30. Sad Ending?

19 2 0
                                    

Untuk baca part ini aku saranin sambil dengerin lagunya Joy ft Mark yang judulnya -Dream Me-
Thank's ^^




Udah seharian gue di dalam kamar. Gue memutuskan untuk bolos kuliah hari ini. Gue beneran nggak sanggup.
Semuanya jadi males gue lakuin.
Gue ngakunya lagi nggak enak badan, dan untungnya mama sama papa percaya.

Dengan wajah memerah dan mata bengkak karena nangis seharian, gue nurunin tangga. Wajah gue ditutupin sama tudung dari jaket yang gue pakai. Takut kalau ada yang liat.

Gue mau ke supermarket beli cemilan. Nggak, gue nggak laper sama sekali. Itu cuma alibi gue untuk keluar menghirup udara segar malam hari. Kali aja pikiran gue bisa sedikit tenang.

Fakta kalau Lay adalah kakak gue yang selama ini jadi pertanyaan gue. Fakta bahwa om Jung adalah ayah, sosok yang selalu gue impikan. Mengingat itu semua membuat dada gue sesak! Gue hancur sekarang!

Langkah gue terhenti saat sepasang kaki berdiri di hadapan gue.

Lay!

Entah kenapa hanya dengan menatap wajahnya mata gue mulai basah, lagi.

GREP!

Gue tersentak! Tiba-tiba dia meluk gue. Tanpa bisa gue tahan, air mata gue jatuh. Gue mengigit bibir gue, menangis dalam diam.

"Mau kemana malem-malem gini?" tanya lembut di telinga gue.

Gue menghapus jejak air mata gue dan menarik nafas dalam. "Ke supermarket. Gue laper. Lagi nggak nafsu makan masakan rumah." jawab gue seadanya.

"Ya udah, gue anter. Kebetulan gue juga belum makan."

:::::::::::::::::::

Sekarang kita lagi di restoran sederhana pinggir jalan. Lay memesan banyak makanan. Mulai dari tteobokki, ramen, dan masih banyak lagi. Gue percaya kalau dia beneran laper.

Semua makanan terlihat sangat menggiurkan, tapi sama sekali nggak mengoda selera gue.

"Kenapa, nggak suka, ya?" tanya Lay membuyarkan lamunan gue.

Gue langsung menggeleng cepat. "Ng-nggak kok. Makanannya—"

"Aku kangen kamu!" kalimat Lay membuat gue terdiam. Gue tahu itu terdengar serius, karena penggunaan aku dan kamu dalam kehidupan kita. Tapi kenapa tiba-tiba?

"Aku juga. Kamu sih pulangnya malem, jadi baru bisa ketemu sekarang." gue berusaha bersikap senormal mungkin.

Tapi kayaknya sulit. Mata gue kembali berair saat menatap Lay. Ini terlalu sakit! Kenapa fakta itu selalu berputar di kepala gue?!

"Aku mau malem ini kita bahagia. Aku mau kamu bahagia. Aku mau kamu terus bahagia setelah ini." ucapnya lagi. Gue semakin kewalahan untuk nahan air mata sialan ini jatuh.

Jika kalian bertanya sesakit apa hati ini? Bahkan seisi dunia tidak mampu untuk menjawab.

"Dengan kamu yang selalu ada di sisi aku, itu cukup buat aku bahagia. Jangan pergi lagi...." suara gue bergetar.

Gue sadar kalau sikap gue aneh malem ini, tapi Lay— dia terlihat sama seperti gue. Sama-sama menyedihkan. Kita berbicara soalah ini malam terakhir kita bersama. Jelas, karena gue tahu faktanya. Tapi Lay? Apa yang salah dengan dia?

Nggak mau ambil pusing, gue langsung memakan mie kacang yang tersaji di hadapan gue.

Gue makan, terus makan kayak orang kelaparan. Sekali lagi, itu hanya usaha gue untuk menyembunyikan rasa sakit yang udah menguasai tubuh gue.

"Mienya enak, ya?" tanya Lay lembut.
Gue mengangguk tanpa menatapnya. Gue takut. Gue takut kalau gue melihat wajahnya, air mata gue akan jatuh.

Sedetik kemudian, gue merasa ada yang ngelus pucuk kepala gue dengan lembut. "Hati-hati, ntar kesedak!"

"Kamu cantik kalau lagi makan. Selain fakta kalau kamu cantik, kamu tahu nggak fakta yang lain?" lanjutnya setelah selesai ngelus kepala gue.

"Kamu orang yang baik, lucu dan pintar. Sifat dewasa yang kamu punya adalah yang paling aku suka. Kamu pengertian, sesalu memandang dari dua sisi setiap ada masalah di antara kita. Dan kamu sempurna. Sampai Tuhan nggak izinin aku buat milikin kamu."

Gue menangis. Gue nggak sanggup nahan air mata gue untuk nggak jatuh. Gue lemah sekarang.

Tanpa suara, hanya bahu gue yang naik turun. Menangis dalam diam sangat-sangat menyakitkan.

"Kamu terlalu sempurna untuk aku miliki." ujar Lay parau, hampir tidak terdengar.

Gue terisak.

Dada gue sesak.

Gue masih terus menangis tanpa suara.

Gue memberanikan diri untuk menatap laki-laki di hadapan gue. Lalu tersenyum meski itu palsu. Karena gue masih menangis.

"Kamu salah! Sepenuhnya salah! Aku nggak pantas kamu miliki karena kamu yang terlalu sempurna buat aku. Aku cuma—"

"Aku pikir kisah kita akan berakhir bahagia? Ternyata itu sulit." Lay memotong ucapan gue. Kini gue mulai mendengar isakan pelan darinya.

"Kisah dongeng sekalipun sebenarnya punya akhir yang menyedihkan. Aku nggak nyangka jika kita akan berakhir seperti itu." lanjutnya parau.

Lay menangis!

Untuk pertama kalinya gue lihat dan mendengar Lay menangis.

"Meskipun sad ending, ada makna di balik itu semua. Seperti Ariel si Little Mermaid. Ia merelakan sang pangeran menikah dengan wanita lain. Meskipun sakit, tapi itu adalah bentuk pembuktian cintanya terhadap sang pangeran. Cinta tidak harus memiliki." jelas gue pada Lay.

Gue menarik nafas panjang. Menghapus jejak air mata yang membasahi wajah gue. "Aku akan membuat kisah kita sama seperti itu."

"Menikahlah dengan Hani. Aku ikhlas."

Lay membuka matanya lebar. Gue tahu dia kaget banget. Dia juga pasti nggak gitu aja mau nurut sama ucapan gue.

"Ngawur kamu! Nggak, aku nggak akan nikahin Hani!"

"Terus kamu mau apa? Kamu mau aku yang nikah sama kamu? Itu nggak mungkin, Lay! Karena kita sedarah!"


To be continue....

Let Me Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang