Part 22

218 36 2
                                    

"Hah, bahkan jika untuk bertaruh ratusan juta pun aku akan menang, Jaemin itu sangat polos, ah tidak lebih tepatnya bodoh gampang sekali mendekatinya" ucap Jeno percaya diri.

Tanpa disadari oleh keempat orang disana, seorang dari balik pintu yang terbuka sedikit mendengar pembicaraan mereka dengan wajah dinginnya, meski begitu air matanya tak berhenti mengalir.

Na Jaemin, ya Jaemin mendengar itu semua karena ia akan memberikan bekal makan yang ia janjikan pada Jeno. Namun saat hendak masuk ia tak sengaja mendengar namanya disebut oleh teman-teman Jeno, dan ia juga mendengar dengan jelas semua ucapan Jeno. Menyakitkan. Sekali lagi dalam hidupnya. rasa cinta mempermainkannya. Ia pun tersenyum sinis sedetik lalu membuang kotak bekal makan ditangannya di tempat sampah lalu pergi.

Jaemin berjalan cepat kemanapun kakinya melangkah di sepanjang koridor kampus, ia sengaja menghindari beberapa tempat ramai agar tidak ada yang tau keadaannya. ia hanya ingin sendiri. Air matanya tidak bisa berhenti mengalir dari mata cantiknya. namun raut wajah Jaemin sangat dingin. Tidak ada rona atau perasaan apapun diwajahnya meski ia sedang menangis.

Ia terus berjalan melewati beberapa koridor, kaki nya membawanya ke taman belakang kampus, namun saat melewati fakultas sastra yang dekat dengan taman, tidak sengaja Renjun keluar dari sana setelah membawa sebuah buku dari ruang klub . ia melihat Jaemin berlalu didepannya.

"Jaemin" panggilnya, namun Jaemin tidak berbalik dan tetap berjalan . Renjun pun merasa sesuatu terjadi pada Jaemin, lalu ia mengikuti langkah Jaemin.

Sesampainya di taman belakang ia bisa melihat Jaemin duduk disebuah bangku, dan diam dengan wajah dinginnya, dan segera Renjun sadari bahwa Jaemin menangis, terlihat dari air mata yang sempat ia lihat mengalir di pipi Jaemin. Dengan segera ia menghampiri Jaemin.

"Jaemin ah" panggil Renjun pelan saat ia sudah sampai di sebelah Jaemin, ia pun duduk di samping Jaemin.

"Eoh, Renjun" jawab Jaemin sambil tersenyum kecil sedetik.

"Wae?" tanya nya lembut sambil mengusap air matanya dengan ibu jarinya lembut. Ia sangat paham Jaemin. jika biasanya saat ingin sesuatu yang tidak di turut i ia akan menangis sambil merengek. Namun jika dia hanya menangis dalam diam. Berarti sesuatu sedang terjadi.

"Tidak ada" jawabnya singkat tanpa menoleh ke Renjun, ia bukannya enggan menjawab, hanya saja hatinya sangat terguncang dengan hal yang baru ia dengar tadi.

Renjun tidak lagi bertanya namun segera menarik Jaemin dalam pelukannya, ia mengelus punggung dan kepalanya, mengecup pucuk kepalanya berulang kali memberi ketenangan pada Jaemin meski ia belum tau apa masalahnya. yang ia tau Jaemin sedang terluka dan sedih.

Jaemin hanya tetap diam saja tidak membalas pelukan Renjun tidak pula menanggapi Renjun, ia hanya diam memikirkan kembali kejadian beberapa saat yang lalu.

"Jaemin itu sangat polos, ah tidak, lebih tepatnya bodoh. Gampang sekali mendekatinya"

Ucapan Jeno kembali terngiang di kepalanya. Sangat menyakitkan mendengar itu keluar begitu saja dari namja yang membuat hatinya berbunga beberapa hari lalu dan kini bunga di hatinya seolah layu, kering dan berguguran. Secepat itu? Apakah memang benar ucapan Jeno. Bahwa ia bodoh , dan Jeno hanya mempermainkan nya dengan mengetesnya sendiri. Lalu bagaimana dengan rasa yang susah payah ia bangun untuk membuka hati untuk Jeno selama ini. Jawabannya hanya satu. Tidak Berguna sama sekali.

"Renjun ah, apakah aku seorang yang bodoh" gumamnya dalam pelukannya Renjun . Renjun mengerutkan kening nya lalu melepaskan pelukannya untuk melihat Jaemin.

"Apa maksudmu, kau tidak bodoh" jawab Renjun sambil menatap Jaemin bingung.

"Kau tidak perlu berbohong, aku bodoh . hingga mudah sekali di dekati untuk dipermainkan" ucap Jaemin bersamaan dengan air matanya yang entah keberapa kalinya mengalir. Renjun akhirnya tau dimana letak kesedihan itu.

A Million PiecesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang