terjadi ke gue. Huh! Bahkan gue nggak inget wajahnya kayak apa? Setidaknya kalau gue tau wajah ayah seperti apa, peluang untuk bertemu dengannya akan semakin besar.

"Oh ya, kalian mau makan apa? Biar ayah siapin." tawar ayah setelah melepas pelukannya dari Lay.

"Nggak usah, yah. Kita berdua baru pulang dari pesta pernikahan temen, jadi udah kenyang." jawab Lay.

"Sebenarnya ada yang mau Yixing bicarain ke ayah." lanjut Lay.

Jantung gue tiba-tiba berdetak cepat. Padahal gue udah mempersiapkan diri sebelumnya.

"Apa?"

Lay menoleh ke gue sebentar. "Dia pacar Yixing, yah."

Gue tersenyum kaku. Seketika suhu di ruangan ini terasa panas. Beneran gugup nih gue.

"Sudah ayah tebak, siapa namanya?" meskipun ayah tersenyum, gue tetep ngerasa gugup.

"Erika, yah." jawab Lay.

"Erika?" ekspresi ayah langsung berubah ketika mendengar nama gue. "Apa nama keluarganya Jung?"

Gue dan Lay kompak mengangguk.

Kenapa? Apa yang salah dengan nama gue? Kenapa ayahnya Lay keliatan terkejut?



To be continue....

Let Me Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang