32. Dear God

27 4 0
                                    

Author Pov

Entah apa yang menyebabkan gadis itu tekapar lemah di atas lantai? Kenapa ada pecahan vas bunga di sampinya? Semuanya masih jadi pertanyaan.

Tangan laki-laki itu terlihat bergetar saat membawa tubuh gadis yang sangat disayanginya pergi menuju rumah sakit. Pikirannya terus berputar memikirkan teori dan kemungkinan yang terjadi pada gadisnya itu. Maaf! Mungkin sekarang kata gadisnya tidak lagi berlaku. Erika tidak lebih dari seorang adik baginya.

Yaaa, memang sulit menerima kenyataan pahit ini.

=========

"Enngg..."

Entah berapa lama waktu yang telah dihabiskan untuk terbaring di kamar serba putih ini? Akhirnya ia membuka matanya juga. Meskipun sedikit sulit karena harus menyesuaikan penglihatannya dengan cayaha.

"Ma, aku kenapa? Kok bisa ada di sini?" tanya Erika ketika menyadari jika dirinya sedang ada di ruang opname. Rumah sakit.

"Maag kamu kambuh. Kamu nggak makan seharian. Sekalinya makan langsung makan yang pedes-pedes. Sembarang banget sih kamu!"

Gadis itu hanya diam tanpa menatap wajah ibunya.

"Dokter juga bilang kalau kamu stres. Kamu mikirin apa sih, sayang? Sampai sakit kayak gini?"

Alih-alih menjawab pertanyaan ibunya, ia malah mendengus pelan. Bukan karena kesal diocehi oleh ibunya ketika ia sadar. Tapi ia sedih dan-takut.

Gadis itu bingung. Sebenarnya dia ini bodoh atau apa, sih? Bukannya selama ini ia selalu berdoa untuk dipertemukan dengan ayah dan kakaknya? Tapi kenapa ia malah menangis dan kecewa saat Tuhan telah mempertemukannya dengan kedua orang tersebut?

Tuhan mengabulkan doanya. Tapi takdir mempermainkannya.

Sebenarnya Tuhan sedang mengasihaninya atau sedang marah padanya?

"Cuma mama yang di-?"

"Papa sama kakakmu ada di luar. Mungkin tidur?"

Oh... Kakak, ya?

Baiklah, mulai sekarang kata itu hanya memiliki satu makna mutlak. Zhang Yixing hanya seorang kakak baginya. Tidak lebih. Erika harus membiasakan dirinya dengan sebutan itu.

"Kenapa?" tanya sang ibu yang melihat ekspresi putrinya yang murung.

Erika tersenyum lemah sambil menggelengkan kepalanya."Jam berapa sekarang?"

"Jam 10.15, kenapa emang?"

"Aku mau keluar sebentar."

"Kemana?" tanya Ny. Hyesung cemas.

"Taman? Rooftop? Atau tempat sepi yang lain?"

"Ngapain? Ini udah malem loh. Mana di rumah sakit lagi."

"Mau sendiri dulu."

"Tapi kenapa harus di tempat kayak gitu? Sepi. Ini udah malem loh." tentu saja Hyesung tidak menyetujui keinginan anaknya itu. "Bareng sama Lay, ya? Biar mama bilangin."

"Ya ampun, nggak! Kan aku udah bilang mau sendiri."

"Ya masa kamu mau ke rooftop-atau apalah itu, sendirian? Biar mama panggilin Lay."

"Ma, sendiri! Aku mau sendiri! Berarti cuma ada aku, nggak ada yang lain. Sendirian." ujar Erika dengan penuh penekanan. "Lagian kata mam-bukan, kata dokter aku stres? Jadi aku butuh waktu untuk tenangin pikiran aku. Dan aku mau sendiri dulu, plase?"

Ayolah, Hyesung tidak tahu lagi caranya mengatasi sifat keras kepala anaknya itu? Sifatnya sangat mirip dengan ayah kandungnya.

"Ok, cuma 30 menit. Setelah itu harus kembali lagi ke sini!"

"1 jam, ma. 30 menit nggak cukup." tawar Erika.

Hyesung hanya memutar bola matanya malas. "Ok, 1 jam. Nggak lebih. Setelah itu langsung balik ke sini, ngerti?"

Erika kembali tersenyum. Meskipun wajahnya pucat, tetap saja terlihat sangat cantik.

~O~

Rooftop....

Dengan baju pasien bercorak warna pink dan selang impus yang tidak lagi menempel di punggung tangannya. Lagi pula ia tidak terlalu membutuhkan alat itu. Jika harus dipasang lagi, ia tidak masalah. Rasa sakit ketika jarum menembus kulitnya tidak sebanding dengan sakit di hatinya.

Gadis itu berdiri di belakang tembok pembatas sambil menikmati angin malam yang menerpa dirinya.
Rambut panjangnya bergerak seiring arah angin yang meniupnya.

Dingin? Tentu saja.

"No matter who are you, I still want to love you. I want to remain in his side like now. So, let me love you!" ujarnya parau.

Apa sekarang ia telah menjadi orang jahat setelah mengatakan itu?

"Kenapa takdirku seperti ini, sih?! Menyedihkan!" gadis itu memandang langit malam seoul. Seolah sedang berkata dengan sang pencipta.

"Kalau aku nggak diizinin untuk bersama sama dia, kenapa engkau membiarkan cinta tumbuh subur diantara kita?"

"Cinta? Katanya anugerah Tuhan yang paling indah?" Erika tersenyum pedih. Matanya mulai berkaca. "Sedikit lagi, aku hampir percaya dengan hal itu."

"Aku tahu ini salah. Tapi aku benar-benar marah dengan yang namanya Tuhan! Terserah, aku udah nggak perduli lagi."

Bahu gadis itu terlihat naik turun mengimbangi tangisannya.

Sesak, sakit, pedih.

Berlebihan memang. Tapi itulah yang ia rasakan.

Ia menangis sambil memandang kota Seoul yang ramai meskipun hari sudah larut. Seakan ingin memberi tahu jika ialah manusia yang paling malang sedunia.

"Tuhan, jika kau ada, bisakah kau mengubah takdir mutlak ini? Ini sangat tidak adil untukku! Kenapa orang-orang bisa bahagia dengan cinta yang mereka miliki? Kenapa itu tidak berlaku untukku?"

"Terserah bagaimana kau mengatur takdirku. Yang jelas aku tetap ingin mencintainya. Aku tidak peduli sekalipun kau murka. Aku hiks...akan tetap mencintainya."

Gadis itu semakin terisak.

"Maaf! Aku benar-benar putus asa sekarang."






"Nggak boleh bilang kayak gitu! Dosa tahu!"

Erika menolah ke belakang, melihat siapa yang telah mengejutkannya dengan suara itu.

Lay!

Sejak kapan ia di sana? Sudah lama, kah? Apa dia telah mendengar seluruh ucapanya tadi?

Lay berjalan mendekatinya. "Kenapa ?Marah sama Tuhan?"

Erika mengangguk mantap. "Ya. Emang lo nggak?"

"Kalau dipikir-pikir, siapa yang kecewa? Siapa yang mau ada di posisi kayak gini?"

"Terus?"

"Terus gue bisa apa? Ngutuk Tuhan? Ya, nggak mungkin lah."

"See! Cuma gue yang gila di sini!" Erika tersenyum sinis.

"Gue juga bisa gila kalau nggak inget Tuhan. Dengan adanya kejadian ini, lo kira Tuhan benci sama lo?"

"Kalau iya, lo salah! Tuhan nggak pernah berkehendak tanpa alasan. Pasti selalu ada makna di balik itu semua."

"Bullshit!" telinga Erika merasa panas mendengar ucapan Lay barusan.

"Emang lo mau, setelah kita nikah lo baru tahu siapa kita sebenarnya? Tuhan sayang sama lo. Jangan marah sama dia."

Lay berjalan semakin dekat. Lalu memeluk gadis di depannya dengan tulus. Sambil mengelus rambutnya yang terjuntai di balik punggung.

Diam-diam Lay juga menangis.

"Gue cinta sama lo. Tapi maaf, cuma sampai di sini."






To be continue.....

Let Me Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang