36. Shatter

34 1 1
                                    

Ting!

Gue di depan rumah lo.
Bukain dong.

Kening gue mengercit kala melihat pesan masuk dari Luhan. Tanpa membalas pesan tersebut, gue bergegas membuka pintu untuk dia.

Cklek!

Dia beneran ada, di sana. Lagi berdiri di luar pager sambil menenteng bungkusan berukuran sedang.

Gue bingung mau bereaksi kayak apa? Rasanya canggung sejak kejadian itu—gue nggak mau ada yang berubah, tapi mau gimana pun saranya tetep aneh.

"Udah lama?" tanya gue untuk sekedar basa-basi. Luhan hanya tersenyum menanggapinya. "Ayo masuk."

"Kenapa nggak kuliah? Lo sakit?" tanya sambil menaruh bungkusan yang dia bawa di atas meja.

"Nggak. Cuma males aja. Belum buat tugas soalnya."

Tangan Luhan bergerak untuk membuka sesutu yang masih terbungkus dengan plastik putih tersebut.

Buah-buahan dan sebungkus coklat.

Ternyata itu yang dia bawa. Dia beneran mikir kalau gue sakit?

"Gue tau semuanya nggak sama kayak dulu. Tapi gue harap lo masih mau terbuka sama gue."

Kenapa Luhan tiba-tiba nyinggung soal ini? Padahal gue sama sekali nggak mau ngebahasnya.

"Nggak akan ada yang berubah. Semuanya masih sama. Gue nggak akan nutupin apapun dari lo."

Luhan diam sejenak. Seperti ada sesuatu yang mengambil fokusnya. "Kenapa pake turtleneck?" tanyanya kemudian.

Harus jawab apa gue? Nggak mungkin gue jujur soal ini sama Luhan. "Ya—karena dingin lah." jawab gue sewajar mungkin.

"Bukan untuk nutupin bekasnya Jaehyun?"

Damn!

Demi Tuhan! Luhan tau dari mana soal ini?

Jantung gue hampir loncat saat mendengar pertanyaan Luhan.

"Katanya nggak ada yang ditutupin? Tapi barusan lo bohong." ujarnya datar.

Gue gugup kayak orang yang ketahuan lagi maling. Apa gue juga harus cerita tentang ini? Bahkan gue aja nggak mau mengingatnya. Dan dia datang untuk ngungkit itu. Kalau gue tahu itu maksudnya, gue nggak akan biarin Luhan masuk ke sini.

"Lo ngomong apaan? Gue nggak ngerti."

"Lo tau maksud gue."

"Jangan sok tau!" bentak gue spontan.

"Gue pikir lo mau terbuka sama gue? Tapi kayaknya nggak? Maaf, gue nggak bermaksud pengen tau urusan pribadi lo. Gue cuma—" Luhan memutuskan pandangannya dari gue.  Dia memilih menatap dinding putih sebelahnya. "Cuma khawatir sama lo."

Luhan beranjak dari duduknya. "Gue bawain buah sama coklat buat lo. Jangan lupa dimakan." laki-laki itu mengambil tas punggungnya hendak pergi. "Gue pamit."

Gue tehenyak, seperti lagi ditusuk dari depan dan belakang. Sakit rasanya. Gue nggak kuasa untuk menahan tangis. "Gue cuma takut.... Gue takut setiap teringat tentang itu. Makanya gue nggak mau cerita."

Luhan nggak jadi pergi. Dia kembali mendekat dan berlutut di hadapan gue. "Gue ngerti, seharusnya gue tau itu. Maaf, gue yang salah di sini."

Hangat rasanya saat Luhan memeluk tubuh gue. Pelukan yang sangat gue butuhkan sekarang. Di saat gue merasa hancur. Di saat gue merasa kalau gue manusia paling kehilangan di dunia.

"Maaf juga soal ini, gue nggak bisa cerita banyak."

"Gue ngerti. Nggak papa."

Gue melepas pelukannya. "Lo tau dari mana?"

"Janji untuk jangan kaget?" Luhan mengelus pucuk kepala gue.

"Pasti sesuatu yang nggak baik, ya?"

"Entah," Luhan mengirimkan kedua bahunya. "Tadi, di kampus, kak Yixing em—Lay, dia ngehajar Jaehyun sampe babak belur."

Gue memekik tertahan. Lay berantem sama Jaehyun? Di kampus? Jadi semua orang—

"Karena kejadian itu gue tahu, semua orang tahu kalau—maaf."

Gue kembali menangis. Apa lagi yang harus gue sembunyiin sekarang? Semua anak di kampus udah tahu. Gue nggak tau harus ngapain lagi ke depannya? Image gue udah hancur sekarang.

Cklek!

Pintu rumah tiba-tiba terbuka. Menampakkan seseorang yang baru saja datang. Kedua orang itu, Lay dan Hani di sampingnya, membuat gue terpaksa berhenti menangis dan berganti dengan rasa sesak di dada.

"Kak Lay? Udah pulang?" tanya Luhan ramah. Sedangkan gue berusahan menghapus jejak air mata yang membekas di wajah gue.

"Iya. Udah lama di sini?"

"Lumayan." Luhan keliatan kaku, ketika menyadari bahwa suasana di ruangan ini lagi nggak bagus. "Kalau gitu aku mau pamit pulang."

"Loh, buru-buru amat?"

"Ada kerjaan sampingan. Udah jam tiga, takut telat, nih." ujar Luhan.

Dia udah nggak kerja di kafe punyanya Hani ataupun minimarket tempat pertama kali gue ketemu dia. Sekarang Luhan kerja di perusahaan milik keluarga Bakhyun. Entah apa posisinya di sana, yang jelas dia bisa bayar kuliahnya sendiri. Luhan nggak pernah mau bergantung sama keluarganya Baekhyun. Meskipun orang tua Baekhyun sangat ikhlas merawat Luhan, tetep aja dia nggak mau.

"Ya, udah, hati-hati." ujar Lay.

Entah kenapa saat Luhan pergi, gue ngerasa sendiri. Bisa bayangkan posisi gue saat ini?

"Duduk dulu di sini. Aku mau ke belakang, ambil minum."

Itu bukan suara gue. Itu suara Lay yang lagi bicara sama Hani.

Pemandangan ini jauh berbeda dari terakhir gue liat. Damai. Lay sama Hani keliatan akur.

"Gue kira lo beneran pacarnya Lay waktu itu? Ternyata salah. Kalian berdua cuma kakak-adek."

Terserah dia mau ngetawain gue sekarang. Gue nggak peduli! Dari pada harus dengerin ocehannya yang buat telinga gue panas, mending gue balik ke kamar.

"Gue baru balik dari butik." ujar Hani tiba-tiba. "Abis milih baju pengantin untuk pernikahan gue sama Lay."

Kaki gue terpaksa berhenti melangkah saat mendengar kalimat itu. Cobaan apa lagi ini? Mereka berdua mau nikah? Secepat ini?

Gue merasa tertusuk untuk kedua kalinya hari ini. Sakit–sangat. Hampir mau mati rasanya.

Gue tau gue nggak berhak marah.

"Bulan depan kita mau nikah. Gue harap lo bisa dateng. Karena lo adalah tamu special gue."

Gue hancur!

To be continued.....

Let Me Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang